KURIKULUM 2013 DALAM TIGA BAHASA

Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)

Dua tahun lalu seorang pejabat pendidikan kabupaten memberikan pengarahan kepada para guru dan kepala sekolah. Inti arahannya ialah bahwa kurikulum baru segera diluncurkan. Kurikulum itu bernama Kurikulum 2013 (K13). Dengan semangat yang berapi-api, sang pejabat menjelaskan keunggulan dan kehebatan K13. Hal yang paling ditonjolkan ialah bahwa guru tidak perlu lagi membuat persiapan, bahan ajar dalam bentuk buku siswa sudah tersedia, dan buku gurupun disiapkan. Dengan tersedianya buku siswa, orang tua siswa tidak perlu lagi memikirkan anggaran untuk membeli buku dan bahan ajar sejenisnya.
Informasi yang disampaikan oleh orang nomor satu bidang pendidikan di kabupaten itu membawa angin segar dan sejuk bagi guru dan orang tua. Bagi guru, membuat persiapan pembelajaran jauh lebih rumit daripada melaksanakan pembelajaran itu. Oleh karena itu, bagi guru informasi itu benar-benar menyejukkan dan menyegarkan. Bagi orang tua, ganti taun ganti buku dan ganti LKS (lembar kerja siswa) adalah beban yang harus ditanggung secara berkesinambungan sampai anak-anak menamatkan pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena itu pula, informasi Sang Pejabat benar-benar angin segar yang menyejukkan.
Tentu tidaklah salah, jika pejabat menginformasikan kurikulum baru dengan segala keunggulan dan kehebatannya. Hal itu memang menjadi salah satu tugas pejabat pendidikan di kabupaten atau kota. Tidak pula salah jika informasi itu merupakan angin segar dan menyejukkan bagi guru dan masyarakat. Mereka tidak bisa disalahkan karena harapan-harapan mereka terpenuhi, meskipun baru sebatas informasi. Memang, sang pejabat baru saja pulang dari sosialisasi K13 di hotel berbintang di Jakarta sana. Informasi yang diterimanya tentu cukup banyak, tetapi yang paling pantas dan patut untuk disampaikan di hadapan guru dan kepala sekolah, di antaranya ialah perihal kurikulum, keunggulan, dan kehebatannya.
Seiring dengan itu, para pakarpun mulai berkomentar. Komentar diberikan dari sudut pandang keilmuan dan mashab ilmiah yang dianutnya. Menarik jika komentar yang bermunculan di berbagai media itu kalau disimak dan disikapi. Intinya, merupakan pertimbangan bagi pengambil keputusan dan bagi pelaksana atau praktisi. Pertimbangan-pertimbangan itu tentu hanya bisa didapat bila pendapat para pakar ini dianalisis dengan benar, dimaknai dengan tepat, dan dikaitkan dengan konteks pelaksanaannya.
Secara konseptuap, K13 sangat bagus. Hakikatnya adalah memberikan keseimbangan di dalam membentuk kepribadian dan karakter peserta didik. Hal yang terlihat seimbang secara konseptual di dalam kurikulum baru itu adalah antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Tentu saja ada ulasan dan argumen bahwa kurikulum sebelumnya belum seperti itu. Dari objektifitas kepakaran para pengulas perihal kurikulum ini, tentu ada terselip kesubjektifan yang memang tidak mungkin dihindari. Memang pakar, ilmuwan, bengawan, dan sejenisnya tugasnya ialah memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada pengambil keputusan dan pelaksana keputusan tentan suatu objek. Itulah bahasa pakar.
Bahasa pejabat (baca:birokrat) adalah bahasa menghibur. Hiburan berupa angin surga yang ditiupkan tentang “ringannya” kerja guru dan “entengnya” beban orang tua atas kehadiran K13. Hiburan seperti pun sampai hampir dua tahun pelaksanaan “ujicoba” K13 masih kedengaran. Bahasa pakar (ahli) adalah bahasa rasional yang memberikan pertimbangan baik atau buruk dengan segala argumentasinya. Pertimbangan itulah yang direnung-renungkan oleh pengambil keputusan dan yang akan melaksanakan keputusan. Dengan pertimbangan itu terbuka alternatif-alternatif yang sangat banyak untuk implementasi K13. Jadi, K13 sudah ada dalam dua bahasa yakni bahasa pejabat (birokrat) pendidikan dan bahasa pakar (ahli) pendidikan.
