(bagian ke-27)
KLOTER KETUJUH BELAS
Oleh Zulkarnaini Diran
”Arafah” representasi perdamaian dunia. Ada kasih sayang di situ. Kasta hilang, kesomobongan lenyap, kekuasaan pudar, dan segala predikat diri yang melakat lesap dalam pergumulan batin ketika ”wuquf” di padang yang amat luas itu. Itulah Padang Arafah tempat berkumpulnya hamba Allah yang seiman sekali setahun. Ya, hanya sekali setahun dan diwajibkan pun hanya sekali seumur hidup.
Sejumlah pakar menukilkan. Pada dasarnya hak azasi manusia (HAM) berasal dari sini. Semua orang yang wuquf di padang ini memiliki hak dan kewajiban yang sama. Haknya adalah menerima ampunan dari Allah. Kewajibannya adalah mengakui segala dosa dan memohon ampunan kepada Sang Khalik, Sang Pencipta Alam Semseta. Gelar, pangkat, jabatan tidak berguna di situ. Semua orang yang berada dalam kesamaan yang total, kesamaan tujuan, kesamaan harapan, kesamaan untuk mewujudkan ”alasan” Allah menciptakan manusia. ”Tidak Aku jadikan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku” (QS Az-Zariyat, 51:56).
Pada masa Rasulullah, Muhammad shallallahu alaihi wasallam Padang Arafah dijadikan sebagai salah satu lokasi rukun dalam ibadah haji. Setiap tanggal 9 Dzulhijjah, para jamaah akan mendatangi Padang Arafah dan berdiam diri (wuquf) di sana. Hal itu dilakukan mulai dari tergelincir matahari hingga terbenam. Padang Arafah memiliki wilayah yang sangat luas. Diperkirakan luasnya mencapai 12 juta meter persegi. Kapasitasnya tecermin dari jumlah jamaah haji biasanya mencapai 2,5 juta pertahun.
Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya “Haji dan Umroh” nama Arafah diambil dari kata yang memiliki arti ‘mengenal’ atau ‘mengakui’. Setiap jemaah haji yang berada di Arafah haruslah bersungguh-sungguh mengenal jati dirinya, mengakui setiap dosanya. Atas pengakuan dosa-dosa itu mereka memohon ampun kepada Allah. Hal itu dilakukan para jemaah karena pada tanggal 9 Zulhijjah di arafah itu Allah mengabulkan doa-doa hamba-Nya.
Pada 8 Zulhijjah, sebelum Magrib kami sampai Arafah. Beristirahat sejenak, kemudian Magrib pun datang. Selesai mengikuti antrean di tempat beruduk, para jemaah kembali ke tendanya masing-masing. Sahalat Magrib berjemaah pun dilaksanakan. Kemudian disusulkan dengan shalat Isya. Artinya Magrib dan Isya dilaksanakan secara jamak. Aktifitas individupun dilakukan sesudah itu. Makan malam, membaca Al-Quran, zikir, dan sebagainya dilakukan sendiri-sendiri. Itulah yang terlihat di dalam dan di luar tenda pada malam awal 9 Zulhijjah itu. Hampir tidak terlihat jemaah yang beraktifitas di luar koridor ibadah, semuanya beribadah, dan beribadah.
Malam awal 9 Zulhijjah itu unik dan menggetarkan. Keunikannya terletak pada akitifitas individu. Orang atau para jemaah benar-benar bersendiri. Bagaikan tidak terlihat interaksi antara sesama. Interaksi dan komunikasi hanya ada dengan diri sendiri dan dengan Sang Khalik, Maha Pencipta Alam Semesta. Dialog unik terjadi dengan diri dan dengan Yang Maha Kuasa. Keunikan itu terjadi sedemikian rupa. Hal itu seolah-olah tercipta dengan sendirinya. Bisa jadi kondisi itu dipengaruhi oleh ”persiapan matang” sebelum menunaikan ibadah haji, terkhusus sebelum ke Arafah.
Keunikan itu diiringi dengan getaran-getaran batin para jemaah. Getaran itu bisa jadi akibat dari ”pengakuan” atas segala dosa yang selama ini telah diperbuat. Bisa pula terjadi karena ”aku” manusia benar-benar bermunajat kepada Allah secara total. Memohonkan ampunan atas segala dosa yang telah diakui, atas segala kesalahan yang diperbuat, dan atas segala kealpaan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mengidentifikasi, menghitung-hitung, dan mendaftar segala dosa sejak usia balig, menjadikan getaran itu kian kuat. Tubuh kasar ini ”menggigil” tanpa disadari. Sementara ”tangis batin” terekspresi dengan cucuran air mata untuk pengakuan segala dosa. Di situlah air mata menitik, meleleh, dan tertumpah. Tumpahan air mata itu adalah cerminan dari bentuk pengakuan bahwa makhluk yang bernama manusia ini dalam keseharian ”bergelimang dosa”.
Ketika dosa-dosa telah dihitung, semua kealpaan teridentifikasi, semua keburukan terungkap melalui ”cermin bening kejujuran”, kemudian diiringi dengan ”permohonan” kepada Sang Khalik. Permohonan itu bermuatan agar segala dosa diampuni. Pada saat memohon dengan rasa harap, tunduk, dan takut, bukan hanya air mata yang menjadi saksi tetapi, air mata yang tadinya tertumpah, diringi oleh isak tangis yang tidak terbendung. Isak tangis itu terlontar sedemikian rupa diiringi dengan harapan besar agar semua dosa diampuni seperti dijanjikan Allah SWT.
Sekitar pukul 22.00 WAS, usai beruduk, saya tidak langsung masuk ke tenda. Saya membentangkan sajadah di depan tenda di bawah pohon yang tidak begitu rindang. Meskipun menjelang tengah malam, udara panas masih terasa di Arafah. Saya kembali menelisik satu-persatu dosa-dosa yang pernah dilakukan. Sesua dengan pengetahuan yang ada, saya coba berdoa, memohon ampunan kepada Allah. Tidak ada niatan memohon ampun dengan air mata, dengan tangis. Akan tetapi, saat telapak tangan ”menadah”, airmata pun tertumpah dengan sendirinya. Isak tangis pun tidak dapat dibendung. Hal itu terjadi secara otomatis tanpa kepura-puraan. Semoga, air mata dan isak tangis itu menjadi bukti kesadaran bahwa dosa yang telah diperbuat tidak diulangi lagi.
Di luar tenda saya tidak sendiri. Banyak jemaah lain yang berupaya “mengasingkan diri” di luar tenda. Tentu saja “pengasing diri” yang satu dengan yang lain mengatur jarak sedemikian rupa. Meskipun agak berjarak dengan jemaah lain, pendengaran saya masih saja “menangkap” isak tangis, bahkan ada yang “histeris” Ketika menadahkan tangan kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Ada yang benar-benar meratapi dirinya, meratapi kesalahannya, dan menangis ”sejadi-jadinya” seperti anak kecil yang tidak mendapatkan yang diingininya.
Tumpahan airmata, isak tangis, dan ratap yang ada di Arafah sepertinya bukanlah dibuat-buat, bukan “disandiwarakan”, tetapi keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Mungkin semua jemaah merasakan itu, mengalami kondisi itu. Kondisi psikologias telah membawanya ke alam kesadaran yang luar biasa. Alam kesadaran itu adalah bahwa di sinilah tempat ”mengakui” segala dosa, dan di sini pula tempat yang paling tepat untuk memohon ampunan dari Allah SWT. Allah mengampuni segala dosa di Padang Arafah ini. ”Aku telah mengampuni mereka”. Kata Allah dalah Hadis Sahiah:
Jabir mengatakan, Rasulullah SAW bersabda jika hari Arafah datang, Allah turun menuju langit dunia, dia berkata kepada malaikat, ”Lihatlah hamba-hambaku itu. Mereka mendatangiku dalam keadaan rambut acak-acakan, penuh dengan debu, dan datang dari segala penjuru bumi. Aku bersaksi kepada kalian bahwa aku telah mengampuni mereka. Malaikat berkata, ya Allah di antara mereka ada yang si fulan yang suka nuduh dengan tuduhan buruk dan selalu melakukan perbuatan haram. Demikian pula dengan si pulan dan fulan. Allah menjawab, Aku telah mengampuni mereka”
Tumpahan airmata, isak tangis, dan ratap jemaah haji di Arafah adalah sebagai kesaksian atas dua hal. Kedua hal itu adalah ”pengakuan” atas segala dosa dan ”permohonan” ampun kepada Allah SWT. Kesaksian itu bukanlah tanggung-tanggung, bukan kesaksian palsu, tetapi kesaksian yang tulus, yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Semoga saja semua jemaah haji yang telah mengakui dosanya mendapat ampunan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Perkasa. Semoga!
Madinah, Padang, Juli 2024