HAJI MABRUR SEPANJANG HAYAT*)

Oleh Zulkarnaini Diran

Setiap ibadah ada targetnya. Target berarti merujuk kepada hasil atau capaian. Capaian ibadah dapat dilihat dari hasil akhirnya. Shalat misalnya, beriorientasi kepada “mencegah perbuatan keji dan mungkar” (QS Al-Angkabut, 29:45). Puasa menjadikan peibadahnya bertaqwa (QS Al-Baqarah, 2:183). Zakat bermuara kepada membersihkan dan menyucikan diri (Qs At-Taubah, 9:103). Ibadah haji, orientasinya adalah haji mabrur. Target berhaji adalah peibadahnya mendapat haji mabrur. Setiap jemaah haji selalu berdoa agar mendapat haji mabrur. Sanak saudara, handaitolan, para sahabat mendoakan jemaah haji agar mendapat dan menjadi haji mabrur.

Ibadah selain dilihat dari hasil, juga perlu dilihat dari prosesnya. Haji mabrur selain berorientasi kepada hasil, juga berorinetasi kepada proses. Artinya, mabrur tidaknya haji seseorang juga dipengaruhi oleh prosesnya. Proses berhaji diatur menurut ketentuan dan petunjuk yang telah ditetapkan. Ada kaidah-kaidah atau aturan yang harus dipenuhi atau dilaksanakan. Aturan itu meliputi rukun haji, wajib haji, sunah haji, dan hal-hal yang membatalkan serta mengurangi kualitas pahala haji. Semua tatanan aturan atau kaidah-kaidah itu ditetapkan berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Jadi, pelaksanaan ibadah haji yang beriorientasi kepada kaidah itu disebut berorientasi kepada proses. Hal ini menentukan mabrur tidaknya haji seseorang.

Dalam logika, terdapat hubungan antara proses dan hasil. Hubungan itu bisa jadi berupa hubungan kausal atau sebab – akibat. Proses yang baik dan benar akan memperoleh hasil yang baik dan benar pula. Kebenaran dan kebaikan proses berpengaruh kepada hasil. Proses menjadi hal penting untuk mendapatkan hasil optimal dan memuaskan. Logika ini mungkin juga berlaku dalam konteks ibadah haji. Proses berhaji yang dilalui selama bulan haji di Makkah akan menentukan hasil berhaji seusai proses itu. Artinya, proses terlihat selama berhaji dan hasil akan kentara pasca atau sesudah haji.

Majelis Tarjih Muhammadiyah menelaah pendapat para ulama. Beberapa di antaranya menyebutkan bahwa mabrur adalah haji yang bersih dari jenis dosa dan dilakukan dengan konsistensi dalam menjalankan shalat dan kebajikan. Pendapat lain mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak diikuti oleh perbuatan maksiat. Artinya, setelah menunaikan haji, seseorang tetap menjaga diri dan menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat.

Dalam mengungkap misteri haji mabrur, kita perlu memahami bahwa tujuan utama dari ibadah haji adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas dan kesungguhan. Oleh karena itu, selain melaksanakan tata cara haji dengan benar, kita juga perlu menjaga niat yang tulus, menjauhi perbuatan maksiat, dan terus berupaya meningkatkan kualitas ibadah kita. Dengan kesungguhan dan keikhlasan dalam menjalankan ibadah haji, semoga kita dapat meraih haji mabrur yang tidak hanya memberikan kepuasan lahiriah, tetapi juga menghasilkan keberkahan dan kesucian batiniah.

Menurut Pendiri Pusat Studi Al-Quran (PSQ), Prof. Muhammad Quraish Shihab, mabrur berasal dari kata barra – yabarru, artinya  tunduk, taat, atau menaati. Haji mabrur diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu menepati janji. Janji seorang jemaah haji dilantunkan dengan suara nyaring sejak berpakaian ihram sampai pada hari Arafah. Lantunan itu pun dikumandangan secara bersama-sama atau sendiri dengaan irama yang menyentuh. Janji itu termaktub di dalam kalimat-kalimat ”talbiyah” (Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan nikmat adalah milik-Mu. Dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu)

Kalimat ”talbiyah” berisi ketundukan, ketaatan, dan kepatuhan hamba kepada Sang Khalik. Hal itu nyata di dalam setiap penggal kalimat tersebut. Substansi ketundukan dan ketaatan itu memiliki dua dimensi. Kedua dimensi itu adalah beribadah hanya kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama makhluk. Untuk mewujudkan kedua dimensi itu adalah dengan iman dan amal saleh.  Jka haji mabrur berindikasi ketundukan dan kepatuhan, sedangkan ketundukan dan kepatuhan itu diwujudkan dengan iman dan amal saleh, maka iman dan amal saleh yang berkualitas adalah ciri khas haji mabrur. Orang yang mendapat haji mabrur adalah orang yang iman dan amal salehnya memiliki kualitas yang memadai.

Beribadah hanya kepada Allah, tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah. Itu pulalah alas an Allah menjadikan jin dan manusia, yakni untuk beribadah kepada-Nya.”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi-beribadah kepada-Ku.” (QS Az-Zariyat, 51:56) Jika mengibadahi selain Dia, hukumnya syirik. Syirik termasuk dosa besar, dosa yang tidak mendapat ampunan. Iman adalah landasannya dan ibadah adalah tindakan atau perbuatannya. Ibadah itu pun termasuk ke dalam amal saleh jika dilakukan dengan ketentuan syarak yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasul. Sangat banyak ditemukan di dalam Al-Quarn dua kata itu, iman dan amal saleh diurutkan letaknya di dalam ayat. Kalimat itu ada yang memberitakan dan ada yang memerintahkan.

Berbuat baik sesama makhluk atau khususnya kepada manusia, bagian dari amal saleh.  Hal itu merupakan dimensi kedua dari wujud ketundukan dan kepatuhan kepada Allah. Berbuat baik sesama makhluk dan kepada manusia itu merupakan perintah. Hal itu termasuk inti dari ajaran islam yakni ”hablum minannas”. Berbuat baik antarsesama  termasuk indikator haji mabrur. Seprti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ”Para sahabat berkata, ’Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasul menjawab , memberi makan dan menebarkan kedamaian”. Hadis ini menyatakan hal tentang perbuatan seseorang yang berpredikat haji mabrur. Memberi makan dan menyebar kedamaian.

Sehubungan dengan itu, Ustaz M.Alvin Nur Choironi dalam artikelnya yang diterbitkan NU Online menyebutkan, setidaknya ada tiga ciri orang bisa dikatakan haji mabrur yakni: (1) Santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam); (2) Menebarkan kedamaian (ifsya’us salam) (3) Memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar (ith‘amut tha‘am). Pendapat ini bertolak dari hadis lain yang berbunyi, “Rasulullah saw ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’ Al-Hakim berkata bahwa hadits ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.” Menurut Ustadz Alvin, hadits itu memberikan pemahaman bahwa orang yang memperoleh predikat haji mabrur tidak hanya berdampak baik kepada dirinya sendiri, tapi juga dapat memberi efek besar terhadap masyarakat di lingkungannya.

Haji mabrur dapat dilihat dari dua sisi. Kedua sisi itu adalah proses dan hasil. ”Prosesnya dalah tahapan atau fase-fase yang dilaksanakan dalam berhaji. Fase itu diatur dan ditata berdasarkan rukun, wajib, dan sunah dalam berhaji yang dilaksanakan berdasarkan kaidah syarak. Hasilnya akan  terlihat seusai pelaksanaan prosesi haji. Hasil itu sendiri merupakan target capaian dalam beribadah, khsusunya ibadah haji. Intinya adalah, seseorang dianggap berpredikat haji mabrur apabila proses berhaji dilakukan dengan benar dan hasil berhaji berpengaruh kepada kesalehan spiritual dan kesalehan sosial. Kesalehan spiritual berhubungan dengan keulaitas ibadah kepada Allah, kesalehan sosial berwujud peduli kepada sesama dalam perbuatan atau amal saleh.

Prosesi haji telah kita lalui, kegiatannya sudah berlalu. Kita telah berupaya memenuhi tuntutan ”Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah’ karena Allah. …”(QS Al-Baqarah, 2:196) Kini kita menjadi ”alumni” dari prosesi haji itu. Baik atau buruknya pelaksanaan haji kita, tinggal sebagai catatan dan kenangan. Hal itu sulit kita ulang dan kita reviu, kecuali kalau Allah SWT berkehendak. Kita tidak mungkin lagi memperbaiki kesalahan jika dalam prosesi haji yang lalu ada larangan yang terlanggar. Kita tinggal berdoa kepada Allah agar prosesi kita yang kurang, yang sumbing, yang tidak memenuhi kaidah, dipenuhkan oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyang.

Kini kita berada pada ”pasca” berhaji. Jika haji mabrur itu ada proses dan hasil, kini kita tinggal memelihara, merawat, dan memetik hasil berhaji, karena proses telah berlalu. Banyak landasan yang dapat kita gunakan untuk memelihara, merwat, dan memetik hasil berhaji. Di antaranya kita kembali kepada Rukun Islam. Ibadah haji adalah rukun terakhir dari kelima rukun Islam. Artinya, semua orang yang telah menunaikan ibadah haji, berarti keislamannya telah sempurna dalam memenuhi rukun. Kita berupaya untuk memelihara, merawat, dan memetik hasil dari semua rukun, terutama rukun yang kelima ini.

Banyak landasan yang dapat digunakan untuk memelihara, merawat, dan memetik hasil berhaji. Di antararanya adalah QS Al-Baqarah, 2:208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan dan kepada Muhammad sebagai nabi dan rasul, serta kepada Islam sebagai agama, Masuklah ke seluruh ajaran syariat Islam dengan mengamalkan seluruh hukumnya, dan jangan kalian tinggalkan barang sedikitpun darinya, dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan setan, berupa  maksiat yang iya mengajak kalian kepadanya. sungguh nya setan itu musuh yang nyata permusuhan nya kepada kalian, maka berhati-hatilah terhadap nya.”

Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta’dzhim al-Qur’an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur’an Univ Islam Madinah

 “Allah menujukan firman-Nya kepada seluruh orang yang beriman: Masuklah ke dalam Islam sepenuhnya dengan mengamalkan segala hukumnya. Dan janganlah kalian mengikuti jejak dan perbuatan setan, sebab ia adalah musuh yang jelas permusuhannya terhadap kalian, salah satu tandanya adalah ia selalu menyulut permusuhan diantara kalian.”

Untuk memelihara, merawat, dan memetik hasil “haji mabrur” sepanjang hayat, masuklah ke dalam Islam sepenuhnya, amalkan segala hukumnya. Masuk ke dalam Islam sepenuhnya berarti masuk dan mengamalkan Islam secara total, utuh. Masuk ke dalam Islam dari “ujung rambut sampai ujung kaki”. Menjadi dan melaksanakan ketentuan Islam lahir dan batin. Tidak setengah-setengah, tidak tanggung-tanggung, total setotal-otalnya. Dalam pengamalan ketentuan Islam itu, jangan mengikuti langkah syetan karena syetan adalah musuh yang nyata.

Islam mengatur semua dimensi kehidupan penganutnya. Semua sisi kehidupan, mulai dari hal paling besar, sampai ke hal paling kecil diatur dan ditata di dalam Islam. Oleh karena itu, untuk mempertahankan haji mabrur selama hayat, semua perilaku ibadah dan perilaku sesama makhluk hendaklah berpedoman kepada ketentuan Islam. Jika haji mabrur dianggap ketaatan dan kepatuhan, maka hal yang harus ditaati dan dipatuhi adalah ketentuan yang berlaku di dalam Islam. Caranya adalah selalu bertanya sebelum dan sesudah melakukan sesuatu. Pertanyaannya adalah, Apakah yang akan saya lakukan ini Islami atau tidak? ” Atau, ”Apakah yang telah saya lakukan ini Islami atau tidak?”

Kedua pertanyaan itu merepukan upaya ”prefentif” dan ”represif” dalam berperilaku keseharian sebagai seorang “haji mabrur”. Pertanyaan pertama adalah untuk mencegah (prefentif) agar kita tidak terjebak kepada perilaku yang non-islami. Jika ternyata pertanyaannya berjawab ”tidak”, jangan lakukan, jangan berperilaku seperti itu. Dengan begitu, kita akan tercegah dari perbuatan maksiat, karena haji mabrur adalah terhindar dari maksiat. Pertanyaan kedua, jawabanya merupakan perbaikan (represif). Kita  telah berbuat, kemudian disadarai, ternyata tidak menurut kaidah Islam, kita ”bertobat” kepada Allah, dan berjanji tidak akan mengulangi hal yang sama. Dengan demikian, kedua pertaanyaan itu menjadi ”pengendali” perilaku kita sebagai haji mabrur.

Islam mengatur semua dimensi kehidupan peganutnya. Aturan itu ada dalam ketentuan syarak yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasullullah SAW. Aturan itu harus dipelajari, dipahami, dihayati, dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, Islam mewajibkan penganutnya belajar dan menutut ilmu. ”Menuntut ilmu wajib atas semua muslim” (HR Ibnu Majah No. 244). Dalam konteks ini, ilmu yang harus dipelajari adalah ajaran Islam yang “mengatur semua sisi kehidupan” penganutnya. Tidak ada batas ruang dan waktu untuk itu. Belajar kapan dan di manapun dalam rangka mendapatkan ilmu tersebut.

Berdasarkan ilmu itulah perilaku dalam semua sisi kehidupan dibentuk. Berdasarkan itulah aktifitas keseharian dilaksanakan. Aktifitas hidup dan kehidupan dipayungi oleh kaidah islami, oleh ketentuan Islam. Tentu saja hal itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Dengan demikian kita akam menjadi penganut islam ”paripurna” yang menjadikan ajaran Islam sebagai patron hidup dan kehidupan. Patron itulah yang digunkan untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik sesama manusia serta makhluk lain. Melaksanakan ketentuan atau tatacara berhubungan dengan Sang Khalik dan sesama makhluk di bawah naungan ajaran Islam, itulah yang disebut dengan akhlak.

Jadi, masuk ke dalam Islam secara kaffah berarti semua sisi kehidupan dipatronkan kepada ajaran Islam. Untuk memastikan kebenaran ajaran itu, penganutnya harus terus belajar mendapatkan ilmu. Berdasarkan ilmu itulah kehidupan dijalani, aktifitas dilakukan. Artinya, ilmu itu diamalkan terus-menerus, pengamalannya dilakukan dengan ikhlas karena Allah, pada akhirnya bermuara kepada akhlak yang baik. Masuk ke dalam Islam secara  kaffah adalah upaya untuk memelihara, merawat, dan memetik hasil ibadah haji sehingga kita menjadi ”Haji Mabrur Sepanjang Hayat”. Haji mabrur  diperedikatkan kepda seseorang yang terus belajar menuntut ilmu, terus meningkatkan amalanya berdasarkan ilmu yang dimiliki,  terus berjuang untuk  ikhlas karena Allah, dan senantiasa memelihara akhlak yang baik.

Mari kita terus berupaya menjadi ”haji mabrur” karena, ”Tidak ada balasan dari haji mabrur, kecuali surga”. Insya-Allah.

Simpulan

  • Setiap ibadah yang dilakukan ada targetnya. Salat tagetnya mencegah perbuatan keji dan mungkar. Puasa targetnya adalah manusia yang bertaqwa. Zakat targetnya adalah menyucikan jiwa dan harta. Berhaji targetnya adalah ”haji mabarur”.
  • Kemabruran haji dapat dilihat dari proses dan hasilnya. Proses terlihat pada prosesi pelaksanaan rukun, wajib, dan sunah haji. Hal itu terjadi di Makkah, Arab Saudi selama bulan haji. Hasilnya terlihat setelah prosesi haji berlangsung. Hal itu akan nyata setelah sampai di Tanah Air dan di lingkungan masing-masing selama hayat dikandung badan (seumur hidup).
  • Seseorang berpredikat haji mabrur di dalam proses, jika setiap tahap ibadah haji yang dilaksanakan sesuai syariat atau hukum ibadah haji. Semua rukun dan wajib haji dilakukan secara tertib. Semua hal yang membatalkan haji dihindari. Hal itu hanya diketahui oleh Allah dan jemaah itu sendiri.
  • Seseorang berpredikat haji mabrur dalam hasil, jika setelah menunaikan ibadah haji memenuhi sejumlah indikator. Di antara indikator itu adalah patuh dan taat kepada perintah Allah dan Rasul; terhindar dari perbuatan maksiat; meningkat terus-menerus amal salehnya; senantiasa memperdalam ilmu agama; mengamalkan ilmunya dengan ikhlas; dan berakhlak mulia.
  • Upaya yang dapat dilakukan untuk menjadi haji mabrur setelah prosesi haji adalah  masuk ke dalam Islam secara ”kaffah”. Artinya mesuk ke dalam Islam secara lahir dan batin dan menjalankan kaidah Islam dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku sehari-hari dalam hidup dan kehidupan selalu bersendikan kepada Islam, karena Islam mengatur penganutnya mulai dari hal-hal besar sampai kepada hal-hal kecil.
  • Haji mabrur harus dipertahankan sepanjang hayat, karena, ”Tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga”.
  • Insya-Allah kita akan terus-menerus berupaya mempertahankan ”kehajian” kita dalam ”kemabruran”, amin Yarobbal alamin!

Padang, 15 September 2024

*) Disajikan pada Pengajian Dwibulanan

IKHA-KBIHU AT-TAQWA, 21 September 2024,

di Masjid Taqwa Muhammadiyah, Jl. Bundo Kanduang, No.1 Padang)

Zulkarnaini Diran,

HP 0811665077

Blog: zulkarnaini.my.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *