(refleksi di penghujung 2024)
Oleh Zulkarnini Diran
Niat adalah keinginan atau kemauan kuat untuk melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu. Ikhlas adalah melakukan sesuatu hanya untuk Allah SWT, tanpa mengharapkan pujian, pengakuan, dan imbalan dari manusia. Niat merupakan pondasi dari setiap amal perbuatan. Jika niat baik dan ikhlas, perbuatan tersebut diterima oleh Allah SWT. Ikhlas adalah syarat agar amal perbuatan diterima Allah SWT. Jika niat tidak Ikhlas, amal perbuatan tersebut tidak diterima oleh Allah SWT. Antara niat dengan Ikhlas memiliki keseimbangan. Niat baik harus diikuti dengan ikhlas dan ikhlas harus didasarkan kepada niat yang baik.
Niat dipasang sebelum melakukan sesuatu. Letak niat pada posisi awal. Niat bukan terletak di pertengahan atau di akhir amal perbuatan. Niat itu tidak dieksplistikan, tidak disuarakan, dan atau tidak dilafalkan. Niat itu tersembunyi, dalam Islam niat itu ada di qalbu atau di dalam hati. Sebelum perbuatan, kegiatan, dan atau amal kebajikan dilakukan, niat sudah di pasang. Jika ada niat yang dilafalkan atau disuarakan, tujuannya adalah untuk memperkuat atau memperkokoh niat itu sendiri.
Ikhlas belangsung sejak awal sampai akhir perbuatan. Ikhlas ada pada posisi awal, dalam proses, dan sampai akhir pekerjaan. Kedudukan Ikhlas ada pada posisi “benar dan baik”. Tidak ada yang salah dan buruk di dalam keikhlasan. Hal itu menjadi pembeda nyata antara ikhlas dengan niat. Niat bisa berlabel buruk, dikenal dengan niat buruk, bisa pula berpredikat baik, dikenal dengan niat baik. Akan tetapi, ikhlas tidak demikian, ikhlas hanya ada pada kebenaran dan kebaikan.
Niat merupakan pondasi dari amal perbutan. Seseorang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. “Dari Umar bin Khattab RA, beliau berkata bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Segala amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi setiap orang hanyalah akan mendapatkan apa yang ia niatkan.’”(HR Bukhari dan Muslim). Perolehan seseorang setelah berbuat, beramal, dan melakukan sesuatu ditentukan oleh niatnya. Jika niatnya baik dan benar, ia akan mendapat kebaikan dan kebenaran. Kalau niatnya buruk dan salah, yang dituainya adalah keburukan dan kesalahan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar amal perbuatan mendapat hasil baik dan benar, setiap niat hendaklah diiringi dengan keihklasan.
Allah SWT berfirman, “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (QS Al-Isra, 18) Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS Al-Isra, 19).
Kedua ayat di dalam surat A-Isra ini merupakan penegasan Allah tentang niat. Allah menegaska jika seseorang berniat hanya untuk dunia (buruk), balasannya neraka jahanam dan masuk ke dalamnya dalam keadaan tercela (buruk). Akan tetapi jika niatnya kehidupan akhirat (baik) menapat balasan yang baik. Selain itu juga ditegaskan oleh Alla SWT, bahwa niat haruslah diiringi dengan usaha yang sungguh-sungguh dan yang bersangkutan dalam keadaan beriman. Bisa jadi, usaha bersungguh-sungguh dan iman adalah mewakili kata ”ikhlas”. Tentu saja, niat yang baik hendaklah diringi dengan keikhlasan, itulah amal perbuatan yang diterima oleh Allah dan diberi imbalan yang baik.
Al-Hafizh As-Sayuti berkata, “Niat bisa mempenagruhi perbuatan, sehingga kadang-kadang membuatnya haram dan kadang-kadang halal, padahal bentuk perbuatannya sama.” Dia mencontohkan menyembelih hewan. Sembelihan akan halal jika dilakukan dengan menyebut nama Allah, akan menjadi haram kalau disembelih selain menyebut nama Allah. Padahal perbuatannya sama, materinya sama, akan tetapi menjadi halal karena niatnya, menjadi haram juga karena niatnya.
Ibnu-Qayyim dalam bukunya Ar-Rub mengatakan, ”Satu hal yang bentuknya juga satu, bisa dibagi menjadi terpuji dan tercela.” Dia mencontohkan kepasrahan dan ketidakberdayaan, harapan dan angan-angan, hadiah dan sogokan, mengabarkan dan mengadu domba. Bagian pertama dari contoh itu adalah hal-hal yang terpuji dan bagian kedua tercela. Gambaran keduanya hampir tidak ada perbedaan, kecuali pada tujuan yang berakar pada niatnya. Jadi, niat dapat melahirkan perbuatan terpuji dan tercela. Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan, “Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar, dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak. Oleh karena itu setiap aml tergantung pada niatnya.”
Yusuf Al-Qaradhawi selanjutnya mengungkapkan, ”Setiap amal saleh memiliki dua sendi yaitu: (1) niat yang benar dan ikhlas: (2) sesuai dengan sunnah dan minhaj sunnah. Dengan sendi yang pertama kebenaran batin akan terwujud, dengan sendi kedua kebenaran lahirlah yang akan terwujud.” Mengenai sendi yang pertama disebutkan dalam sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya amal itu tergantung kepada niatnya.” Inilah yang menjadi pertimbangan batin. Sendi kedua juga termaktub di dalam sabda Nabi SAW, “Barangsiapa mengerjakn suatu amal yang tidak menurut perintah kami, maka ia ditolak” (HR Bukhari). Jadi, setiap amal hanya akan diterima oleh Allah jika benar dan ikhlas niatnya, sesuai dengan sunnah pelaksanaannya.
Antara niat dengan ikhlas memiliki keseimbangan. Niat baik harus diikuti dengan ikhlas dan ikhlas harus didasarkan kepada niat yang baik. Keduanya akan melahirkan amal saleh, amal kebajikan. Keduanya hendaklah dilakukan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Jadi, niat, ikhlas, dan menurut sunnah itulah yang senantiasa harus dipertahankan dalam menapaki kehidupan dan menyongsong tahun 2025. Mari kita betulkan niat, kita tingkatkan kualitas keikhlasan,kita laksankan amal kebajikan berdasarkan sunnah. Semoga di penghujung tahun ini ini kita senantiasa dalam Ridha Allah SWT, amin YRA!
Padang, 31 Desember 2024