Awal tahun pelajaran 2013, sejumlah guru dilatih di hotel-hotel berbintang. Pelatihnya adalah guru inti yang dibekali selama lima hari di berbagai tempat. Selain itu, juga ada narasumber dari instansi vertikal yang bertanggung jawab langsung dalam pelatihan. Guru-guru yang akan menggunakan K13 ini dibekali selama lima hari juga (dalam hitungan biaya, bukan hitungan hari kerja). Mereka yang datang ke arena pelatihan telah mendapat bekal awal yakni bekal dari bahasa pejabat pendidikan dan bekal dari bahasa pakar pendidikan. Dengan persepsi dan resepsi dari dua bahasa itu, mereka berhadapan dengan guru-guru inti yang juga dari kalangan mereka. Maka, muncullah bahasa yang ketiga di situ, yakni K13 dalam bahasa praktisi (guru, pendidik).
Usai pelatihan guru semakin bingung. Bekal yang paling ia pahami hanya satu. Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan seintifik. Hanya itu. Bagaimana dan dari mana dimulai, bagaimana dan darimana diakhiri? Belum terjawab dengan pelatihan lima hari. Sampai di sekolah guru berkomentar, “tidak tahu ujung dan pangkalnya”. Bahasa guru yang muncul seperti itu disikapi oleh yang kompeten, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pihak kementerian menyadari, pelatihan lima hari dengan pemandu guru inti yang juga dilatih lima hari ternyata tidak mangkus. Guru belum bisa mengimlementasikan K13 dengan tepat dan benar. Tahun berikut, kebijakanpun diubah oleh Kepmendikbud.
Tahun pelajaran 2014, guru kembali dilatih. Pelatihnya adalah instruktur nasional. Guru inti tidak dipakai lagi. Rekrut instruktur nasional dilakukan secara administraitf melalui portofolio calon. Mereka yang direkrut adalah dosen, widyaiswara, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru senior, dan elemen lain yang berminat. Instruktur nasionalpun dilatih di berbagai tempat di Tanah Air. Pelatihannya juga berlangsung lima hari. Model pelatihan sudah agak berbeda. Mereka mulai berlatih dengan menggunakan lembar kerja (LK). Tiap sesi pelatihan disiapkan LK-nya. Instruktur pun berbekal selama lima hari.
Pulang berlatih, instruktur berhadapan dengan guru. Guru, ternyata juga dilatih menggunakan LK. Tujuan utamanya tentu untuk memahmai konsep-konsep dasar K13. Kesibukan mengisi lembar kerja itulah yang menghabiskan waktu guru selama lima hari. Kadang-kadang mereka sampai larut menyiapkan materi pelatihan sesuai dengan buku panduan pelatihan. Guru pun berbahasa, “apa tidak ada bahan pelatihan yang langsung dapat dingunakan di kelas?” Ternyata pertanyaan itu harus dijawab sendiri oleh guru. “Tidak, pelatihan lima hari tidak mengantarkan guru langsung dapat mengimplementasikan K13 di kelasnya”. Itulah bahasa guru, yakni bahasa praktisi pendidikan, bahasa orang terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di kelasnya.
Dengan bekal itu, tahun pelajaran baru pun datang. Guru mulai mengira-ngira, seperti apa seharusnya persiapan guru? Bagaimana menyusun perencanaan pelajaran yang menggunakan pendekatan seintifik? Bagaimana membuat instrument penilaian berdasarkan penialian autentik? Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana yang lain ternyata tidak terjawab. Akhirnya guru merenung dan kembali ke “bahasa pejabat, birokrat” bahwa K13 menyiapkan segala-galanya. Guru tidak perlu lagi membuat persiapan, buku siswa sudah tersedia, bahan ajar sudah dikemas dengan baik”. Ternyata bahasa itu adalah “utopia”. Namanya saja bahasa “angin surga”, bukan bahasa “surga”. Kenyataan lebih pahit lagi adalah, ketika semester pertama tahun ini hampir berakhir, buku siswa belum sampai di sekolah.
Inilah tiga bahasa dalam implelemntasi K13. Bahasa pejabat penuh “angina surga”, bahasa pakar penuh “alternatif”, dan bahasa praktisi (pendidik, guru) penuh “tanda tanya”. Mestinya, harapannya, permintaannya, K13 ada dalam satu bahasa, bukan dalam multibahasa. Semoga. (Zulkarnaini Diran, praktis dan pemerhati pendidikan)
Padang, September 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *