Bagian Kedua Puluh Delapan
KLOTER KETUJUH BELAS
Oleh Zulkarnaini Diran
Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong (QS Lukman, 31:18)
Sombong dan angkuh dapat “menyerang” setiap makhluk, termasuk Manusia. Imam al-Gazali mengatakan, “Sombong adalah sifat seseorang yang memandang orang lain hina, dia yang mulia dan mempunyai kebesaran. Sombong adalah sifat tercela yang harus dihindari”. Sifat tercela itu dapat dan mungkin selalu menghinggapi manusia. Merasa lebih dari orang lain, merasa hebat, dan merasa memiliki segalanya adalah embrio yang melahirkan kesombongan. Meskipun tercela, banyak orang dan makhluk yang menyukai sifat-sifat ini. Hal itu dapat disimak dalam pergaulan sehari-hari.
Kesombongan bertolak dari “kebanggaan”. Bangga terhadap diri dan yang dimiliki. Orang dapat sombong karena dirinya memiliki jabatan, pangkat, kekayaan, ilmu, kepintaran, bahkan kebodohan dan kemiskinan pun dapat memberi dorongan untuk sombong. Serangan sifat sombong itu menerjang sisi-sisi lemah dari rasa bangga diri dan dari yang dimiliki. Seorang yang dulu sangat ramah, akrab, dan rendah hati, kini mendapat jabatan. Dari jabatan itu dia diserang oleh rasa sombong, jabatan yang didapat dan dimilikinya membuat sifat awalnya hilang, berganti dengan sombong dan angkuh. Hal itu jamak terjadi di tengah-tengah masyarakat sehari-hari.
Sombong adalah ”kenikmatan sementara”. Orang sombong merasa sangat nikmat atas kesombongannya. Hal itu terjadi dalam rentangan waktu tertentu. Hanya nikmat pada saat atau semasa yang dibanggakan itu menjadi milik. Pada saat yang dibanggakan itu sirna, hilang, lepas dari tangan, maka ”nikmat sombong” itu segera pudar. Malah akan terjadi sebaliknya, akan berganti rupa dengan rasa rendah diri, rasa tidak berharga, bahkan menjelma merasa ”hina dina”. Ada pribadi-pribadi tertentu yang menyukai ”kenikmatan sementara” ini. Mereka mendambakan hal itu untuk dinikmati kini dan beberapa waktu selanjutnya. Pribadi yang begini sering lupa, bahwa kenikmatan seperti itu dapat dirasakan dalam waktu yang terbatas.
Lupa bahwa kenikmatan sombong terjadi dalam batas tentu, maka pribadi yang memilikinya terus ”meneguk” kenikmatan sombongnya. Hal itu dia lakukan sampai ”waktu” mengakhirinya. Pada saat yang disombongkannya itu sirna, habis, dan ludes, saat itu sombong pun berkhir. Terjadi kebalikannya secara cepat atau lambat. Ujung dari kesombongan itu adalah ”penyiksaan panjang” sampai akhir hayat. Saat ada yang disombongkan, orang banyak ”pura-pura” menghormati dan menghargainya. Ketika hal yang disombongkan itu habis, maka penghormatan dan penghargaan terhadapnya pun terkikis habis. Itulah yang terjadi, jika tidak menyadari sungguh-sungguh bahwa sombong hanyalah ”kenikmatan sementara”.
Sombong bukan perilaku atau sifat tunggal. Sifat buruk ini akan bermata rantai kepada keburukan-keburukan lainnya. Awalnya dari kesombongan. Pemiliknya ingin bertahan untuk tetap sombong. Kecanduan terhadap sikap ini ”terpaksa” ditupang dengan sifat-sifat buruk lainnya. Sifat buruk itu umpamanya berbohong. Pemilik kesombongan dengan mudah membuat kebohongan-kebohongan untuk bertahan atau melindungi kesombongannya. Miliknya yang hanya secukupnya, diekspos secara berlebiahan, itulah kebohongan. Akhirnya, dia mengatakan bukan seperti apa adanya, dia melebih-lebihkan sesuatu kepemilikan untuk melindungi kesombongan itu.
Sifat buruk lainnya adalah menfitnah. Fitnah terhadap orang lain mereka lakukan untuk menyatakan bahwa dia melebihi orang lain itu. Menggembar-gemborkan keburukan dan kekurangan orang lain merupakan cara untuk melindungi atau mempertahankan kesombongan. Mempublikasi keburukan orang lain, tujuannya tidak lain hanyalah mempermanenkan kesembongan yang dimilikinya. Banyak lagi mata rantai keburukan dari sifat sombong yang dimiliki , seperti sakit hati, benci, dendam, dan sebagainya. Jadi sombong adalah sifat yang dapat melahirkan sifat-sifat buruk lainnya.
Timothy Freke dalam bukunya “Rumi Wisdom: Daily Teaching from the Great Sufi Master” (diindonesiakan Abdullah Ali): “Hari-hari bersama Rumi: Ajaran-ajaran Harian Sang Maestro Sufi” New York, 2000:170 menulis dengan judul “November”. Isinya adalah,” Seorang ulama angkuh tengah berlayar dengan perahu. ‘Pernahkah engkau mengkaji kitab-kitab, saudaraku?’ Ia bertanya kepada tukang perahu: ‘Tidak’, muncul jawaban yang memalukan. ‘Kalau begitu hidupmu sampai sekarang telah sia-sia,’ ujar sang ulama. Tak lama kemudian, pusaran air menangkap perahu itu dalam arusnya. ’Pernahkah Anda belajar berenang, Tuan?’ tanya tukang perahu. ’Tidak, aku tidak punya waktu untuk bersenang-senang semacam itu,’ ulama itu menjawab. ‘Kalau begitu,’ ujar tukang perahu, ‘hidup Anda mulai sekarang telah sia-sia, karena kita akan tenggelam’”.
Ada kesombongan ulama di situ. Ulama memiliki banyak ilmu, menulis banyak kitab. Orang yang tidak mengkaji kitab-kitab telah dilecehkannya. Ternyata tukang perahu tidak menjawabnya dengan kesombongan, ia menyatakan kalimat dalam bentuk realita. Realitas itulah menjadikan hidup ulama tersia-sia. Sombong dapar menyerang siapa saja. Yang jelas kesombongan akan bermuara kepada keburukan-keburukan lainnya.
*****
Berangkat dari hotel ke Arafah kita hanya memakai dua potong kain. Kain yang dua potong itu bewarna putih tanpa jahit. Sepotong untuk membalut bagian bawah anggota tubuh dan sepotong lagi menutup bagian atas. Itulah pakaian ihram. Setiap orang yang hendak wuquf di Arafah, mabid di Muzdalifah, sampai mlontar Jumaratul ‘Aqabah, dua potong pakaian tidak berjahit itu “wajib” dipakai. Semua orang yang mengikuti prosesi haji ini wajib memakainya. Jika tidak dipakai sampai batas waktu yang ditentukan itu, maka rusaklah ibadah hajinya.
Semua jemaah patuh dan taat terhadap aturan itu. Tidak ada yang melanggarnya, tidak ada yang mprotesnya. Itu aturan baku yang ditetapkan oleh hukum syari’ah yang mengatur pelaksanaan haji. Dengan kepatuhan itu, dengan ketaatan itu semua orang telah mengikhlaskan diri ”membunuh kesombongan” yang ada di dalam dirinya. Di dalam bungkus pakaian ihram itu tidak berbeda antara yang kaya dengan miskin, pemimpin dengan rakyat, kaum ningkrat dengan jelata, dan sebagainya. Ketika tubuh dibalut oleh kain tidak berjahit itu, semua kebanggaan sirna, semua keangkuhan lenyap, semua kekuasaan hapus. Yang ada ialah bahwa ”kita sama di hadapan Allah SWT”. Jadi pakaian ihram perlambang ”membunuh kesombongan”.
Pakaian ”pemusnah kesombongan” itu dibalutkan ke badan selama tiga hari yakni 8, 9, dan 10 Zulhijah. Sejak dari hotel sampai di Arafah, Muzdalifah, dan Mina pakain penutup aurat itu wajib dipakai. Giliran jemaah Kloter ke-17 melontar Jumratul Aqabah sore hari usai salat Asyar pada 10 Zulhijjah. Di Jumratul Aqabah itulah semua perilaku buruk yang bersumber dari iblis dan syetan ”dilontarkan”. Saat itu segala sifat syetan dan iblis yang melekat pada diri dilontarkan dan dibenamkan di Aqabah. Sekurang-kurangnya itu penjelasan yang diterima ketika mengikuti pelatihan manasik haji di KBIHU. Di antara sifat iblis dan syetan yang dikuburkan di situ adalah ”sifat sombong”. Begitu predikat ”haji mabrur” diperdapat, pada hakekatnya semua perilaku dan sifat sombong sudah terkikis dari diri.
Saya merenung dan membatin pasca prosesi itu. Khususnya setelah semua rangkaian prosesi haji dilaksanakan. Ketika berpakaian ihram, melontar Jumaratul ’Akabah, sifat dan perilaku sombong telah dibunuh, telah dikikis habis, telah dimusnahkan. Akan tetapi, ketika kembali ke ”habitat” keseharian, apakah saya mampu membendung agar sifat dan perilaku iblis dan syatan tidak kembali ke dalam diri? Itu semua adalah perjuangan pasca berhaji. Ketika perjuangan proses haji ”sukses” dilaksanakan, ada perjuangan yang mahaberat sesudahanya yakni mempertahankan agar diri tidak memiliki sifat dan perilaku sombong. Ini berat, dan maha berat.
Istigfar dan zikir adalah bentuk-bentuk upaya untuk memcegah agar sifat dan perilaku sombong tidak lagi meyerang diri. Istigfar adalah gerak hati, diucapkan dengan lidah, dan diiringi dengan perbuatan. Memohon ampunan kepada Allah pada saat kesombongan itu kembali menjelma ke dalam diri. Pada saat kesombongan itu telah terucap melalui mulut dan terlihat dalam perbuatan, saat itulah diucapkan astagfirullah halazim. Zikir atau mengingat Allah setiap saat adalah bentuk prefentif atau pencegahan. Pada saat kita berzikir, qalbu akan merasakan bahwa kita selalu dalam pengawasan Allah. Dia mengetahui yang lahir dan yang batin, dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Tidak ada satu pun yang luput dari pengawasan-Nya. Dengan zikir senantiasa, isya-Allah ”sombong” akan tercegah dari sifat dan perbuatan kita.
Kembali saya merenungkan. Mampukah istigfar dan zikir saya mencegah serangan sombong yang dapat datang setiap saat? Ini pun harus diperjuangkan. Perjuangan untuk mencegah dan mengantisipasinya adalah bentuk ikhtiar seorang makhluk. Hasilnya Sang Khaliklah yang menentukan. Kita hanya memiliki dua tugas yakni berikhtiar dan berdoa, hasilnya adalah hak Allah SWT. Seperti itulah yang dinasihatkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam bukunya ”Thibbul Qulub” atau ”Klinik Penyakit Hati”
Usai melaksanakan prosesi haji, khususnya ”menyingkirkan kesombongan” melalui prosesi Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Jumarat, saya terus membatin dan merenung tentang kesombongan itu. Sombong adalah mata rantai utama keburukan di dalam hidup manusia. Dari mata rantai itu akan bersambung dengan rantai-rantai keburukan lain. Akhirnya manusia begelimang dalam keburukan yang ujungnya bermuara kepada perbuatan keji dan mungkar, perbuataan maksiat yang amat tercela. Pertanyaannya kembali menggelitik qalbu saya. Mampukah saya mengusir kesombongan secara permanen usai melaksanakan ibadah haji? Itu terus-menerus menggelitik batin saya. Semoga Allah senanitasa membimbing hamba-Nya yang hina ini untuk menjauhkan diri dari kesombongan. Insya-Allah!
Semoga ayat yang saya letakkan pada awal tulisan dan ditampilkan di akhir tulisan ini dapat selalu mengingatkan agar sifat dan perilaku sombong itu benar-benar tersingkir secara permanen dari dalam diri, amin YRA!
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong (QS Lukman, 31:18).
Padang, 8 September 2024