(Bagian Keseblas)
KLOTER KETUJUH BELAS
Oleh Zulkarnaini Diran
Tanggal 20 Juni yang lalu saya bertemu Meneri Agama. Pak Menteri berkunjung ke Sektor 3 yang berkantor di hotel tempat saya menginap. Seperti biasa, saya minta berfoto dan berbicang “singkat” dengan orang pertama di Kemneteri Agama itu. Fotonya kemudian saya apload di media sosial. Banyak rekan saya melihat foto itu. Mereka memberikan berbagai respon atau reaksi. Pak Menteri berkunjung setelah prosesi Armuznah berakhir. Beberapa orang teman yang di Tanah Air dan yang masih di Makkah bertanya, “Apakah mamak (panggilan akarab saya) menyampaikan keluahan-keluhan kepada Pak Menteri Agama?” Pertanyaan itu disampaikan melalui pesan ke WhatsApp (wa) saya.
Saya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Saya hanya meresponnya dengan “gambar orang tertawa”. Artinya, jawaban saya yang seharusnya “ya” atau “tidak” tidak tampil di pesan wa itu. Akan tetapi, itu bukan berarti saya tidak memiliki “keluhan” pribadi atau kelompok. Adalah kebohongan, jika sejak berangkat dari Tanah Air tidak ada yang harus saya keluhkan. Tentu sangat manusiawilah jika ada keluhan. Normallah kalu kondisi-kondisi dalam konteks pemberangkatan jemaah haji ini banyak keluhan.
Mengeluh ditentukan oleh respon individu terhadap suatu kejadian atau situasi. Jika suatu situasi direspon dengan pikiran jernih, dengan landasan iman dan akhlak hasilnya akan positif. Apatah lagi, kita sedang mengerjakan proses ibadah yang sakral seperti berhaji ini. Kejadian buruk, situasi tidak sesuai dengan harapan, kenyamanan individu dan kelompok terganggu sehingga membuat kita tidak nyaman adalah kondisi-kondisi yang selalu saja ada. Jika hal itu direspon dengan luapan emosianol negatif, berbagai keluahan akan muncul. Akan tetapi, jika direspon dengan pikiran yang dilandasi oleh iman, keluhan bisa hilang atau sekurang-kurangnya frekuensinya menurun.
Keluahan muncul dari ketidakpuasan. Keluhan itu sendiri sifatnya subjektif. Setiap orang memiliki standar kepuasan masing-masing. Jika hal itu terjadi di dalam kelompok, terjadilah himpunan keluhan. Pada saat keluhan tidak terkendali, ia akan meledak menjadi keluhan komunitas. Mungkin karena itu pulalah barangkali, sahabat saya mengajukan pertanyaan, ”Apakah keluhan-keluhan jemaah disampaikan kepada Menteri Agama?”
Secara individu saya punya keluhan, ada hak-hak privasi saya yang terganggu dalam perjalanan berhaji ini. Ada hak-hak dasar individu saya yang tidak terlayani oleh orang-orang yang seharusnya melayani. Akan tetapi, keluhan-keluhan yang ”berjibun” itu dapat saya tekan, dapat saya tutup, dan saya lipat rapat di dalam qalbu. Hal itu saya lakukan dalam sebuah proses perenungan yang dalam. Perenungan itu saya sandarkan kepada sedikit pengetahuan tentang kisah perjalanan berhaji Rasulullah dan para sahabatnya. Selain itu saya landaskan pula kepada bacaan-bacaan tentang kisah jemaah haji pada masa-masa sebelumnya. Hal yang paling mendasar tempat bersandar saya dalam renungan adalah hal-hal yang termaktub di dalam Al-Quranul Karim. Di antaranya seperti yang terungkap berikut.
Sura Al-Baqara 2 : 197 menyatakan, ”(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
Saya memiliki banyak saluran untuk menyampaikan keluhan tentang pelayanan haji ini terutama. Teman-teman jurnalisitik masih banyak yang saya kenal. Saya juga dapat menghubungi orang-orang kompeten untuk menampung dan mencarikan solusi keluhan saya. Selain itu saya juga dapat menulis di media sosial, media masa, dll. Akan tetapi hal itu tidak saya lakukan. Apatah lagi ketika menyampaikan keluhan itu, ada yang ”tersakiti”, ada yang merasa tersinggung, atau ada hak orang lain yang terkebiri.
Selain itu, saya mengambil yang ”syukurnya” bukan ”keluhnya”. Syukurnya itu bagian dari berpikir jernih dan positif. Jemaah haji tahun ini, mungkin juga tahun-tahun sebelumnya dapat merasakan tentang makanan. Betapa melimpahnya makanan yang tersedia. Buah-buahan, roti, kue-kue, nyaris tidak terkonsumsi. Bahkan di Minna dan Arafah buah-buahan dan kue-kue benar-benar melimpah ruah. Begitu pula halnya minuman, selalu tersedia melimpah setiap waktu. Jika konsumsi baik makanan maupun minuman yang melimpah itu disykuri tentu dapat mengurangi ”frekuensi keluhan”.
Jadi, saya punya keluhan, tetapi tidak saya pubilikasikan. Perjalanan ini adalah perjalanan ibadah. Ibadah selain terkait dengan manusia, lebih terfokus kepada Allah. Tidaklah layak rasanya kalau perjalanan ini ”dibumbui atau dihiasi” dengan keluhan-keluhan. Terima yang ada, sykuri yang tersedia, kuat kan landasan berdasarkan pengetahuan, insya-Allah keluahn dapat ditekan. Apalagi, kalau semua itu disandarkan kepada Al-Quran surat Al-Baqarah 197 yang dikutip di atas. Dengan penghayatan terhadap isi dan tafsir ayat itu, insya-Allah keluhan bisa sirna dari nurani dan batin kita. Ya, ”Berhentilah mengeluh, kita bukan dilahirkan untuk mengeluh!” Begitu kata orang-orang bijak.
Semoga, prosesi berhaji tahun ini mendapat ridha dari Allah SWT dan semua jemaah sehat, kembali ke Tanah Air dengan predikat ”haji mabrur da mabrurah”, amin YRA!
Makkah, Masjidilharam, Romance Hotel 320, Kamar 1324, 27 Juni 2024