Oleh Zulkarnaini Diran
Menulis opini di surat kabar berbeda polanya dengan menulis berita. Menulis berita atau news gambarannya piramida terbalik. Artinya bagian awalnya lebih utama atau lebih umum. Bagian tengah dan akhir semakin mengerucut. Bagian awal itu disebut teras atau lead berita. Isi berita pada dasarnya berada di bagian awal itu. Bagian selanjutnya adalah penjelasan dari yang tertera pada teras berita. Hal itu merupakan karakter utama penulisan berita.
Opini gambarnya seperti trapesium. Ada bagian awal sebagai pengantar, kemudian bagian isi sebagai uraian dan penjelasan. Bagian akhir berupa simpulan. Ketika belajar menulis untuk surat kabar, saya belajar menulis berita, kemudian baru ke artikel opini. Oleh karena ada perbedaan pola, saya kembali belajar secara otodidak atau belajar mandiri. Sumber belajar saya, selain artikel-artikel opini yang muncul di surat kabar, juga dari buku-buku yang ada.
Saya berlangganan dan membaca surat kabar tiap hari. Konsentrasi pertama saya, selain berita utama adalah artikel yang dimuat di halaman opini. Artikel-artikel, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, pembelajaran, budaya, dan sastra saya baca sungguh-sungguh. Kemudian saya coba melihatnya secara teliti. Tiga hal yang saya pelajari dari setiap artikel. Ketiga hal itu adalah substansi atau isinya, gaya bahasanya, dan gaya penyajiannya.
Setiap surat kabar memiliki gayanya masing-masing. Kata teman-teman, itu tergantung selera redaktur yang bertugas di situ. Selera redaktur itu biasanya diformulasikan dengan karakterisitik surat kabar bersangkutan. Formulasi itu akan melahirkan “kekhasan” masing-masing surat kabar untuk kolom artikel opininya. Hal inilah yang saya teliti, saya analisis, dan lebih kasarnya, gaya itulah yang saya tiru agar tulisan bisa lolos di tangan redaktur.
Masing-masing surat kabar memiliki gaya khasnya. Haluan yang memuat kolom opini tiap hari, berbeda kekhasannya dengan Singgalang, koran Semangat pun demikian. Ketiga koran itu sangat dikenal dan terkenal pada tahun 80-an di Sumatra Barat. Dari yang tiga itu, oplah paling besar adalah surat kabar Haluan. Gaya khasnya itu saya “contek” benar-benar. Dengan demikian, saya hafal pola, gaya, karakter artikel opini yang berhubungan dengan isi, penyajian, dan bahasa masing-masing surat kabar. Begitulah saya belajar secara mandiri atau otodidak untuk menulis artikel opini di surat kabar.
Sumber belajar saya yang lain adalah buku-buku yang berhubungan dengan teknik menulis artikel untuk surat kabar. Setiap datang ke toko buku, saya selalu mencari sumber itu. Beberapa sumber saya dapatkan. Adakalanya sumber-sumber itu praktis untuk di terapkan dan adakalanya pula sangat teoretis, sulit digunakan. Akan tetapi, yang jelas semua informasi dari buku-buku yang memandu menulis artikel, saya mendapat masukan. Itulah yang saya olah dan saya formulasikan dengan keterampilan menulis yang dimiliki.
Teknik lain yang saya pelajari adalah cara mendapatkan ide. Dari mana dan di mana saja kita memperoleh ide untuk menulis artikel. Hal yang ada di sekitar, pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, harapan, cita-cita, dan sebagainya adalah sumber ide. Dengan memperdalam cara mendapatkan, mengembangkan, dan menjelaskan ide itu saya berlatih menjaring ide. Saya praktikkan segala teori-teori tentang itu. Sehingga pada akhirnya saya mampu mengumpulkan ide untuk artikel. Bisa jadi, saya tidak pernah kehabisan ide jika mau menulis opini untuk surat kabar.
Penggunaan bahasa untuk menulis artikel opini di surat kabar juga saya pelajari. Saya mempelajarinya dari “menyontek” gaya bahasa masing-masing surat kabar. Selain itu saya terus berlatih menulis dan menulis dengan gaya bahasa khas pula. Hal penting yang tidak saya lupakan adalah belajar teori-teori menulis dengan bahasa yang efektif. Teori-teori itu saya gunakan untuk mengendalikan atau mengontrol penggunaan bahasa saya dalam menulis.
Praktik berbahasa diawali dengan teori bahasa, atau teori bahasa diikuti dengan praktik. Ini yang sering diperdebatkan dalam pembelajaran menulis. Saya lebih cendrung mempraktikkannya terlebih dahulu baru digunakan teori, bukan sebaliknya. Saya ingat ketika seorang pakar dan praktisi menjelaskan perihal menulis dalam sebuah temu ilmiah. “Menulis sama dengan belajar naik sepeda. Kalau mau pandai bersepeda, tidak perlu terlalu banyak mempelajari seluk-beluk sepeda. Ambil sepeda, kendarai, latih terus, kita akan pandai bersepeda. Tidak tahupun tentang onderdil dan segala perlengkapan sepeda tidak masalah”. Begitu pakar ini menjelaskan.
Pola penyajian dalam menulis arikel saya sesuaikan dengan kekhasan surat kabar yang saya tuju. Kadang-kadang memang ada perbedaan selera antara satu surat kabar dengan surat kabar lain. Perbedaan itulah yang membuat masing-masing memiliki ciri khas. Dengan mempelejari dan mendalami pola-pola penyajian masing-masing surat dan kemudian saya “menyontek”-nya, maka pada umumnya tulisan saya diterbitkan.
Jadi, untuk menulis opini di surat kabar saya lebih banyak belajar sendiri atau otodidak. Konsentrasi saya adalah pada isi artikel opini, pola penyajian tiap surat kabar, dan gaya bahasa masing-masing media itu. Dengan otodidak, ternyata saya bisa dan saya mampu menulis opini untuk surat kabar, khususnya surat kabar daerah ini – Sumatra Barat.
Ada tiga surat kabar yang terbit di Padang saat itu. Ketiga surat kabar itu adalah Haluan, Singgalang, dan Semangat. Saya juga mengirim tulisan ke Singgalang dan Semangat dengan nama samaran, bukan nama seperti di Haluan. Ternyata tulisan saya juga dimuat di dua surat kabar daerah itu. Saya menggunakan nama samaran karena saya dengar dari rekan-rekan yang juga menulis, tidak etis kita mengirim tulisan ke lebih dari satu surat kabar dengan nama yang sama.
Saya coba menghitung-hitung penghasilan sebulan dari tulisan. Ternyata tiap bulan saya menerima secara bervariasi. Dari ketiga surat kabar yang menerbitkan tulisan saya itu saya menerima rata-rata di atas penghasilan sebagai guru. Kebutuhan tulis-menulis dan kebutuhan jurnalitik saya lengkapi secara bertahap. Saya dapat membeli mesin ketik merk royal dan membeli kamera merk yasika. Mesin tik dan kamera adalah instrumen penting dalam kerja jurnalisitik dan tulis-menulis.
Sebelum membeli mesik ketik, saya menggunakan fasilitas sekolah. Saya meminjamnya dari kepala sekolah. Sore hari, mesin tik saya bawa pulang. Pagi sebelum pegawai masuk kantor, mesin sudah saya kembalikan ke tempatnya di kantor. Cukup lama saya menggunakan mesin ketik sekolah untuk menulis. Untungnnya, saya tinggal dekat sekolah, hanya lebih kurang 300 meter tempat tinggal saya dari sekolah. Tulisan-tulisan saya tentang pendidikan, pembelajaran, budaya, sastra, dan seni mulai dikenal oleh kalangan yang lebih luas. Tulisan-tulisan tersebut mendapat respon dari berbagai kalangan. Rekan-rekan pendidik atau guru meresponya dengan berbagai cara. Adakalanya kami berpolemik di surat kabar sampai berbulan-bulan. Sejawat saya guru bahasa Indonesia dan guru mata pelajaran lain yang sering menulis ikut terlibat di dalam polemik itu. Bahkan dosen-dosen muda pun ikut terlibat dalam diskusi melalui media masa itu. Tersebutlah di antaranya yang sering muncul berpolemik seperti Indra Jaya Nauman, Wanndra Ilyas, Amrius Bustamam dari kalangan guru. Dari kalangan mahasiswa dan sastrawan tercatatlah seperti Dasril Ahmad, Jasnur Asri (kini: guru besar di UNP, almaruhum), dan banyak lagi untuk disebutkan satu-persatu.