PEMBELAJARAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

Oleh Zulkarnaini Diran

(praktisi dan pemerhati pendidikan)

Tugas pertama dari setiap program belajar ialah membuat pembelajar tergugah, terbuka, dan siap untuk belajar (Meier, 2002:111). Substansi program seharusnya berupa materi yang menggugah, membuat terbuka, dan menyiapkan peserta didik untuk belajar. Substansi seperti hanya akan mangkus jika materi memenuhi kriteria tertentu yakni bermakna, berguna, dan terkait dengan masalah hidup dan kehidupan. Merancang, menyeleksi, mengorganisasikan, dan memformulasikan materi seperti itulah salah satu seni menyusun program belajar.

Kurikulum adalah acuan dalam pembelajaran. Setiap rancangan program pembelajaran berangkat dari kurikulum. Kurikulum merupakan teks tertulis yang dirancang oleh pakar dan dilegalisasi oleh birokrasi melalui regulasi pendidikan. Perancang program pembelajaran di satuan pendidikan adalah guru atau pendidik. Pendidik menjadikan kurikulum sebagai acuan. Apakah pesan kurikulum sampai kepada pebelajar atau tidak tergantung kepada kemampuan guru membaca, memahami, dan menggunakan kurikulum sebagai pedoman untuk menyusun program belajar.

Kenyataan kini menggambarkan. Program pembelajaran yang didesain guru sangat formal. Bahkan sering monoton dan sergam. Program itu bagaikan terpola secara nasional. Program yang seharusnya berfungsi untuk membelajarkan peserta didik sesuai dengan situasi dan kondisi, ternyata belum terwujud. Uniforomisasi (penyeragaman) menjadi ciri khas yang sulit dhilangkan. Seperti apapun teori dan regulasi mengarahkan dan menyarankan agar program pembelajaran dirancang sesuai kebutuhan (menggugah, membuka, dan menyiapkan), tetap saja sulit dilakukan dan sampai kini belum terlihat nyata.

Program belajar terpola dan sergam biasanya berangkat teks formal. Buku sumber yang sama, buku teks yang seragam, contoh-contoh resmi yang dilegalisasi secara nasional yang rada-rada sama, dan penerjemahan terhadap kurikulum dengan pola pikir sama, melahirkan program belajar yang seragam. Program seperti ini biasanya tidak selalu cocok untuk semua situasi pebelajar. Resiko yang dihadapi terhadap kodisi program seperti ini adalah timbulnya “pemaksaan” terhadap pebelajar (peserta didik) agar belajar seperti yang diprogramkan. Konsekuensi logisnya adalah peserta didik tidak tergugah, tidak terbuka menerima, dan selalu merasa tidak siap untuk belajar.

Program belajar yang berangkat dari teks yang seragam melahirkan pembelajaran tekstual. Hal yang harus dipelajari adalah yang tertera di dalam teks. Jika peserta didik mempelajari yang di luar teks, berarti terjadi penyimpangan. Penyimpangan seperti itu ditabukan, dilarang, dan haus dihindari. Akibatnya, peserta didik  belajar hanya untuk belajar, belajar untuk keperluan yang mengajar, belajar untuk keperluan menyelesaikan program belajar yang dirancang menurut selera orang dewasa (pendidik).

Selain itu, pembelajaran tekstual bertolak dari kebenaran teks. Kebenaran teks adalah kebenaran teoretik keilmuan yang sifatnya nisbi atau relatif. Kebenaran teks sifatnya sementara. Hari ini benar, besok berubah, minggu ini benar dan minggu berikut berubah. Perubahan itu dimungkinkan terjadi karena memang sifat ilmu begitu. Ilmu berubah, berkembang, dan terus berkembang. Apalagi pada era teknologi informasi ini, ilmu berkembang setiap detik. Program belajar berbasis teks yang melahirkan pembelajaran tekstual, besar kemungkinan tidak selamanya membuat peserta didik tergugah, terbuka, dan siap untuk belajar karena berjarak dengan kekinian, tidak terbarukan.

Belajar adalah proses mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman menjadi kearifan, dan kearifan menjadi tindakan (Meier, 2002:156). Pesan ini mengeksplisitkan bahwa belajar dimulai dari pengalaman. Pengalaman adalah sesuatu yang dialami. Bisa jadi dialami sendiri atau dialami oleh orang lain. Bisa terjadi saat ini, bisa pula pada masa lalu. Akan tetapi, yang jelas, pengalaman bertali-berkulindan dengan hidup dan kehidupan. Jika pembelajaran dilakukan berbasis kepada pengalaman (bukan teks), berarti ada konteks di dalamnya. Sekaitan dengan itu, berarti pembelajaran jenis ini dapat diartikan pembelajaran kontekstual (terkait dengan konteks kehidupan kini atau masa lalu).

Dari pengalaman yang kontekstual dihasilkan pengetahuan. Bisa jadi yang didapat adalah pengetahuan baru atau analogi dan rekonstruksi dari pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya. Proses itu merupakan proses transformasional melalui kenyataan hidup dan kehidupan. Pemerolehan pengetahuan berdasarkan kondisi ril, konteks nyata, dan keadaan yang sebenarnya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara seperti ini, biasanya melekat lama dan sulit diupakan oleh peserta didik. Jika pengetahuan itu dikombinasikan atau dikoorelasikan dengan pengetahuan yang ada pada teks, tentu pengetahuan tersebut akan lebih terpatri secara utuh di dalam memori peserta didik.

Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman akan mudah dipahami. Dari pemahaman nyata berdasarkan pengalaman tersebut akan muncul kearifan. Kearifan itulah yang mendasari tindakan yang dilakukan. Artinya, jika program belajar dirancang berdasarkan konteks nyata kehidupan (kontekstual), diasumsikan akan melahirkan orang-orang bertindak secara arif berdasarkan pemhamannya terhadap pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman (kontekstual).

Program belajar berdasarkan teks melahirkan pembelajaran tekstual. Kebenaraannya adalah kebenaran teoretik keilmuan yang sifatnya nisbi atau relatif. Program belajar berdasarkan konteks pengalaman akan melahirkan pembelajaran kontekstual. Kebenaranya adalah kebenaran empirik faktual yang sifatnya terkait dengan pengalaman nyata tentang hidup dan kehidupan. Jika kedua basis pembelajaran itu dikombinasi, digabung, dan dipadukan akan melahirkan pembelajaran yang seintfik. Pembelajaran seintifik merupakan pembelajaran berbasis metode ilmiah yang disarankan dalam implementasi Kurikulum 2013.

Bagaimana seorang guru atau pendidik merancang pembelajaran yang dengan substansi materi keilmuan – teoretik yang digabung dengan substansi empirik – faktual, seperti itulah bentuk pembelajaran yang akan terjadi. Jadi, akan ada pembelajaran tekstual dan akan ada pembelajaran kontekstual. Akan lebih manis jika pendidik mampu meramu, mengombinasikan, menformulasikan, dan memadukan kedua pembelajaran itu yakni pembelajaran tekstual dan pembelajaran kontekstual. Tentu kita tunggu kepiawaian sejawat guru atau pendidik untuk berkreasi dalam merncang dan melaksanakan pembelajaran pada Kurikulum 2013. Semoga. (Zulkarnaini, praktisi dan pemerhati pendidikan tinggal di Padang).

 

Padang, 31 Januari 2014

 

 

 

2 comments

  1. saya ingin tahu rujukannya pak, sy juga ingin tahu tentang macam-macam metode atau strategi pembelajaran yang termasuk tekstual

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *