Oleh Zulkarnaini Diran
Kurikulum bermuatan prestise. Menggunakan kurikulum baru di satuan pendidikan menjadi prestise di sekolah itu. Jika semua sekolah di suatu wilayah administratif pemerintahan menggunakan kurikulum baru, prestise pula bagi daerah itu, khususnya bagi Dinas Pendidikan. Perihal prestise di dalam kurikulum ini terjadi hampir pada setiap pergantian kurikulum.
Tahun 2003 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) disosialisasikan, diperkenalkan kepada masyarakat. Konsumen orinteasinya mulai dari jajaran atas yang terkait sampai kepada kalangan pelaksana. Kepala daerah, kepala dinas pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru-guru mendapat sosialisasi dan pengenalan terhadap KBK tersebut. Usai pengenalan, 2004 KBK diujicobakan secara terbatas. Pemerintah, Departemen Pendidikan Nsional memilih sekolah-sekolah ujicoba kurikulum baru ini.
Tiap provinsi ditetapkan beberapa sekolah uji-coba. Tidak semua kabupaten kota mendapat sekolah uji-coba. Saat itu banyak kepala dinas pendidikan “ngotot”. Sekolah di daerahnya tidak mendapat jatah untuk uji-coba kurikulum. Akhirnya dengan prinsip “maju tak gentar” memberanikan diri untuk menggunakan KBK di beberapa sekolah di daerahnya. Anggaran disedikan, guru-guru ditatar, dan fasilitas lain disiapkan. Meskipun fasilitas sangat terbatas, namun prinsip “maju tak gentar” terus dilakukan. Untuk apa? Inilah prestise.
KBK adalah embrio Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Ketika KBK diluncurkan, regulasi berupa peraturan pemerirntah dan peraturan menteri hampir belum ada. Hanya ada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Peraturan pemerintah belum selesai dibuat, peraturan menteri pendidikan apalagi. Akan tetapi, sejumlah sekolah dan sejumlah daerah yang menganggap “kurikulum baru sebagai prestise”, telah terlanjur menggunakan KBK. Tentu saja selain sekolah uji-coba, “haram” hukumnya menggunakan KBK karena dasar yuridisnya belum ada. Tapi itu adalah “prestise dalam kurikulum baru”.
KTSP atau dikenal juga dengan Kurikulum 2006 diberlakukan dua tahun setelah KBK diujicoba. Terjadi perubahan-perubahan dalam beberapa dokumen. Misalnya di KBK silabus disediakan, di KTSP silabus dibuat oleh guru. Standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) juga mengalami perubahan. Saat pelaksanaannya dimulai dari kelas 1, 4, 7, dan 10. Artinya kelas awal untuk periode tiga tahun. Di Sekolah Dasar dimulai dari kelas 1 dan 4, di SLTP dari kelas 7, dan SLTA dari kelas 10. Ada sekolah yang “serakah”. Ia melaksanakan sekaligus untuk tiga tahun dengan alasan sebelumnya sudah menggnakan KBK. Tentu saja “keserakahan” itu dilegalisasi oleh pemerintah daerahnya. Mengapa? Inilah prestise dalam kurikulum.
Kurikulum 2013 yang merupakan penyempurnaan KTSP diluncurkan. Kasus yang sama berulang. Semua daerah berebut untuk melaksanakan kurikulum baru. Yang mau dan yang berambisi melaksanakan adalah birokrat pendidikannya. Sementara sebagaian besar guru biasa-biasa saja. Ancangan yang dibuat pemerintah, yakni memberlakukan Kurikulum 2013 secara bertahap dan terbatas dianggap oleh birokrat pendidikan di daerah kurang berkeadilan, terutama yang daeahnya mendapat sedikit jumlah sekolah ujicoba. Alasannya sederhana, yang tadi itu, “prestise”.
Daerah merespon secara cepat setiap luncuran kurikulum baru dari pusat. Kadang-kadang luncuran itu baru bersifat konsep-konsep dasar, belum dilengkapi dengan regulasi dan petunjuk operasional. Akan tetapi daerah telah menyosialisasikan kepada pendidik dan tenaga kependidikan. Sosialisasi dilakukan berdasarkan sosialisasi yang diterima pejabat pendidikan di pusat. Dalam sosialisasi tersebut yang muncul justru keunggulan-keunggulan yang luar biasa. Seperti “promosi” dan iklan saja layaknya.
Pelaksana kurikulum di daerah, khsusunya pendidik di satuan pendidikan biasanya mendapat informasi teknis setelah sosialisasi oleh pejabat pendidikan. Ketika mengikuti pelatihan teknis dan ketika melaksanakannya di kelas, ternyata tidak secantik “iklan” promosi waktu sosialisasi. Akhirnya para pendidik kecewa dan yang tidakd bisa menahan diri langsung memprotes dengan caranya masing-masing. Mengapa “promosi – iklan” sosialisasi hanya bercerita tentang keunggulan? Ini bagian dari prestise juga di daerah.
Ketika Kurikulum 2013 dibatasi pemberlakuannya dengan keputusan menteri pendidikan, banyak guru yang “bersyukur” dan bertrimakasih kepada Menteri Pendidikan. Bahkan banyak guru yang sangat berbahagia ketika ditunda penggunaan kurikulum ini. Akan tetapi terjadi sebaliknya, ada birokrat pendidikan di daerah yang “ngotot”, mengapa ditunda, padahal guru di daerahnya sudah biasa dan membiasakan diri dengan kurikulum ini. Barangkali hal itu terjadi karena kurikulum adalah prestise. Jika dihentikan atau dibatasi pelaksanaannya, prestise itu pun turun.
Mengubah pola pikir birokrat pendidikan dari prestise ke prestasi tentu memerlukan waktu. Minimal mereka yang mengurus pendidikan, khsusunya di tataran dinas pendidikan, hendaklah sadar bahwa kurikulum bukanlah prestise. Oleh karena itu, kurikulum manapun yang dipakai hal penting yang perlu diperhatikan adalah upaya memberikan pelayanan optimal, adil, dan merata kepada masyarakat, terutama peserta didik. Kurikulum bukanlah prestise, tetapi pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan. Semoga.