Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)
Peserta didik diforsir sejak pagi sampai sore. Pagi mereka mengikuti pembelajaran secara rutin di kelas. Sore mereka wajib mengikuti jam pelajaran tamabahan (jam tambahan) yang disebut pengayaan. Seiring dengan itu, guru juga diforsir pagi sore. Pagi sampai siang guru mengajar seperti biasa, sore masuk kelas jam tambahan. Bagi siswa kegiatan itu berguna untuk menghadapi ujian nasional, bagi guru selain mengantarkan siswa ke ujian nasional, juga mendapat sedikit tambahan penghasilan dari itu.
Dalam hitungan normal, menurut kurikulum 1994, jam pelajaran untuk satu minggu bagi peserta didik setingkat SMP dan SMA 42 jam pelajaran (1 jam pelajaran 45 menit). Asumsinya, jam yang tersedia itu telah cukup memadai untuk mengantarkan peserta didik ke ujian nasional. Dari kacamata pedagogis 42 jam seminggu untuk belajar, telah memberi ruang kepada peserta didik untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat. Akan tetapi, oleh berbagai kebijakan (tingkat sekolah, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat provinsi), jam yang 42 itu masih ditambah, sehingga dalam satu minggu ada yang sampai 55 sampai 60 jam pelajaran.
Menurut ketentuan yang berlaku, jam wajib guru SMP dan SMA 24 jam pelajaran. Delapan belas jam digunakan untuk berinteraksi (tatap muka) di kelas, enam jam lagi dimanfaatkan untuk menyusun program pembelajaran, memeriksa tugas-tugas peserta didik, dan menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan proses pembelajaran. Diasumsikan jika satu minggu bertugas selama 24 jam pelajaran, kualitas pekerjaan akan baik. Artinya, guru tidak terlalu lelah dan tidak pula kekurangan waktu. Akan tetapi, dengan adanya jam tambahan atau jam pengayaan, guru harus bertugas melebihi kapasitas kemampuannya.
Dinas pendidikan dan sekolah membuat kebijakan. Kebijakan itu lebih banyak berorientasi kepada persiapan menghadapi ujian nasional. Berbagai nama kebijakan dipopulerkan. Di antara kebijakan itu adalah “sukses ujian nasional 2006”. Realisasi dari kebijakan itu adalah melahirkan kegiatan pembelajaran tambahan. Artinya, selain pembelajaran reguler/normal biasa ada pembelajaran di luar itu. Pembelajaran itu dinamakan jam tambahan atau jam pengayaan. Guru dan siswa harus mengikuti kebijakan itu, karena yang membuat kebijakan adalah sekolah dan dinas pendidikan.
Ada beberapa implikasi dari kebijakan “sukses ujian nasional” itu. Di antaranya penamabahan biaya pendidikan. Orang tua yang anaknya duduk di kelas yang mengikuti ujian nasional, berkewajiban membayar semua biaya yang ditimbulkan oleh kebijakan itu. Melalui pengurus komite sekolah, kepala sekolah melakukan pemungutan uang jam tambahan. Pungutan itu ada yang dilegalkan oleh pemerintah daerah dan ada yang dilegalkan oleh sekolah saja. Orang tua peserta didik yang memang sangat berharap anaknya lulus ujian nasional tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk itu. “Tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah”, yang penting uang jam tambahan harus dibayar.
Implikasi lain adalah terjadinya pengurasan tenaga. Tenaga guru dikuras untuk kegiatan ini. Jam wajib guru untuk tatap muka dalam situasi normal adalah delapan belas jam pelajaran. Akibat program ini jam kerja itu menjadi bertambah. Penambahan jam yang tidak diiringi dengan motivasi internal, adalah penyikasaan. Apalagi penambahan tugas bukan didorong oleh konsep pedagogis, tetapi diransang oleh pemuasan kebutuhan birokrasi, sehingga menjadi penyiksaan bagi guru. Meskipun guru mendapat sedikit bantuan finasial dari kegiatan ini, namun kalau ditanya nuraninya ia tetap saja menganggap bahwa ini adalah pengurasan tenaga.
Tenaga peserta didik juga dikuras oleh kegiatan ini. Dalam situasi normal, jam pelajaran satu minggu hanya 42 jam. Akan tetapi akibat penerapan program pengayaan harus belajar sampai 52 jam. Tentu saja mereka akan sangat repot mengikuti kegiatan-kegiatan ini. Ketika sejumlah peserta didik diminta pendapatnya, mereka memgantakan bahwa jam ini bukan jam pengayaan, melainkan jam penganiayaan. Meskipun mereka menyampaikan dengan cara berkelakar, namun cukup dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk melihat implikasi pelaksanaan jam ini.
Dari implikasi-implikasi itu terlihat fenomena yang menguntungkan dan merugikan. Fenomena menguntungkan di antaranya adalah orang tua peserta didik merasa terlibat dan bertanggung jawab atas biaya pendidikan. Mereka harus mau dan mampu beriur untuk kegiatan jam tambahan. Hal itu akan memperlihatkan partisipasi aktif orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan. Fenomena merugikan terlihat juga dari ekpresi orang tua peserta didik. Mereka yang kurang mampu harus menguras tenaga dan pikiran untuk pengadaan dana. Masyarakat akan berbicara, betapa besarnya biaya pendidikan. Masyarakat akan berkomentar bahwa pendidikan identik dengan iuran.
Fenomena menguntungkan dan merugikan juga terlihat pada peserta didik. Peserta didik yang mengikuti jam tambahan secara bersungguh-sungguh memperoleh pengayaan materi. Penguasaan pengetahuan, informasi, konsep, dan hal-hal yang akan diujikan dalam ujian nasional dapat meningkat. Kesungguhan, keseriusan, dan konsentrasi belajar mereka semakin meningkat. Tentu saja, jika hal itu dilakukan tanpa rasa tersiksa, tanpa kejengkelan, tanpa merasa dianiaya.
Fenomena merugikan terlihat pada kelelahan peserta didik. Tenaga, pikiran, dan waktu mereka terkuras hanya untuk belajar dan belajar. Mereka bagaikan mesin yang harus dipaksa bergerak sesuai kemauan pemilik. Suasana beljar yang mneyenangkan tidak pernah tercipta. Belajar bukan lagi dirasakan sebagai suatu aktifitas yang mengasyikkan, tetapi kegiatan yang menyusahkan. Hal ini berdampak secara psikologis, bahwa belajar adalah pengurasan tenaga, pemaksaan, dan penyiksaan. Untuk jangka panjang tentu akan sangat merugikan.
Fenomena yang sama juga terlihat pada peserta didik. Mereka ada yang beranggapan bahwa kegiatan ini mengutungkan dan ada yang beranggapan merugikan. Keuntungan terlihat, bahwa kegiatan ini menantang. Guru terus-menerus memperkaya diri untuk memberi pelayanan kepada peserta didik. Hal itu terutama dalam penguasaan materi dan bahan ajar yang berorientasi kepada penyelesaian soal-soal ujian nasional. Selain itu, guru juga mendapat sedikit uang lelah dari anggaran yang tersedia. Fenomena merugikan terlihat juga pada ekpresi guru. Guru merasa sangat terpaksa melakukan kegiatan jam tambahan. Tenaga, pikiran, dan wkatunya tersita habis untuk itu. Akibatnya mereka yang melaksanakan jam tambahan sering mengeluh, tetapi mau mengeluhkan kepasa siapa.
Apa saja yang dilakukan tentu ada resiko. Jam tambahan, sukses ujian nasional 2006, dan kegiatan-kegiatan lain, tentu mengandung resiko. Resiko-resiko yang dihadapi tentu harus diminimalkan. Peminimalan resiko merugikan dari jam tambahan atau jam pengayaan dapat dikurangi atau diakhiri sama sekali. Caranya ialah dengan mengubah paradigma, strategi, dan teknik pelaksanaan. Orang-orang atau kelompok yang harus berubah adalah tenaga kependidikan, pendidik, dan pemakai jasa pendidikan. Ketiga kelompok itu harus berubah. Jika salah satu saja yang berubah, yang lain tidak, resiko merugikan akan terus saja mengancam.
Paradigma pendidikan adalah pola atau kerangka berpikir dan bertindak dalam memandang, menyikapi, dan melaksanakan pendidikan. Pendidikan harus dipandang secara holistik (menyeluruh), bukan dipandang dari suatu sisi saja. Jika pendidikan itu dipandang dalam konteks lebih luas tentu penyikapan dan pelaksanaannya juga dalam lingkup yang lebih luas. Akan tetapi, jika pendidikan dipandang dalam skop yang kecil dan dari hanya satu sisi, penyikapan dan pelaksanaannya juga seperti itu. Kini terlihat paradigma negatif dari ketiga kelompok di atas. Pendidikan di sekolah (satuan pendidikan) dianggap hanya sebagai upaya untuk mengikuti dan lulus ujian nasional. Akibatnya orang tua peserta didi, peserta didik, dan guru diperas, dikuras, dan dipaksa untuk mencapai itu. Yang terjadi ialah penganiayaan bukan pengayaan.
Sampai saat ini, terlihat tenaga kependidikan, pendidik, dan maysarakat bagaikan membuat kesepakatan. Belajar di satuan pendidikan adalah untuk mengikuti dan lulus ujian nasional. Tenaga kependidikan (pejabat pemerintah bidang pendidikan) misalnya berpidato, mengidentikkan angka kelulusan ujian nasional dengan mutu pendidikan. Semakin tinggi peresntase kelulusan semakin tinggi mutu pendidikan di institusi atau di daerah itu. Hal itu sering terekspos di surat kabar dan media massa lainnya. Pernyataan itu tentu saja berpengaruh kepada masyarakat dan pendidik. Akhirnya kepala satuan pendidikan misalnya, mencari berbagai upaya untuk meningkatkan angka kelulusan seoptimal mungkin. Kadang-kadang upaya itu terkesan negatif, sehingga merugikan dunia pendidikan.
Mungkin banyak strategi yang ditempuh untuk menghadapi kondisi ini, terutama untuk mengurangi dan menghilangkan resiko-resiko merugikan yang terlihat dalam fenomena saat ini. Di antaranya strategi itu adalah mengubah pola pembelajaran di kelas. Pengubahan pola pembelajaran di kelas secara filosofis sudah lama didengung-dengungkan, yakni menciptakan pembelajaran yang efektif. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang mangkus. Kemangkusan pembelajaran ditandai oleh kebermaknaan. Artinya, setiap pembelajaran di kelas yang dilaksanakan dengan mangkus, tentu akan bermakna bagi peserta didi. Kebermaknaan itulah yang akan memotivasinya belar tenrus-menerus. Tanpa pemaksaan, tenpa penyiksaan, dan tanpa penganiayaan mereka akan belajar secara berkelanjutan.
Merupakan bagian dari srategi pembelajaran efektif adalah belajar dengan mengoptimalkan waktu. Waktu yang tersedia (1 jam pelajaran 45 menit) dimanfaatkan secara optimal. Tidak ada waktu yang terbuang. Guru membuka pelajaran tepat waktu dan mengakhir pembelajaran tepat waktu. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan waktu dipeerlukan kesadaran yang mendalam dari pelaksana dan peserta pembelajaran. Kesadaran itu akan memberi dorongan kepada peserta didik dan pendidik untuk menepati waktu seduai dengan jadwal. Jika hal itu dilaksanakan, berarti membuat perubahan. Perubahan tersebut adalah perubahan perilaku pendidik dan peserta didik dalam memanfaatkan waktu.
Berdasarkan fenomena di sekolah, waktu yang tersedia di sering tidak termanfaatkan secara optimal. Ketika lonceng berbunyi pelajaran belum dimulai. Guru-guru baru beranjak dari tempat duduknya di kantor. Kadang-kadang perjalanan menuju kelas juga terhenti oleh hal-hal yang muncul secara spontan seperti pergunjingan tentang suatu topik. Kadang-kadang pula ada guru yang sengaja menguulur-ulur waktu, sehingga pembelajaran tidak dapat dilaksanakan tepat waktu. Kadang-kadang pula, guru melihat-lihat keadaan kelas dari jauh. Peserta didik yang tidak kunjung masuk kelas pada saat lonceng berbunyi dapat menjadi alasan bagi guru untuk tidak segera ke ruangan kelas. Tentu jika diteliti secara jelimet, akan banyak fenomena yang ditemukan.
Jika kepada guru dilontarkan pertanyaan tentang “makna bunyi lonceng (bel) setelah jam istirahat berakhir”, guru akan menjawabnya sebagai “tanda masuk kelas”. Jika maknanya bagi guru adalah “tanda untuk masuk kelas”, berarti guru telah “mengorupsi” waktu beberapa menit setiap usai jam istirahat. Pada dasarnya, jika lonceng berbunyi seusai jam istirahat, bukanlah berarti pertanda masuk kelas, melainkan pertanda pelajaran dimulai. Jika jarak antara masuk kelas dengan pelajaran dimulai sepuluh atau lima belas menit, berarti terjadi pengurangan waktu belajar sebanyak itu. Hal ini terlihat seperti hal kecil, namun berpengaruh besar terhadap penggunaan waktu.
Secara matematis dapat diperhitungkan. Jika guru terlambat masuk kelas setiap jam istirahat sebanyak lima belas menit, sedangkan isitirahat dua kali dalam satu hari, berarti sehari ada waktu terbuang tiga puluh menit untuk seorang guru. Jumlahnya bisa saja dihitung untuk sepuluh orang guru, dua puluh orang guru, atau tergantung besar kecilnya rombongan belajar di sekolah itu. Perhitungan-perhitungan seperti itu jika dilakukan, hasilnya akan menggmabarkan ketidakefektifan dilihat dari segi pemanfaatan waktu. Jika manajemen satuan pendidikan, manajemen dinas pendidikan mengelola hal itu dengan baik dalam arti mendisiplinkan guru dan siswa dalam pemanfaatan waktu, maka jam tambahan dan berbagai sebutan lainnya tidak perlu diadakan lagi. Artinya, jika waktu yang ada termanfaatkan dengan bsaik, tidak diperlukan lagi jam “penykasaan” untuk guru dan siswa. Pertanyaannya, “Apakah ada yang memikirkan itu?” Inilah yang barangkali perlu dijawab. (Zulkarnaini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan, tinggal di Padang).
penyiksaan seperti ulasan di atas akan berbuah manis bila masing-masing pelakunya ikhlas, tapi bisa tidak?
coba ujian nasional tidak dijadikan penentu kelulusan, pasti tidak akan terjadi penyiksaan tsb
jadi, akar masalahnya adalah ujian nasional!
ini yang mestinya ditanyakan “Apakah ada yang memikirkan itu?” Inilah yang barangkali perlu dijawab.
salam kenal, Bung Zaini
Saya juga suka prihatin dengan pendidikan kita, seperti terlalu banyak yang harus dipelajari oleh siswa. bukan cuma jumlah, tapi juga kedalaman materinya sering agak keterlaluan. Pelajar dijejali terlalu banyak di usia yang sangat muda.