Banyak orang yang memperturutkan syahwatnya, tidak dikekangnya sedikit juga, sehingga dikorbankannya harta-benda, nama baiknya, bahkan bangsa dan negaranya. Tidak peduli hinaan orang banyak dan kena kutukan Tuhan, karena semata-mata memperturutkan seruan syahwat. Maka rusak binasalah jasmani dan rohaninya, jatuh ke dalam lembah kehinaan.
Ada pula orang yang sama sekali membelakangi kehendak syahwatnya. Tidak dipenuhinya sedikit juga, sehingga ada yang tidak memakan makanan yang enak, atau pakaian yang bagus, bahkan ada yang enggan beristri selama hidupnya. Maka rusak pulalah dan lemahlah dia, tidak mempunyai kegiatan hidup.
Ada anak muda di kampung-kampung, di tanah yang luas dan kebun yang subur, kerjanya hanya duduk-duduk mengobrol di warung kopi, atau pergi mengadu ayam, dan pekerjaan lain yang tidak bermanfaat. Waktu makan pulang, tidak ada niatnya mencari rezeki atau nafkah, sedang yang payah-payah masuk sawah, ke lading, ke kebun, adalah para perempuan. Akhirnya laki-laki di kampung itu bila telah tua biasanya tinggal di surau tua, tidak dihargai oleh anak kemenakan sebab diwaktu mudanya duduk-duduk di warung tidak mau berusaha.
Ada pula yang giat bersungguh-sungguh mencari rezeki, siang malam, petang dan pagi. Lupa kesehatan, lupa tidur, lupa makanan yang enak, bahkan kadang-kadang lupa memakai pakaian yang agak bagus. Karena meskipun mereka bersungguh-sungguh mencari kehidupan, kerjanya hanya mengumpulkan, bukan membelanjakan.
Di anatara kedua macam perangai itu, ada perangai yang terletak di tengah-tengah; tidak memperturutkan syahwat, tetapi diberinya juga sedikit, sekedar pelepas yang menyakiti betul. Waktu muda tidak disia-siakan. Dia pergi mencari rezeki, untuk persiapan diwaktu tua. Tetapi di dalam mencari rezeki tiada dilupakan mencukupkan yang perlu bagi hidupnya, tidak terlalu mengazab diri. Sebab dia berusaha untuk dirinya. Mengapa diri yang dicarikan itu akan dirusakkan?
Golongan pertama tercela, sebab berlebih-lebihan. Golongan yang kedua tercela sebab terlalu berkekurangan. Kedua-duanya menimbulkan bahaya bagi diri sendiri. Yang terpuji ialah jalan tengah, yang meletakkan sesuatu di tempatnya. Yang memilih segala pekerjaan mana yang bagus. Itulah yang dikatakan sederhana.
Orang yang sederhana, yang tidak terlalu condong, dan tidak terlalu rebah. Syahwat yang dibolehkan syara’ sekalipun, tidak melebihi mesti, ketika mengambil kesempatan dari keharusan itu. Misalnya boleh memakan makanan yang enak! Mentang-mentang harus (boleh) tidaklah dilahapnya lebih dari kekuatan perutnya.
Dibolehkan oleh syara’ beristri sampai empat, asal saja sanggup adil dan mampu. Mentang-mengtang mampu, dia lupa kesanggupan dan keadilan, dia hanya ingat kepada kemampuan, lalu dia beristri dua, tiga dan empat; salah sedikit ceraikan satu, tinggalkan dua, ganti lagi, cari pula janda muda atau perawan yang lain. Akhirnya tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengurus rohaninya, hidup, jiwa, dan ibadahnya kepada Tuhan. Hanyalah mengurus giliran malam para istrinya. Akhirnya anak-anaknya kucar kacir.
Orang yang sederhana, meskipun terhadap perkara yang dibolehkan, dia sederhana juga. Ingat sajalah ketika Raulullah saw hidup, diperintahkan kepada umat Islam supaya turut mengerjakan shalat malam “qiyamul laii” (tahjud). Tetapi kemudian, karena ada yang akan mencari rezeki, berniaga dan yang akan pergi ke medan perang, perintah itu diringankan daripada yang semula, hanya diberatkan kepada Nabi saw saja.
Orang disuruh beribadat pada hari Jumat. Tetapi ibadat itu tidak menghalangi usaha sehari-hari. Bekerjalah dari pagi sampai tengah hari. Tetapi kalau telah terdengar azan di masjid hendaklah segera pergi shalat dan tinggalkan perniagaan itu. Kelak setelah selesai mengerjakan shalat, lekas pulang ke tmpat perniagaan atau perusahaan itu, untuk mencari rezeki yang telah disediakan Allah.
Sedangkan ibadat itu sendiri tidak boleh dilebihi dari jangka. Segala sesuatu dalam hal pribadatan sudah dinyatakan dengan terang dan sederhana, tidak boleh melebihi dari yang tertulis. Ada pula shabat-sahabat Rasulullah saw yang lantaran terlalu ‘termakan’ pengajaran agama, lalu hendak dikekangnya syhawatnya. Dia tidak hendak beristri dan tidak hendak mencari kehdiupan lagi. Ada pula yang puasa terus-menerus. Saban malam tetap bangun dan sembahyang sehingga tidak diperdulikan lagi nafkah batin istrinya dan tidak tidur-tidur. Hal ini disampaikan orang kepada rasulullah saw, maka sahabat-sahanat yang terlalu berlebihan itu, sehingga terbetik berita, bawa ada yang berniat untuk memotong kemaluannya, semuanya dipanggil oleh Rasulullah saw. Beliau beri nasihat hendaklah segala yang berhak di atas diri kita, kita bayarkan haknya. Kita bayar hak Allah dengan menyembah-Nya. Kita bayar hak perut dengan makan. Kita bayar hak mata dengan tidur. Kita bayar hak istri dengan setubuh. Lalu beliau bersumpah bahwa imannya lebih teguh, takwanya lebih dalam, hatinya lebih dekat kepada Tuhan, namun dia sendiri tidaklah puasa berterus-terusan. Beliau makan, minum, dan tidur juga, bersetubuh juga dengan istrinya.
Sejak itu beliau larang umat berpuasa terus-menerus satu tahun. Diharmkan puasa pada satu syawal, sebab hari itu hari raya. Ada pula sahaba Rasulullah yang mencoba berpuasa siang dan malam, terus-menerus tidak berbuka, dan tidak makan sahur. Perbuatan itu dilarang pula oleh Rasulullah, tetapi ada pula shabat yang membantah, berkata dia, “Ya Rasulullah, paduka sendiri kami lihat puasa terus-terusan, bagaiamanakah?”
Beliau menjawab bahwa beliau sendiri lain. Meskipun beliau tidak makan, berbuka, tidak makan sahur, makanan beliau telah tersedia dari Tuhan. Mereka hendak menurut juga, Ramadhan telah hampir habis, telah lepas tanggal 20 dan 21, dan 23, dan puasapun habislah. Rasulullah belum juga makan, dia lebih kuat dari biasa, mukanya bertambah berminyak-minyak. Sedangkan pak turut yang tidak mau percaya itu terpaksa mengalah, dan makan.
Sebab itu nyatalah sederhana, yang boleh disebut “istiqomah” (tegak lurus di tengah-tengah), dan “i’tidal” (sama berat), disuruh di dalam ibadah sendiri, yang akan mendekatkan diri kepada Allah. Apalagi dalam pekerjaan sehari-hari yang tidak mengenai ibadah, perkataan, perbuatan, dan gerak-gerik.Semua hendaklah menurut jalan yang telah ditentukan. Menurut suruh agama, menghentikan larangannya, dan berusaha menutut kesempurnaan diri, menempuh jalan yangtelah ditentukan agama. Sebab agama telah memilih jalan yang sederhana, untuk kemaslahatan kita dunia dan akhirat.
Kita harus jujur. Karena kejujuran itulah yang sederhana dan lurus. Kita takboleh bohong, kita mesti lurus, takboleh mneipu. Kita tidak boleh royak dan tidak boleh bakhil. Kita takboleh terlalu pendorong dan kita takboleh pengecut. Karena semuanya itu merusakkan tali hubungan kita dengan Allah dan dengan insan. Dan mengilangkan sederhana. (dari:Falsafah Hidup, Prof. Dr. Hamka, 1994:150)