GURU MEMBUTUHKAN MOTIVASI DAN SUPERVISOR PERSUASIF DAN EDUKATIF

Oleh Zulkarnaini Diran

Di suatu sekolah. Guru-guru bekerja ceria, mereka berjalan ke depan kelas penuh kepercayaan diri. Ia beranjak dari tempat duduk ke kantornya, menuju ruang kelas, lima menit sebelum lonceng masuk berbunyi. Ketika keluar dari kelas, terlihat di wajahnya kepuasan yang mengandung sejuta makna. Hampir semua guru melakukan itu, kegairahan, semangat, dan optimistis penuh pengabdian, bersarang di dada dan dalam nurani guru-gurunya.

Di sekolah lain, wajah guru-gurunya selalu diselimuti awan mendung. Guru tegang, resah, dan gelisah. Nyaris penuh ketakutan. Pada saat tertentu, sudah lima sampai sepuluh menit lonceng berbunyi, mereka masih dibuai oleh berbagai kegiatan di kantor. Rasa berat mengangkat pinggulnya berangkat dari kursi, ia berjalan ke ruang kelas dengan rasa gelisah. Rasa susah, rasa pesimis, bahkan nyaris malas bergelantungan di sanubariunya. Bagaikan rasa tak suka dan tak senang dengan profesi, ia tetap memaksakan diri menuju ruangan yang dipenuhi siswa itu.

Apa yang terjadi dengan kedua ilustrasi itu? Guru-guru dengan penetapan gaji yang sama dengan standar penghasilan yang sama, dengan surat keputusan yang dikeluarkan dari pemerintah yang sama, tetapi berbeda dalam tindak dan tingkah laku melaksanakan tugas. Apa yang terjadi, ada apa gerangan?

Agaknya ilustrasi tersebut bukan mengada-ada. Kedua peristiwa tersebut dapat disimak, dapat diamati, dan dapat direkam, jika kita mau memusatkan perhatian terhadap perilaku guru di sekolah. Akan lebih menarik dan lebih akurat hasilnya, jika dilakukan penelitia ilmiah tentang perilaku guru itu. Sekurang-kurangnya, dengan penelitian, beberapa fenomena psikologis tentang perilaku guru disekolah akan dapat diungkapkan. Jika pula, peneilitian itu dimaksudkan untuk pengambilan kebijakan dalam pembinaan tenaga edukatif ini, tenaga pendidik ini.

Ilustrasi kontras itu agaknya dilatar belakangi oleh banyak hal. Salah satu diantaranya adalah motivasi. Jika mereka digaji dengan standar serta peraturan gaji yang sama, berarti gaji bukanlah satu-satunya motivasi. Jika tingkat kehidupan ekonominya sama, tetapi perilaku mengajar dan tindak perbuatannya di sekolah berbeda, berarti kehidupan ekonomi rumah tangga bukanlah satu-satunya daya dorong untuk melakukan tugas dengan baik. Jika naik pengkat dan golongan juga sekali empat tahun, atau mungkin dua tahun dengan “angka kredit”, sama-sama berlaku pada guru dalam ilustrasi itu, berarti pula pangkat dan golongan bukanlah satu-satunya motivasi. Dan apa yang diperlukan oleh guru? Mengapa yang lain bergairah dan yang lain tidak?

Suasana suatu sekolah, agaknya berpengaruh tehadap pelaksanaan tugas guru. Banyak faktor yang mempengaruhi susana itu. Oleh karena suatu suasana adalah kombinasi  dari suasana individu dan suasana hati tiap personal. Suasana yang diciptakan oleh gabungan suasana tiap individu itu berpengaruh terhadap suasana sehari-hari di lingkungan kerja. Jika dikaitkan dengan komunikasi, agaknya komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal dalam lingkungan kerja memang sangat berpengaruh.

Komunikasi vertikal antara guru dengan unsur pimpinan sekolah sangat berpengaruh dalam menciptakan suasana. Kekakuaan akan timbul bila komunikasi tersebut timbul dalam keadaan kaku. Kepala Sekolah yang amat otoriter, amat menunjukan kekuasaannya, akan berbeda suasana yang ditimbulkannya dengan kepala sekolah familiar, kepala sekolah yang bersahabat, dan kepala sekolah yang demokratis. Ada memang, kepala sekolah yang selalu mengobral perintah dan instruksi terus menerus. Ini harus begitu, itu harus begini. Perintah datang dari atas, guru tidak pernah dilibatkan untuk menbambil kebijaksanaan, guru tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan, guru hanya sebagai pelaksana yang harus dan harus melaksanakan semua perintah kepala sekolah. Hal ini barangkali akan membuat suasana lain  di sekolah tertentu.

Sementara itu, cukup banyak kepala sekolah yang suka bermusyawarah. Meskipun sang kepala sekolah dapat memtuskan sendiri, karena memang dia adalah pengambil keputusan, namun beberapa orang guru, atau seluruh guru ia libatkan dalam pengambilan keputusan itu. Faktor kebersamaan dalam melaksanakan tugas menjadi standar pengambilan keputusan. Hal ini melahirkan suasana yang jauh berbeda dengan karakteristik pimpinan pada tipe pertama tadi.

Jika memang suasana dapat dijadikan salah stu bentuk motivasi kegairahan guru dalam melaksnakan tugasnya, mengapa kepala sekolah tidak memanfaatkan itu untuk pelaksanaan tugasnya? Agaknya hal ini perlu menjadi renungan bagi sekolah dlam tipe kedua pada ilustrasi di atas.

Kepastian dalam karir, juga berpengaruh kepada suasan guru dalam melaksanakan tugas. Kepastian karir itu juga bergantung kepada sistem penilaian dan operasional penilaian kepala sekolah. Di daerah ini ternyata cukup banyak guru yang potensial, guru yang melaksnakan tugas dengan baik dan benar. Akan tetapi, guru-guru yang seperti itu sering luput dari perhatian kepala sekolah. Oleh karena, guru-guru yang menjalankan tugas dengan baik dan benar, biasanya enggan “menjilat”, enggan melaksanakan “akting yang berlebihan”, apalagi untuk “angkek talua” kepada atasan.

Sepanjang kurun dan waktu ia melaksanakan tugas dengan baik. Sepanjang hari ia berfikir dalam tugasnya, anak-anak suka kepadanya, pelajaran yang dianggap sulit selama ini, mudah sampai di tangannya. Akan tetapi karena sering luput dari perhatian kepala sekolah, mereka akhirnya menjadi frustasi, kegairahan berkurang, dan dirinya merasa tak perlu berbuat lebih dari yang lain. Arti kesungguh-sungguhannya tidak mendapat tempat di hati kepala sekolah. Tidak ada jalan lain, hanya bertugas apa adanya, bak orang upahan yang menerima gaji dengan pekerjaan rutin setiap hari.

Kepastian karir bagi seorang guru memang amat diperlukan. Oleh karena di dalam hidup mungkin hanya dua hal yang sangat dibutuhkan oleh seorang pegawai negeri. Pertama mendapatkan gaji dari pekerjaan, kedua pengembangan karir dan prestasinya. Jika timpang salah satu, berarti motivasinya pudar, motivasinya hilang secara bertahap. Akibatnya adalah seperti yang terjadi pada ilustrasi kedua itu. Lesu, kurang gairah, dan tidak bersemangat untuk lebih baik. Toh, baik dan buruk sama saja di mata atasan.

Pada sisi lain, tidak sedikit pula  guru yang kurang memahami bidang tugasnya. Terutama mereka yang tidak mampu mengikuti perkembangan terbaru, perkembangan di dunia pendidikan, baik yang berhubungan dengan metode dan teknik, maupun yang berhubungan dengan disiplin ilmunya. Kegairahannya berkurang karena merasa selalu tertinggal, merasa tidak mampu mengaktualisasikan diri mereka dihadapan anak didik, dihadapan rekan-rekan lain. Di samping kenyataan itu, kepala sekolah sebagai pimpinan sibuk kerjanya, asyik dengan dirinya. Hal yang seperti ini tidak jarang membuat kehancuran guru dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam kondisi sekarang, mungkin yang akan datang, guru mebutuhkan motivasi dan pembinaan yang intensif. Motivasi yang dibutuhkan , bukannya penghasilan yang berkaitan dengan ekonomi, tetapi penghargaan atas hasil kerjanya. Bukan hanya gaji yang dibutuhkan guru, tetapi perhatian atas pekerjaan yang ia lakukan. Sedangkan pembinaan terus menerus sepanjang waktu merupakan bentuk motivasi lain dalam pelaksanaan tugas guru.

Pembinaan itu dapat dilakukan dalam bentuk pemberian informasi baru, informasi yang aktual tentang perkembangan pendidikan dan perkembangan pengetahuan. Hal yang seperti ini, pertama-tama hanya kepala sekolahlah yang melakukannya. Kepala sekolah yang diharapkan melakukannya. Misalnya, informasi dari jajaran atas, dari Kantor Kementerian Pendidikan, dari Kantor Dinas Pendidikan, tidak hanya dibiarkan mengendap dalam arsip kantor kepala sekolah, tetapi informasi yang berhubungan dengan perkembangan itu seyogyanya dikomunikasikan oleh kepala sekolah kepada guru-gurunya.

Pembinaan lain adalah pembinaan profesional. Pembinaan dalam bidang profesi keguruan, profesi kependidikan. Guru membutuhkan, itu terus menerus. Peranan supervisi agaknya amat penting. Penataran tingkat sekolah dari kepala sekolah untuk guru atau dari guru untuk guru, agaknya merupakan bentuk operasional dari pembinaan itu. Tetapi adakah kepala sekolah yang mengarifi hal-hal seperti itu? Ini pertanyaan yang memerlukan jawaban melalui penelitian.

Dalam situasi yang seperti sekarang, mungkin akan datang, guru memerlukan supervisor yang benar-benar menguasai bidangnya. Duru memerlukan kepala sekolah yang berwawasan luas, memerlukan pengawas sekolah yang berpandangan ke depan, memerlukan pengawas yang berpengetahuan luas dalam bidangnya. Akan tetapi apakah supervisor yang diangkat dengan jabatan fungsional itu memiliki kompetensi demikian. Ini pun agaknya memerlukan penelitian untuk menjawabnya. Agaknya. (Zulkarnaini Diran, Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)

3 comments

  1. Semoga dengan diklat penguatan kepala sekolah dapat meningkatkan kompetensi kami, pak! Mhn informasi dan bimbingan yg berkelanjutan! Tkasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *