Oleh Zulkarnaini Diran
Banyak pernyataan bahwa minat baca anak Indonesia rendah. Pernyataan itu kadang-kadang dilengkapi dengan data autentik hasil penelitian. Bahkan pula ada yang dikomparasi dengan anak-anak dari bangsa lain. Tentu saja hal itu dikerjakan dan dinyatakan sebagai hasil penelitian. Simpulannya, ya, seperti itu. Minat baca anak-anak Indoensia sangat rendah. Kita bisa percaya, bisa tidak atas pernyataan yang digeneralisasi itu. Hal penting adalah menyikapi pernyataan itu secara positif, sehingga kita melakukan langkah-langkah untuk ”perbaikan dan peningkatan” minat baca anak-anak kita itu.
Institusi pendidikan seperti satuan pendidikan berpotensi untuk memperbaiki dan meningkatkan minat baca peserta didiknya. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk itu. Cara-cara yang banyak itu dapat dikelompokkan atas beberapa kategori. Pengelompokan itu didasarkan kepada ruang lingkup perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Ruang lingkup itu bisa jadi pada tataran satuan pendidikan atau sekolah, pada level kelompok pendidik mata pelajaran, dan pada pendidik setiap mata peplajaran atau guru kelas. Hal itu tentu sangat tergantung kepada ”niatan” masing-masing satuan pendidikan.
Satuan pendidikan yang dikelola secara kreatif dan inovatif, melakukannya pada tataran satuan pendidikkan. Manajemen memiliki program ”perbaikan dan peningkatan” minat baca. Program itu diiringi dengan tindakan pelaksanaan, kemudian diakhiri dengan tindak lanjut. Program dapat disusun untuk jangka panjang, jangka mengengah, dan jangka pendek. Tentu saja program itu meliputi semua dimensi utama dan dimensi pendukung perbaikan dan peningkatan minat baca ini. Kepala satuan pendidikan atau kepala sekolah yang piawai biasanya sangat ”jeli” mencari celah atau peluang untuk memuluskan program, pelaksanaan, dan tindak lanjutnya.
Pendidik yang tergabung di dalam kelompok mata Pelajaran pada satuan pendidikan, kecamatan, atau kabupaten kota juga berpotensi menjadi motor penggeerak ”perbaikan dan peningkatan” minat baca peserta didik. Jika selama ini pendidik berkumpul di dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG) lebih banyak ”membahas dan memperkatakan” kegiatan pembelajaran formal sesuai kurikulum, kini dapat dikembangkan lebih luas dari itu. Hal lebih luas itu ialah memasuki ”ranah literasi” yang pada akhirnya dapat menunjang pencapaian kompetensi peserta mata pelajaran. Di antara sekian banyak ranah garapan literasi itu, satu di antaranya adalah perbaikan dan peningkatan minat baca.
Pendidik yang tergabung dalam kelompok MGMP atau KKG ini dapat melakukan ”eksperimen-eksperimen” dalam memperbaiki dan meningkatkan minat baca peserta didik. Percobaan-percobaan yang dilakukan itu bisa jadi memiliki ”multiguna”. Maksudnya, percobaan itu dapat mengandung multi manfaat seperti: (1) inovasi pembelajaran; (2) pengembangan keprofesian berkelanjutan; (3) penelitian tindakan untuk karya tulis ilmiah, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini dapat dijadikan sebagai program utama pula dalam kelompok sebagai pendukung program pembelajaran. Mungkinkah ini dilakukan? Diyakini hal ini sangat mungkin, manakalah kelompok guru ”mau” mencobanya.
Pendidik sebagai individu, juga berpeluang besar untuk melakukan hal itu. Programnya dapat dikaitkan dengan kompetensi atau capaian pembelajaran dalam mata pelajaran atau tema tertentu. Hal ini menjadi inovasi, kreasi, improvisasi dalam pembelajaran.
Ia akan menjadi inovatif manakala program itu ditempelkan pada perencanaan pembelajaran untuk tema atau kompetensi tertentu. Ia menjadi kreatif pada saat pendidik melakukan ekpsperimen sederhana dalam memperbaiki dan meningkatkan minat baca sesuai dengan mata pelajaran yang diampu. Ia akan menjadi improvitatif karena dengan inovasi dan kreasi akan ”membebaskan” pendidik dari ”kerja monoton”. Tentu saja kembali kepada intinya, bahwa ini hanya mungkin berlangsung pada saat pendidik ”mau’ melakukannya.
”Cerita tergantung” dapat merangsang minat baca peserta didik. Hal ini dapat dilakukan oleh pendidik. Programnya bisa disusun di kelompok kerja guru atau musyawarah guru. Maksud “cerita tergantung” itu adalah cerita tetapi tidak selesai, ‘digantung”. Pendidik membaca sebuah buku. Hasil membacanya disarikan bisa dalam bentuk tulisan, bisa pula secara lisan. Penyajiannya tentu secara lisan dengan kepiawaian pendidik bernarasi dan berdeskripsi. Narasinya digantung, deskripsinya tidak diselesaikan, tetapi dibengkalaikan. Akhirnya dari “bengkalai” itu pendidik berujar, “Salanjutnya hal ini dapat Kalian baca di dalam buku X, karangan si Polan, dan tersedia beberapa eksemplar saja di ruangan perpustakaan sekolah”.
Mendengar kalimat terakhir dari pendidik itu, biasanya peserta didik yang “terangsang” akan berlari ke perpustakaan sekolah untuk mendapatkan buku yang dimaksud. Oleh karen jumlah buku terbatas, biasnya mereka berebut mencarinya di rak buku ruangan perpustkaan sekolah. Kelihatan hal ini amat sedehana, tetapi bisa jadi akan banyak peserta didik yang terangsang karenanya, apatah lagi kalau pendidik mahir “bernarasi dan berdeskripsi”.
Ini hanya sekedar contoh. Bisa dicoba dan bisa dikembangkan lebih luas dan lebih dalam sesuai dengan kondisi peserta didik yang tengah “dirangsang minat bacanya”..
Jadi, merangsang peserta didik dalam rangka “memperbaiki dan meningkatkan” minat bacanya, dapat dilakukan oleh tataran satuan pendidikan, tataran kelompok guru mata pelajaran (KKG dan MGMP), dan oleh guru mata pelajaran atau guru kelas. Hal itu sangat memungkinkan karena satuan pendidik, kelompok pendidik, dan penidik memiliki potensi untuk itu. Dengan demikian, insya-Allah minat baca ”anak Indonesia” yang sering diperkatakan itu dapat lebih baik dan lebih meningkat. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat.
Manna, Bengkulu Selatan, 25 Oktober 2023