PENGEMBANGAN DIRI YANG TERABAIKAN

Oleh Zulkarnaini Diran

(prkatisi dan pemerhati pendidikan)

Ada tiga kegiatan pembelajaran yang harus terjadi di sekolah. Ketiga kegiatan itu adalah pembelajaran mata pelajaran, pembelajaran muatan lokal, dan pembelajaran pengembangan diri. Hal itu diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi pada bagian Kerangka Dasar Kurikulum. Ketiga substansi pembelajaran itu bak “tungku tigo sajarangan”. Yang satu menupang yang lain sehingga terjadi keseimbangan dalam mencapai komptensi peserta didik.

Substansi mata pelajaran dipaketkan dari pusat (baca:Kementerian Pendidikan dan Badan Standar Nasional Pendidikan- BSNP). Isinya terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang masing-masingnya dilengkapi dengan standar isi. Standar isi diuraikan menjadi standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). Inilah yang disebut standar nasional untuk isi pembelajaran.

Substansi muatan lokal diserahkan kepada setiap sekolah (satuan pendidikan). Sekolah diberi wewenang untuk menyusun sendiri standar isinya dan menjabarkan sendiri menjadi SK dan KD. Muatan lokal yang disususn dan dilaksanakan di satuan pendidikan harus sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat tetapi isinya belum ada di mata pelajaran.

Pengembangan diri merupakan kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk menyalurkan bakat dan minat peserta didik. Dengan penyaluran bakat dan minat itu diharapkan peserta didik merasa terlayani secara individu di sekolahnya. Minat dan bakatnya dapat tesalur dalam rangka pengembangan kemampuan dan mengekpresikan dirinya.

Pembelajaran untuk mata pelajaran sudah berjalan normal. Muatan lokal, walaupun sebagaian besar masih mengacu ke kurikulum sebelumnya, sudah berjalan pula. Akan tetapi, pengembangan diri kelihatan belum berjalan menurut semestinya. Bahkan ada satuan pendidikan yang tidak melaksanakan sama sekali. Lebih fatal lagi ada Dinas Pendidikan di kabupaten/ kota yang tidak mengakui keberadaan pengembangan diri sebagai bagian dari pembelajaran. Akibatnya, jika guru melaksanakan kegiatan ini bersama peserta didiknya, tidak dapat dihitung sebagai jam tatap muka. Padahal menurut Permendiknas tentang standar isi itu, jam pengembangan diri ekuevalen dua jam pelajaran.

Menurut Mendiknas (2006), “ Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai  bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling  berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Di samping itu, untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karir. Untuk satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik.”

Pengembangan diri yang merupakan bagian dari standar nasional. Jika tidak dilaksanakan atau hanya dilaksanakan seadanya berarti satuan pendidikan yang bersangkutan belum memenuhi standar nasional. Pengembangan diri bukan sekedar pelengkap dalam pembelajaran, tetapi merupakan bagian integral dan sistem pembelajaran pada satuan pendidikan. Salah satu tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat,  minat, kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan memperhatikan kondisi sekolah/madrasah.

Inti pengembangan diri adalah mengembangkan dan menekresikan diri. Prinsip pengemabangan dan pengekpresiannya adalah kebutuhan, potensi, bakat, minat, kondisi, dan perkembangan peserta didik. Syaratnya adalah memperhatikan kondisi sekolah/madrasah. Jika wadah ini   tidak dimanfaatkan dan diurus di satuan pendidikan, berarti peserta didik kehilangan wahana untuk mengembangkan dan mengekpresikan dirinya. Hal itu dapat berakibat buruk. Peserta didik akan mencari wahana lain untuk mengembangkan dan mengekpresiakn dirinya. Jika wahana itu tepat dan bernuansa positif, selamatlah mereka dari berbagai masalah. Akan tetapi, jika sebaliknya tentu mereka terjerumus ke kegiatan negati. Bisa jadi, inilah salah satu penyebab terjadinya tauran antarpelajar yang marak akhir-akhir ini.

Antara mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri terdapat interelasi bermakna. Hal-hal teoretis dan praktis yang dipelajari pada mata pelajaran dan muatan lokal dapat dioptimalkan di dalam pengembangan diri. Misalnya pada mata pelajaran biologi peserta didik membahas metode ilmiah, pada mata pelajaran muatan lokal pertanian membahas cara bercocok tanam. Keduan mata pelajaran itu berkorelasi, berinterelasi, dan berinteraksi. Pada pengembangan diri, metode ilmiah yang ada hubungan dengan bercook tanam, dapat dioptimalkan melalui penelitian ilmiah remaja (PIR) untuk SLTP dan olimpiade penelitian siswa Indonesia (OPSI) untuk SLTA.

Untuk pembelajaran pada mata pelajaran dan muatan lokal wajib diikuti oleh semua peserta didik. Akan tetapi, pada pengembangan diri peserta didik memilih sesuai dengan minat dan bakatnya. Pada setiap satuan pendidikan yang siswanya cukup banyak, tentu minat dan bakatnya juga beraragam. Keberagaman minat dan bakat itulah yang seyogyanya difasilitas oleh setiap satuan pendidikan sesuai dengan tugasnya sebagai pelayan pendidikan.

Fasilitas yang harus disediakan untuk pengembangan diri meliputi  program kegiatan, sarana, prasarana, dan tenaga pembimbing. Pengadaan fasilitas tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dengan tugas setiap satuan pendidikan. Antara kebutuhan minat dan bakat peserta didik dengan kemampuan satuan pendidikan memfasilitasi memiliki hubungan kausal, hubungan sebab akibat. Disebabkan oleh keberagaman kebutuhan pengembangan diri, berakibat kepada program sekolah. Adanya program sekolah tentang pengembangan diri akan berakibat kepada penyediaan sarana, prasarana, dan tenaga.

Pelaksanaan pengembangan diri pada satuan pendidikan saat ini sangat bervariasi. Ada satuan pendidikan yang hanya memasukkan pengembangan diri ke dalam kurikulum, tetapi tidak melaksanakan sama seklai. Ada di kurikulum, tetapi dilaksanakan sebagian kecil saja, ada di kurikulum da ada dilaksanakan, tetapi belum menurut semestinya. Jarang satuan pendidikan yang melakukan pengembangan diri sesuai yang diharapan di dalam panduan standar nasional pendidikan.

Ketidakterlaksaan pengembangan diri si satuan pendidikan dipengaruhi banyak hal. Hal yang paling mendasar adalah kekurangpahaman manajemen satuan pendidikan terhadap keberadaan (eksistensi) pembelajaran pengembangan diri. Di beberapa tempat mendikotomi (memisahkan) antara pengembangan diri dengan ektrakurikuler. Ada kegiatan yang disebut pengembangan diri ada yang disebut ektrakurikuler. Padahal salah satu wujud pengembangan diri itu adalah ekstrakurikuler di samping bimbingan kkonseling dan karir. Hal ini terjadi karena kekurangpahaman konsep dan keberadaan pengembangan diri.

Keterbatasan sarana, prasarana, tenaga, dan dana untuk melaksanakan pengembangan diri merupakan salah satu alasan klaksik yang sering terlontar dari sekolah. Ketika satuan pendidikan memilih pengembangan diri olah raga bola voli prestasi, ternyata lapangan bola voli di sekolah itu hanya satu. Bola volinya hanya tiga. Sementara guru pendidikan jasmani dan olahraga dan kesehatan yang ada tidak kompeten untuk olahraga ini. Begitulah alasan-alasan klasik yang diberikan. Tentu seribu satu alasan lain dapat dimunculkan. Akan tetapi, yang paling mendasar sebenarnya satuan pendidikan belum memahami eksitensi pengembangan diri sebagai bagian dari pembelajaran.

Sekaitan dengan itu kita hanya mau mengatakan, “orang berhasil kelebihan satu cara, orang gagal kelebihan satu alas an, dan orang yang selalu gagal sangat kreatif mencari alas an.” (Zulkarnini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *