PENYIKSA

Oleh Zulkarnaini Diran

Akhir-akhir ini sering terjadi penyiksaan. Objek penyiksaannya adalah makhluk yang bernama manusia. Bukan hanya penyiksaan lahir yang terjadi, tetapi juga penyiksaan batin. Anehnya, penyiksaan itu dilakukan terhadap diri sendiri dan orang lain.

Mengamati fenomena yang ada, terlihat bahwa penyiksaan saat ini menjadi “trand”. Bahkan mungkin menjadi hobi dan akhirnya menjadi kebiasaan. Fenomena itu menunjukkan bahwa ada orang yang merasa senang dan nikmat apabila melakukan penyiksaan. Mereka menjadi kecanduan untuk menyiksa.

Penyiksaan “trendi” itu terjadi melalui berbagai lini atau saluran. Di antaranya terlihat setiap saat, setiap waktu di media sosial. Penyiksaan massif itu terjadi dengan kata, kalimat, paragraf, dan gambar. Hal itu diekspos oleh mereka yang hobi dan kecanduan melakukan penyiksaan.

Diksi kasar, kalimat sadis, paragraf menghujat dan menghina masuk ke mata dan telinga melalui media-media canggih itu. Kata-kata yang dilarang oleh norma (agama, hukum, undang-undang, adat, budaya, dan sosial) melantun bak genderang perang dari ujung jari atau lidah penyiksa. Tanpa pertimbangan akal sehat dan nurani paling dalam, kata itu meluncur tanpa hambatan. Berbahagia dan puaskah “penyiksanya”, dengan perilaku itu? Hanya dia dan Allah saja yang tahu.

Kalimat-kalimat dan paragraf bermuatan “hujatan, cacian, fitnah, dan sejenisnya itu meluncur bagaikan anak panah melalui jemari dan mulut penyiksa. Mereka merasa tidak bersalah. Padahal substansi yang dikirimnya itu lebih banyak mengusik perasaan, menyiksa batin, dan meneror jiwa penerimanya. Begitulah, kalau sudah menjadi “mania penyiksa”. Astagfirullah!

Allah memerintahkan kepada Muhammad, Rasul-Nya agar menyampaikan kabar gembira kepada hamba-Nya. Bukan kabar menyiksa dan sejenisnya, bukan kabar yang membuat si penerima terusik ketenteraman batinya. Hal itu termaktub di dalam banyak ayat. Di antaranya, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan (QS Al-Furqan,25:56).” Pada ayat lain, “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan (QS Al-Azab, 33:45)”

Allah menyuruh Rasul untuk menyampaikan kabar gembira, bukan kabar menyiksa. Sementara kita yang mengaku hamba Allah dan pengikut Muhammad, terjebak dan kecanduan melakukan penyiksaan melalui kabar yang dikirim. Akhirnya kita menjadi penyiksa batin, penyiksa jiwa, dan penyiksa mental. Ketika kabar itu kita bagi, bukan penerimanya saja yang merasa terusik, tetapi secara struktural dan kultural, pengirim juga telah merusak jiwa dan batinnya sendiri. Menjadi penyiksa terhadap diri sendiri dan orang lain.

Tentu saja, yang kini kita lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di Mahkamah Allah. Saudara seiman, mari kita berhenti “menjadi penyiksa” dengan berhenti membagi atau men-share hal-hal yang yang membuat pembaca atau pendengar tidak nyaman, tersiksa, dan terganggu!

Gunungpangilun, Padang, 23 Februari 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *