Oleh Zulkarniani Diran
Menjadi guru masa depan tidaklah mudah. Sekurangnya itu yang terungkap dari Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menegpan dan RP) Nomor 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Pendidikan calon guru paling rendah S1 atau D4. Calon harus memiliki sertifikat profesi yang dapat diambil melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) di perguruang tinggi yang terakreditasi. Sang calon dengan persyaratan itu harus pula mengikuti tes untuk menjadi guru. Jika lulus tes, masih calon, belum guru sebenarnya.
Prosedur berikutnya adalah mengikuti program induksi di sekolah tempat ia bertugas. Program induksi itu sejenis “magang” pada guru senior selama enam bulan sampai dua tahun. Dalam masa induksi itu calon guru dinilai oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah. Jika memenuhi syarat yang ditetapkan, Dinas Pendidikan merekomendasikan kepada pemerintah daerah bahwa yang bersangkutan layak menjadi guru. Selanjutnya dapat mengikuti Pelatihan Calon Pegawai Negeri Sipil yang dikenal dengan “Prajabatan”. Akan tetapi, jika dinyatakan tidak lulus, induksi dapat dilanjutkan sampai waktu yang ditentukan. Pada lanjutan induksi juga dinyatakan tidak lulus, calon direkomendasikan untuk menjadi PNS bukan guru.
Begitulah gambaran dari Pemenegpan dan RB tersebut tentang guru masa depan. Tentu tujuannya adalah mencari tenaga professional yang handal untuk menupang pilar-pilar pembangunan bangsa melalui pendidikan.
Regulasi ini menyiratkan. Pemerintah berbagi kewenangan dengan kepala sekolah, pengawas sekolah, dan institusi lainnya untuk menetapkan kelayakan seorang guru. Setiap calon guru harus berpendidikan S1 atau D4 dari berbagai disiplin ilmu. Perguruan tingginya harus terakreditasi. Kewenangan itu ada pada institusi Perguruan Tinggi terakreditasi. Mereka yang berminat menjadi guru wajib mengikut tes calon pegawai negeri sipili (CPNS) untuk guru negeri. Kewenangan ada Pemerintah (Pusat atau Daerah). Jika calon dinyatakan lulus sebagai calon PNS, harus mengikuti Program Induksi di sekolahnya. Pernyataan layak berada di tangan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah. Dari ini direkomendasikan kepada Pemerintah Daerah untuk diangkat menjadi guru. Dengan demikian, pemerintah tidak sendiri dalam menentukan seorang guru. Ada kebersamaan di dalamnya.
Perguruan Tinggi adalah produsen. Perguruan tinggi membekalkan berbagai disiplin ilmu kepada para calon guru atau yang berminat menjadi guru. Disiplin ilmu itu merupakan substansi materi yang akan menupang kerpofesionalan guru sebagai akademisi dan praktisi pendidikan. Di perguruan tinggi mereka juga menerima bekal tentang cara, teknik, dan kiat-kiat pembelajaran. Bekal yang diterima antara lain meliputi pengelolaan kelas, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses dan hasil pembelajaran. Cara-cara seperti itu mereka terima dalam kemasan teoretik dan praktik.
Hasil olahan perguruan tinggi ini diterima ssebagai bahan “setengah jadi” oleh pemerintah. Artinya “gembelengan” perguruan tinggi ini tidak langsung dipakai. Mereka disaring melalui tes, kemudian diujicoba secara teknis, dan dilegalisasi sebagai tenaga profesional yang penghasilannya memberi jaminan untuk hidup layak.
Menyeleksi calon guru, khsusunya untuk pengawai negeri dilakukan oleh pemerintah dengan ketat. Penerimaan guru ditentukan selain lulus tes juga formasi yang tersedia di berbagai daerah. Hal paling menentukan adalah ketersediaan anggaran pada tahun tertentu. Seleksi ketat dengan saiangan ketat itu telah menyaring orang-orang terbia dan anak bangsa “hebat” untuk menjadi guru.
Kemudian program “magang” dengan guru “senior’ di sekolah merupakan saringan dalam bentuk kelayakan menjadi guru. Penguasaan keilmuan berdasarkan disiplin ilmu yang diterimanya di perguruang tinggi dan penguasaan teori-teori pendidikan dan pembelajaran, belumlah jaminan untuk menjadi guru. Tampilan ril di kelas, tampilan ril di hadapan guru lain, kemmapuan menyesuaiakn diri dengan kebijakan sekolah, dan kemmapuan beradaptasi dengan guru-guru lain adalah kunci kelayakan untuk menjadi guru.
Jika fase-fase yang dirancang dengan regulasi pemerintah ini diikuti dan dilaksanakan dengan benar oleh yang kompeten, tentu Indonesia akan mendapat “guru masa depan” yang berkualitas. Guru masa datang yang memang eksistensinya “sangat profesional” karena diseleksi sedemikain ketat. Tentu dengan demikian pula tidak terjadi lagi “malpraktik” di kalangan guru yang kini masih banyak terjadi.
Semoga guru masa depan adalah guru-guru terbaik yang akan menupang pilar pembangunan bangsa melalui pendidikan.