“OTOT KAKI” MENJADI ANDALAN

(Bagian Ke-29)

KLOTER KETUJUH BELAS

Oleh Zulkarnaini Diran

Di Makkah, di satu hotel penghuni nya ”hanya” jemaah asal Indonesia, tidak dicampur dengan jemaah dari negara lain. Ke mana saja kita duduk dan beristirahat di hotel, yang bertemu warga negara Indonesia. Kita tidak merasa di Makkah, tetapi merasa berada di sebuah kota di Republik Indonesia. Selain itu, semua fasilitas, seperti mushala, restoran, ruang makan, lobi, ruang kesehatan dan lain-lain, dapat dimanfaatkan oleh jemaah dengan leluasa. Tanpa urusan berbelit-belit, fasilitas itu dapat digunakan. Rasanya hotel itu benar-benar milik orang Indonesia.

Hotel di Makkah daya tampungnya besar. Fasilitasnya lebih lengkap. Lifnya banyak dan kapasitasnya besar. Antrean di lif jika ada, tidak memakan waktu lama. Hanya sebentar menunggu, kita sudah dapat memanfaatkan fasilitas untuk turun naik itu. Lobi hotelnya pun cukup besar dan dilengkapai alat pendingin ruang yang memadai. Di hotel tempat menampung Kloter 17 Embarkasi Padang, mushalanya sangat representatif, meskipun tidak mampu menampung seluruh jemaah. Lumayanlah, karena ada mushala khusus untuk wanita dan ada yang untuk pria. Begitulah kondisi sekilas di Romance House Hotel yang kami tempati.

Hotel di Madinah daya tampungnya tidak sebesar hotel di Makkah. Fasilitasnya pun tidak selengkap di hotel di Tanah Haram itu. Jumlah lifnya terbatas dan daya tampungnya kecil. Tidak ada ruang fasilitas lain selain kamar tidur, gang antarkamar, dan lobi. Selain itu, penghuni hotel tidak hanya orang Indonesia, tetapi dari berbagai negara seperti disebutkan di atas. Kondisi yang begini menimbulkan nuansa lain bagi para jemaah, khsusunya asal Indonesia. Nuansa itu melahirkan dinamika sendiri, kita harus beradaptasi dengan keadaan, terutama menyesuaikan diri dengan penghuni lain yang budayanya berbeda dengan kita. Artinya, jemaah merasa menjadi ”penyewa” hotel, bukan ”pemilik” hotel. Makanya, perbincangan sambil mengunggu antrean di lif itu seperti diungkapkan di atas.

Menhadapi kondisi di hotel, terutama menyikapi kondisi lif yang daya tampungnya sangat terbatas, perlu kearifan. Di antaranya adalah menggunakan lif lebih awal. Misalnya untuk menunaikan shalat ke Masjid Nabawi, harus beranjak dari kamar dua atau satu setengah jam lebih awal. Jika itu dilakukan kita dapat terhindar dari dorong-dorongan ketika antrean di lif. Jika yang antre orang Indoensia saja, biasanya sangatlah tertib dan toleran. Akan tetapi, jika bertemu antrean dengan orang India, ”masya-Allah” kita terpaksa mengalah sendiri, kecuali kalau berani berdesakan dengan orang-orang yang bertubuh besar dan kasar itu. Itu solusi pertama.

Solusi kedua menggunakan tangga untuk turun naik. Jemaah Kloter 17 Embarkasi Padang menempati lantai 14 dan 15. Kedua solusi itu sering saya pakai dengan beberapa jemaah yang masih muda. Turun dan naik tangga di hotel Madinah itu menjadi biasa bagi beberapa orang kami. Kadang-kadang malas antre dan dorong-dorongan dengan jemaah dari negara lain seperti India, saya turun dan naik tangga. Banyak juga yang kaget melihat saya naik tangga sampai ke lanita 14. Memang di sinilah terasanya persiapan pisik yang cukup lama di Tanah Air. Sungguh, saya merasakan manfaat berlatih berbulan-bulan sebelum keberangkatan ke Tanah Suci.

Otot kaki menjadi andalan untuk banyak kegiatan ibadah di Makkah dan Madinah. Untuk sholat lima waktu ke Masjidil Haram di Makkah, jemaah difasilitasi dengan “bus salawat”. Bus ini beroperasi 24 jam, kecuali pada hari Jum’at. Jarak Romnce Hotel, tempat penginapan jemaah Kloter 17 Embarkasi Padang dengan Masjidil Haram 9.5 km. Jika tidak macet, waktu tempuh lebih kurang sepuluh menit. Artinya, jika jemaah ingin shalat lima waktu di Masjidil Haram tidak ada hambatan apa-apa untuk kenderaan. Akan tetapi, bus ini hanya sampai di terminal. Jarak antara terminal dengan masjid lebih kurang dua kilometer. Kalau ingin shalat di pelataran Ka’bah, jalan paling mudah adalah melalui pintu 79. Jarak terminal dengan pintu ini dua kilometer lebih. Itu harus ditempuh dengan jalan kaki. Otot kaki pun diperlukan.

Di Mina, selain aktifitas ibadah di tenda, juga kegiatan melontar jumarah. Jika jemaah mengambil ”nafar sani”,  harus bolak-balik dari Mina ke jamarah tiga kali selama tiga hari. Jika mengambil ”nafar awal” hal itu dilakukan dua kali. Baik dua kali mapun tiga kali bolak-balik untuk melontar Jamarah, otot kaki juga menjadi andalan. Artinya, kemampuan kaki untuk berjalan sangat dibutuhkan, kecuali jemaah yang memilih mengguanakan alat seperti kursi roda. Jarak tempuh dari tenda Makhtab 100 ke Jamarah, pergi pulang 7.8 km. Itu ditempuh sesuai jadwal yang ditetapkan oleh otoritas mahktab di Mina. Jemaah Kloter 17 Embarkasi Padang selalu mendapat jadwal bagda Asyar. Saat itu udara sore masih sangat panas. Ketika itulah jalan kaki dilakukan. Saat itu pula otot kaki selalu menjadi andalan.

Di Madinah, selain mengadalkan otot kaki untuk turun dan naik tangga hotel, juga ada kegaiatan lain yang juga bernialai ibadah. Hal itu adalah ”menapaktilasi” perjalanan Rasulullah SAW dari Masjid Nabawi ke Masjid Quba. Hal itu dilakukan Rasul setiap Sabtu seperti diungkapkan hadis berikut ini, Nabi shallallahu alaihi wassalam biasa mendatangi Mesjid Quba setiap hari Sabtu, baik berjalan kaki maupun naik tunggangan (HR Bukhari). Hadis lain menyatakan, ”Siapa yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi Masjid Quba, lantas ia melaksanakan shalat di dalamnya, maka pahalanya seprti pahala umroh” (HR Ibnu Majjah No.1412, An-Nasai no.700) Nabi berjalan kaki dan naik kenderaan dari Masjid Nabawi ke Masjid Quba.

Saya dan istri serta beberapa orang jemaah lain mencoba menapaktilasi perjalan Rasul ini. Kami buat kesepakatan untuk berkumpul di pintu 310 usai shalat Subuh. Pintu 310 Masjid Nabawi terletak di Barat Daya masjid. Jarak dari hotel  ke pintu ini lebih kurang 2 km. Dari pintu inilah kami mencoba berjalan kaki menuju Masjid Quba. Berjalan kaki ini kami lakukan hanyalah semata-mata diniatkan untuk ”menapaktilasi” berjalanan Rasululllah SAW 14 Abad yang silam. Hal itu kami lakukan bukan karena tidak ada kenderaan pengangkut jemaah. Ada kenderaan ke sana, tetapi kami ingin merasakan hal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Jarak dari pintu 310 ke Masjid Quba 2.9 km. Jika dihitung dari hotel lebih kurang 5 km. Pergi pulang menjadi 10 km. Semuanya menggunakan dan mengandalkan otot kaki.

Hal penting lainnya, bahkan menjadi rukun haji yang mengandalkan otot kaki adalah tawaf dan sai’. Tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali termasuk rukun dalam umroh wajib. Jika memiliki kekuatan pisik yang tangguh, kita dapat tawaf di pelataran Ka’bah dan lebih dekat dengan Ka’bah. Jarak tempuhnya semakin sedikit. Semakin dekat kita ke Ka’bah, semakin pendek jarak tempuh. Akan tetapi, jika dapat lingkaran luar, atau di lantai dua, tiga, dan empat, jarak tempuh semakin panjang. Di lantai dua misalnya, untuk tujuh kali putaran, menghabiskan waktu 70 menit. Jarak tempuh hampir empat kilometer. Di lantai tiga dan empat lebih jauh dari itu. Itu semua mengandalkan otot kaki.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah Sai’ yang dilakukan tujuh kali perjalanan antara Bukit Safa dan Bukit Marwa. Jarak Safa dan Marwa lebih kurang 400 meter. Jika dilakukan tujuh kali, jarakanya lebih kurang 3 km. Jarak itu pun ditempuh dengan menggunakan otot kaki. Otot kaki menjadi andalan. Tentu saja jarak itu akan bertambah bila dihitung perjalanan dari tempat tawaf ke tempat sa’i.

Usai melaksanakan ibadah di Makah, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Jamarah serta ziarah di Madinah, saya kembali merenungkan. Renungan saya berhubungan dengan kemampuan orang seperti saya mengikuti semua prosesi ibadah itu. Dalam usia berjalan 73 tahu, semua ibadah itu saya lakukan tanpa alat bantu seperti kursi roda dan kursi listrik. Rasanya saya dan istri (69 tahun), mustahil melakukan itu dengan mudah. Akan tetapi, kenyataannya lain, Allah SWT memberikan kemudahan untuk kami, meskipun sudah usia lanjut. Kemudahan-kemudahan itulah yang kami syukuri. Itulah di antara yang saya renungkan.

Ternyata kemudahan itu diberikan Allah setelah kami berikhtiar dan berdoa. Memang ikhtiar itu adalah kewajiban hamba-Nya. Atas ikhtiar atau upaya itulah Allah memberikan kemudahan. Empat bulan menjelang keberangkatan ke Tanah Suci, saya dan istri mengintesifkan berlatih, terutama melatih “otot kaki” dengan berjalan kaki. Dikakatakan mengitensifkan, karena pelatihan berjalan kaki itu kami rencanakan sedemikian rupa, termasuk target perhari dan perminggu. Tiap pagi, usai Subuh kami berjalan. Jika rencana jarak tempuh sekitar 3 sampai 4 km, kami langsung berangkat dari masjid, tidak pulang dulu. Dengan pakain dari masjid kami berjalan. Akan tetapi jika jarak yang direncanakan lebih dari itu, kami pulang ke rumah mengganti pakain dan mempersiapkan segala sesuatu, barulah kami berjalan kaki.

Pelatihan berjalan kaki itu jaraknya bervariasi. Kadang-kadang jarak tempuh kami hanya 3 km, kadang-kadang sampai 10 km dalam satu hari. Kami selalu melakukannya pada pagi hari. Selain udara masih segar, cuaca juga tidak terlalu panas. Selama bulan ramadan pun hal itu kami lakukan, hampir tiap pagi. Begitulah kami berlatih selama empat bulan sebelum berangkat ke Tanah Suci. Hal itulah yang menjadi renungan saya pula. Andaikata saya dan istri tidak berlatih menggunakan otot kaki, tentulah dalam perjalan ibadah akan menggunakan alat bantu seperti kursi roda dan kursi listrik, misalnya. Akan tetapi, Alhamdulillah, berlatih dan berdoa untuk kuat, ternyata Allah SWT memberi kemudahan. Alhamdulillah.

Padang, Jl. Golf 26, Batipuah Panjang, Kototangah, 24 September 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *