Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)
Tiap awal tahun pelajaran atau awal semester, siswa, dan mahasiswa menerima daftar atau jadwal dari satuan pendidikannya. Pelajar dan siswa menerimanya dari sekolah dan mahasiswa menerimnya dari perguruan tinggi tempat mereka belajar. Pada daftar itu tertera dengan jelas nama mata pelajaran/kuliah, waktu, pertemuan yang ke-, dan guru/dosen yang mengampu. Segala informasi yang berhubungan dengan mata pelajaran tercantum di daftar tersebut. Daftar ini secara resmi dikeluarkan oleh satuan pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi), dilegalkan dengan tanda tangan dan stempel. Artinya, daftar itu adalah daftar resmi yang dikeluarkan lembaga pendidikan atau institusi pendidikan pemerintah atau swasta.
Bagi institusi yang mengeluarkan daftar itu maknnya adalah pelayanan. Daftar tersebut merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada pelanggannya. Dengan daftar itu pelanggan (siswa/mahasiswa) akan tahu tentang peyanan yang akan diterimanya. Pelanggan tau bahwa pada pukul sekian, dengan materi itu, ia akan dilayani oleh personal (guru/dosen) yang ditugaskan lembaganya bernama itu. Tentu saja, pelayanan tersebut bukanlah pelayanan asal-asalan, bukan pelayanan yang mengada-ada, tetapi pelayanan resmi dari lembaga resmi atas jasa yang diberikan kepada pelanggannya.
Bagi pelanggan (siswa/mahasiswa) makna daftar pelajaran/kuliah itu adalah aba-aba, peringatan, dan pemberitahuan. Mereka menerima pemberitahuan bahwa pada pukul sekian, dengan materi itu, dan dengan personal (guru/dosen) itu Anda akan mendapat pelayanan pembelajaran. Jika Anda ingin mendapat pelayanan seperti yang di dalam daftar, tentu harus datang tepat waktu dan mempersiapkan diri untuk dilayani. Itu sekurang-kurangnya makna bagi siswa/mahasiswa.
Bagi guru/dosen maknanya adalah “akad” atau perjanjian. Sebagai guru/dosen ia membuat akad dengan lembaganya tempat ia bertugas. Akadnya ialah akan memberikan pelayanan kepada pelanggan siswa/mahasiswa) sesuai dengan yang dicantumkan di dalam daftar resmi yang nama guru/dosen tertera di situ. Atas akad (janji) tersebut guru/dosen menerima hak. Hak-hak itu diatur dengan ketentuan yang berlaku. Atas akad itu pula guru/dosen membayarkan kewajiban-kewajibannya sesuai aturan. Tentu saja di dalam aturan perjanjian antara guru/dosen dengan lembaga tempat mereka bekerja aka ada sangsi-sangsi atau resiko yang harus ditanggung, jika ada salah satu dari kedua pihak itu yang mangkir.
Selanjutnya, bagi guru/dosen daftar pelajaran itu juga merupakan janji kepada siswa/mahasiswa. Mungkin pernyataannya berbunyi seperti ini, “Siswa atau mahasiswaku, kita akan bertemu di kelas itu pada pukul sekian dengan materi itu. Dalam rentangan waktu tersebut Kalian akan mendapat pelayanan dariku (guru/dosenmu)”. Bunyi pernyataan itu merupakan aktualisasi dari sebuah janji yang dinukilkan oleh seorang pendidik kepada peserta didiknya. Hal itu berlangsung sepanjang tahun, mulai pendidik menyatakan siap untuk mendidik, sampai ia menyatakan diri untuk berhenti atau diberhentikan karena usia pensiunan.
Daftar pelajaran/kuliah bermakna daftar pelayanan bagi lembaga pendidikan, aba-aba bagi peserta didik (siswa/mahasiswa), dan janji bagi pendidik (guru/dosen). Ada dua pihak pada posisi daftar pelajaran/kuliah ini. Posisi pertama lembaga pendidikan, satuan pendidikan, isntitusi pendidikan dengan tenaga pendidik (guru/dosen) sebagai aparatnya. Posisi kedua adalah peserta didik (siswa/mahasiswa) yang menjadi pelanggan institusi pendidikan yang berhak mendapat pelayanan. Antara kedua posisi itu terdapat hubungan formal, moral, dan emosional.
Hubungan formal ditandai dengan formalitas. Peserta didik melamar, memohon untuk dapat menjadi pebelajar di instutusi pendidikan. Mereka melamar karena dianggap institusi tersebut mampu memuaskan kebutuhannya, mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan pendidikannya. Untuk dapat diterima sebagai pebelajar di institusi, mereka melengkapi semua persyaratan yang ditetapkan institusi seperti persyaratan adminsitratif dan finasial. Atas kewajiban yang dipenuhinya itu, setiap pebelajar seharusnya juga mendapatkan hak-haknya secara seimbang. Salah satu haknya ialah mendapat pelayanan yang layak dalam pembelajaran.
Dalam hubungan formal ini ada resiko atau konsekuensi. Misalnya, jika siswa/mahasiswa tidak membayar kewajibannya seperti sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dalam batas waktu yang ditetukan, berarti yang bersangkutan dianggap mengundurkan diri pada tahun atau semester itu. Resiko yang diekplisitkan (diterakan) dalam buku panduan akademik hanyalah untuk pihak yang melamar atau siswa/mahasiswa. Apa resiko yang harus ditanggung oleh institusi pendidikan jika pebelajar tidak mendapat pelayanan yang layak? Biasanya hal seperti itu tidak diterakan. Padahal di dalam undang-undang Sisdiknas semuanya sudah diatur yakni mengenai hak dan kewajiban institusi pendidikan. Apakah ini termasuk ketidakadilan atau mungkin pelanggaran HAM? Ini perlu dikaji lebih lanjut.
Hubungan moral dan emosional mengandung makna kaitan dengan moral dan emosi. Secara moral institusi pendidikan dan pendidik berkewajiban memberikan pelayanan dan memenuhi janjinya kepada peserta didik (pebelajar). Seperti topik tulisan ini, institusi pendidikan dan pendidik berkewajiban memenuhi jadwal pelajaran/kuliah yang dikeluarkannya. Jika hal itu tidak terpenuhi, berarti ada utang moral dan emosional kepada peserta didik dan masyarakat.
Seorang dosen di perguruan tinggi punya “janji” bertatap muka dengan mahasiswanya sebanyak 16 kali dalam satu semsester. Karena berbagai alasan, janji itu hanya terpenuhi separohnya. Apa yang dilakukan institusi terhadap dosen yang bersangkutan? Adakah teguran, peringatan, dan sejenisnya? Adakah institusi meminta maaf kepada mahasiswa atas perilaku dosen yang tidak membayarkan kewajibannya itu? Adakah mahasiswa memiliki keberaniaan untuk menagih kepada dosen agar “janji – yang menjadi utang” itu dipenuhi?
Suatu sekolah memiliki kewajiban moral dan emosional kepada siswanya untuk memberikan pelayanan. Di antara pelayanan itu adalah guru (pendidik) berjanji seperti dalam daftar pelajaran akan bertatap muka dengan peserta didik mulai pukul sekian sampai pukul sekian. Jika janji itu tidak dipenuhi guru, berarti guru berutang kepada peserta didinya. Utang menurut agama, haruslah dibayar. Jika utang itu adalah utang “waktu”, bagaimana cara membayarnya. Suatu hari nanti, entah di dunia atau di akhirat (jika yakin kepad agama yang dianut) siswa menagih utang itu kepada guru atau pengelola pendidikan. “Anda berjanji bahwa akan membelajarkan kami pada pukul sekian sampai pukul sekian dengan materi itu. Akan tetapi, Anda mangkir dengan janji. Hari ini kami tagih. Bayarlah!” Jika tagiahan itu di akhirat nanti dengan apa kepala sekolah dan guru akan membayarnya. Tentu perlu renungan.
Deskripsi di atas bukanlah mengada-ada. Dalam kenyataan sehari-hari dapat dilihat. Pendidik yang mangkir dengan daftar pelajaran/kuliah sungguh ada. Peserta didik yang tidak mendapat playanan selayaknya juga ada. Institusi pendidikan yang tidak menindak guru/dosen yang tidak memenuhi janjinya seuai dengan daftar pelajaran atau kuliah juga ada. Tentu hal itu dapat dijadikan renungan bagi yang kompeten, yang berwajib, dan yang berswenang menangani masalah-masalah seperti ini. Semoga. (Zulkarnaini Drian, praktisi, pemerhati, dan trainer pendidikan tinggal di Padang).
Padang, 29 januari 2014