KLOTER KETUJUH BELAS, EMBARKASI PADANG
Oleh Zulkarnaini Diran

Ibadah haji adalah proses. Allah menetapkan waktu dan tempatnya dengan ketat. Hal itu berbeda dengan ibadah wajib lain seperti shalat, puasa, dan zakat. Salat waktunya ditetapkan, tetapi dapat dilakukan di mana saja asal memenuhi syarat. Puasa ditetapkan waktunya, juga tidak ditentukan tempatnya. Begitu juga halnya dengan ibadah-ibadah lain, bahkan ada yang tidak ditetapkan waktunya tidak ditetapkan tempatnya. Ibadah haji sangat berbeda dengan ibadah yang lain itu dari segi tempat dan waktunya. Ibadah haji ditetapkan waktunya dan ditetapkan tempatnya. Bahkan, diwajibkan hanya satu kali seumur hidup. Di sinilah terletak ”kekhususan” ibadah haji.
Ibadah haji ditetapkan waktunya pada bulan haji, tempatnya di Makkah. Waktunya tidak dapat diubah, tempat tidak dapat dialihkan. Ibadah batal atau tidak sah jika waktu dan tempatnya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Prosesi haji harus memenuhi syarat, rukun, dan wajib haji. Seseorang dianggap memenuhi syarat haji apabila beragama Islam (muslim), dewasa (baligh), berakal sehat (aqil), merdeka, bukan budak (huriyyah), dan mampu (istitha’ah). Rukun yang harus dipenuhi dalam prosesi haji meliputi niat (ihram, ihlal), wuquf di Arafah, tawaf ifadah, sa’i, tahlul (ditandai dengan mencukur rambut), dan tertib (tidak boleh meninggalkan satu rukunpun). Wajib haji yang harus dipenuhi adalah ihram dengan niat berhaji dari miqat yang telah ditentukan, mabid (bermalam) di Muzdalifah, mabid di Minna, melontar Jumrah (Ula, Wustha, dan Aqabah), dan Tawaf Wada’. Itulah yang harus dilalui selama menunaikan ibadah haji.
Seseorang dianggap memenuhi syarat ibadah haji jika dia beragama Islam. Beragama Islam berarti telah berikrar membuat pernyataan. Pernyataan itu ditandai dengan membaca dua kalimah syahdat berupa pengakuan bahwa “tiada tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.” Pengakuan itu diiringi dengan iman yakni memenuhi enam rukun iman dan diiringi dengan perbuatan berupa rukun Islam. Dewasa (baligh) ditandai dengan kemampuan mengkategorikan perintah dan larangan dalam ajaran Islam. Berakal sehat (aqil) yaitu memahami dan mengetahui serta dapat membedakan yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang buruk, dan sebagainya. Merdeka berarti bukan budak (zaman ini mungkin tidak ada lagi). Kemudian yang terakhir adalah memiliki kemampuan atau istitha’ah.
Menurut ketentuan yang berlaku, kemampuan atau istitha’ah meliputi empat hal penting. Keempat hal itu adalah mampu dalam biaya, mampu dalam keamanan, mampu dalam kesehatan, dan masuk ke dalam ”porsi haji”. Empat hal itu menjadi syarat penting yang harus dipenuhi oleh seorang jemaah. Keberangkan jemaah haji yang terakhir (2024), istitha’ah kesehatan termasuk hal yang sangat diperhatikan dan dipentingkan oleh lembaga yang mengurus jemaah haji. Pemeriksaan dan seleksi kesehatan dimulai dari pusat kesehatan di kecamatan sampai ke rumah sakit yang ditunjuk oleh pemerintah. Kemudian berdasarkan data dari pemeriksaan kesehatan itu, pemerintah menerbitkan keterangan ”layak” untuk berhaji. Hasilnya berupa layak tanpa pendampingan, layak dengan pendampingan obat, layak dengan pendampingan alat, dan layak dengan pendampingan orang. Surat keterangan itu satu dari beberapa syarat untuk melakukan pelunasan biaya haji.
Rukun haji harus dipenuhi dalam kondisi apapun. Semua prosesi rukun harus dilaksanakan, tidak dapat diganti dengan kegiatan lain seperti membayar dam (denda). Oleh karena itu, setiap jemaah yan berhaji mutlak mengikuti dan melaksanakan rukun. Fase-fase di dalam rukun diikuti sesuai dengan panduan atau pedoman pelaksanaan haji, tidak dapat diabaikan. Jika tidak mampu melaksanakannya, penyelenggara haji akan memfasilitasi, kalau fasilitas tidak tersedia, jemaah atau keluarganyalah yang memberi bantuan. Yang penting setiap jemaah wajib memenuhi rukun haji ini.
Wajib haji juga harus dilaksanakan atau diikuti. Hukumnya berbeda dengan rukun haji. Jika satu dari jumlah wajib haji tidak dapat dilaksanakan, jemaah dapat menggantinya. Penggantiannya sesuai dengan wajib yang ditinggalkan. Misalnya dapat membayar dam (denda) dengan memotong seekor domba atau diganti dengan ibadah lain seperti puasa di Makkah dan di Tanah Air. Artinya, jika wajib haji terlanggar atau tidak dapat dilaksanakan, ibadah haji tidak batal, tetapi dapat diganti dengan ibadah lain. Begitulah ketentuan yang ditetapkan oleh fiqih haji.
Memenuhi syarat, melaksanakan semua rukun, mengikuti semua wajib, berarti secara pisik pelaksanaan haji berjalan mulus tanpa halangan. Prosesi haji terlaksanana menurut semestinya, tidak ada masalah sama sekali. Kelancaran itu menandakan jemaah haji melaksanakan ibadah haji secara khusuk. Khusuk yang seperti itu disebut khusuk secara lahiriayah atau secara pisik. Tidak ada syarat, rukun, dan wajib haji yang tertinggal pertanda semua prosesi haji telah dijalani, berarti kekhusukan lahir atau kekhusukan pisik telah dicapai pula.
Menurut Jamhur ulama, khusuk dalam beribadah adalah penyempurnaan ibadah. Sempurna ibadah ditentukan oleh terpenuhinya syarat, rukun, dan wajib. Selain itu, ibadah juga meliputi aktifitas lahir dan batin. Aktiftas lahir ditampilkan oleh gerakan pisik sesuai dengan kaidah. Aktifitas batin adalah keterlibatan hati dalam mengikuti gerakan pisik yang bermakna. Kombinasi pekerjaan lahir dan batin dalam ibadah, khususnya berhaji, berarti terjadi kekhusukan dalam proses berhaji.
Khusuk beribadah, khususnya berhaji diawali dengan fokus beribadah. Fokus itu meliputi fokus kepada gerakan pisik dan fokus kepada bacaan-bacaan yang dianjurkan. Fokus dalam gerakan berarti mengikuti setiap gerak lahir beribadah sesuai yang sunnah atau sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Fokus kepada bacaan-bacaan yang dianjurkan adalah fokus kepada bacaan-bacaan dan doa-doa yang mengiringi aktifitas pisik. Bacaan dan doa itu, selain dilafazkan dengan suara lirih, juga dipahami maknanya. Artinya, setiap bacaan dan doa yang dilantunkan oleh alat ucap, maknanya harus dipahami pula. Sehingga setiap aktifitas pisik yang dirukunkan dan diwajibkan, berjalan serempak dengan bacaan dan doa yang dilantunkan, serta artinya dipahami pula. Dari fokus itulah awalnya kekhusukan beribadah haji.
Aktifitas lahir dan batin yang berjalan serempak ketika beribadah haji melahirkan kekhusukan. Kekhusukan pada saat ibadah itu dilaksanakan, disebut khusuk dalam proses. Artinya, ketika proses berlangsung terjadi gerakan serempak antara lahir dan batin. Ketika tawaf misalnya, gerakan pisik adalah mengelilingi Ka’bah tujuh kali dengan posisi Ka’bah di sebelah kiri. Kegiatan berkeliling dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir pada Hajar Aswad pula. Saat memulai tawaf ada bacaan, selama berkeliling ada doa, antara rukun Yamani dan Hajar Aswad ada doa, bacaan dan doa-doa itu selain serempak dengan gerakan, artinya harus dipahami, maknanya harus diresapi, sehingga batin benar-benar terasa berhubungan dan amat dekat kepada Allah SWT. Begitu pula halnya di dalam prosesi yang lain seperti sa’i, wukuf, mabid, melontar, dan sebagainya.
Selain khusuk dalam proses haji, juga perlu dilakukan khusuk pasca berhaji. Khusuk dalam proses haji tidak banyak memerlukan waktu. Artinya, prosesi haji berlangsung dalam hitungan hari. Akan tetapi, khusuk pasca atau sesudah berhaji memerlukan waktu lama, yakni sampai akhir hayat. Begitu selesai ”Tawaf Wada’” atau tawaf perpisahan berarti prosesi haji telah berakhir. Sejak itu perlu dibina, ditumbukan, dan dipertahankan kekhusukan pasca haji. Khusuk dalam konteks ini adalah menangkap, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai ibadah haji dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dilakukan sebagai individu, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai hamba Allah SWT sejati.
Kekhusukan lahir dan batin pasca berhaji, secara garis besar dilakukan dalam dua hal. Kedua hal itu adalah khusuk dalam beribadah kepada Allah dan khusuk dalam membina hubungan antara sesama makhluk, khususnya sesama manusia, lebih khusus lagi antara sesama seiman. Khusuk dalam ibadah, berhubungan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas ibadah kepada Sang Khalik. Peningkatan kuantitas berarti pula semakin banyak ibadah wajib dan sunnah yang dilakukan. Peningkatan kualitas, berarti semakin bermutunya ibadah-ibadah yang dilakukan. Setiap ibadah mengacu kepada Al-Quran dan Sunnah. Mutu ibadah itu diindikatori oleh pelaksanaan ibadah yang sesuai dengan tuntunan sunnah. Jadi, optimalnya ibadah kepada Allah SWT secara kuantitas dan kualitas menandakan kekhusukan pasca ibadah haji.
Peningkatan hubungan sesama manusia, merupakan bentuk khusuk yang kedua pasca berhaji. Jemaah haji terus-menerus berupaya meningkatkan mutu hubungan antar-anggota keluarga, antar-anggota masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, seorang yang telah melaksanakan ibadah haji, kehadirannya di tengah-tengah masyarakat memberikan makna yang luas tentang hidup dan kehdiupan, tentang manusia dan kemanusiaan. Keberadaannya menjadi penyejuk bagi orang sekitarnya, menjadi penolong bagi yang membutuhkan, dan menjadi solusi dari berbagai masalah yang dihadapi. Hal ini tentu dilakukan berdasarkan rambu-rambu islami yang telah ditetapkan di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Hidup bermasyarakat dengan layak dan senantiasa memberi makna kepada orang lain serta meningkatkan kualitas hubungan berdasarkan ketentuan Islam, merupakan ciri kekhusukan dalam bermuamalah atau berhubungan sesama manusia.
Jadi, khusuk dalam berhaji berarti khusuk dalam proses dan pasca proses. Khusuk dalam proses adalah berhaji sesuai dengan syarat, rukun, dan wajib. Selain itu, terlaksananya ibadah haji secara pisik dan diikuti oleh penghayatan dalam batin. Serempak antara aktifitas pisik dan aktifitas batin dalam proses, menandakan kehususukan berhaji dalam melaksanakannya. Khusuk pasca berhaji adalah optimlanya kuantitas dan kualitas beribadah kepada Allah sesudah berhaji, dan terbinanya kuantitas dan kualitas hubungan antar-sesama dalam kehidupan sehari-hari. Khusuk dalam proses terjadi dalam hitungan hari, khusuk pasca ibadah haji dilakukan sepanjang hayat.
Semoga kita termasuk orang-orang yang khusuk dalam semua ibadah, terutama ibadah haji yang telah dilaksanakan beberapa waktu yang lalu. Semoga!
Madinah – Padang, Juli 2024