FITNAH DAN MUSUH

Oleh Zulkarnaini Diran

Setiap keluarga merindukan kehadiran anak. Calon ayah – bunda berdoa untuk mendapatkan buah hati. Keluarga lelaki dan perempuan bermunajat kepada Allah SWT. Mereka berdoa, agar pada saatnya lahir anak dari pasangan pernikahan ini. Para tamu undangan membisikkan ke telinga pengantin lelaki dan perempuan sepenggal doa, agar dikarunia anak-anak yang saleh dan saleha. Calon ayah-bunda, keluarga pengantin, dan para tamu berdoa untuk mendapatkan anak dari pasangan yang menikah. Itulah nyatanya bahwa setiap keluarga merindukan kehadiran anak di dalam keluarga. Itulah harapan, impian, dan doa-doa keluarga normal.

Nabi Ibrahim Alaihissalam pun berdoa. Doanya diabadikan Allah di dalam Al-Qur’an, “Ya Tuhanku, anugrahkan kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang saleh” (QS Ass-Saffat,37:100). Ibrahim menunggu cukup lama. Selama 80 tahun penantian itu berlangsung. Akhirnya Allah mengaruniainya Ismail AS dan Ishak AS. Kemudian kedua anak itu dinobatkan Allah menjadi nabi. Jangankan orang awam, nabi pun merindukan kehadiran anak sebagai pelanjut generasinya. Oleh karena itu banyak pakar menyebutkan, ”anak adalah karunia dan amanah dari Allah yang tiadatara nilainya.”

Kehadiran anak, selain membahagiakan keluarga, juga merupakan investasi dunia dan akhirat bagi ayah – bunda. Investasi ini tentunya harus dipelihara, dirawat, dan terus-menerus ditumbuh-kembangkan menjadi investasi yang saangat berharga dan bermakna. Dari investasi itu tentunya terus-menerus diharapkan menjadi aliran kebahagiaan bagi keluarga. Jika hal itu tidak dilakukan dengan intensif, bisa jadi investasi itu menimbulkan kerugian bagi keluarga. Bahkan mungkin bukan hanya merugikan, bisa jadi dapat menjadi petaka di dalam keluarga.

Di dalam kenyataan sehari-hari dapat disaksikan. Banyak anak yang berprestasi dalam berbagai bidang. Tidak terhitung jumlahnya yang taat beribadah, sopan dalam pergaulan, selalu santun kepada orang tua. Bahkan tidak sedikit anak-anak usia muda yang telah menjadi penghafal Al-Quran. Semua prestasi dan kompetensi yang ditampilkan anak itu menjadi kebahagiaan bagi kedua orang tua, keluarga, dan masyarakat. Anak-anak seperti itu telah menjadi penyenang dan peneyejuk hati kedua orang tua.

Ada doa yang tercantum di dalam Al-Quran,  “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan [25]: 74). Pada ayat lain Allah SWT berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” (QS. Al-Kahfi [18]: 46). Anak-anak berprestasi dan berkompetensi dalam berbagai bidang telah menjadi penyejuk/ penyenang hati kedua orang tua. Selain itu telah menjadi perhiasan bagi kedua orang tuanya di dunia, tentu saja sekaligus menjadi penyejuk/ penyenang hati dan perhiasan bagi masyarakat sekitarnya.

Selain itu, ada anak yang kebalikan dari hal di atas. Anak-anak menyusahkan orang tua, masyarakat, bahkan menjadi musibah bagi semua orang. Jika itu terjadi, tentu menjadi beban bagi kedua orang tua dan keluarga. Hal seperti itu pun ditemukan di dalam masyarakat kita. Jamak ditemukan. Tentu saja orang-orang beriman menyadari hal itu. Mereka berupaya untuk melakukan pencegahan agar hal itu tidak terjadi di dalam keluarga.

Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang beriman! Sesungguhnya istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka….” (QS At-Taghaabun,64:14). Selanjutnya ditegaskan Allah SWT, “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah fitnah – cobaan bagimu.” (QS At-Taghaabun,64:15). Allah memperingatkan hamba-Nya yang beriman. Ya, hamba-Nya yang berimanlah yang akan mendengar dan merespon peringatan Sang Pencipta itu. Peringatannya jelas dan tegas, bahwa ”anak ada yang menjadi musuh, anak ada yang  menjadi fitnah atau cobaan”.

Banyak hal yang dapat dilakukan agar anak tidak menjadi fitnah dan musuh bagi orang tua, masyarakat, dan lingkungan. Hal itu dapat dicegah, terutama oleh ayah – bunda. Para pakar pendidikan memberikan saran-saran yang konstruktif untuk itu. Saran itu tidaklah terlalu berat untuk dilaksanakan oleh ayah – bunda, selama mau melakukannya. Ada empat saran yang dapat dipraktikkan di dalam keluarga. Keempat saran itu adalah ajarkan (pelajari), biasakan (praktikkan), menjadikan kebiasaan (dilakukan terus-menerus), dan menjadikan perilaku (melekat pada pribadi). Hal itu dapat dipraktikkan dalam segala dimensi dan substansi.

Ambillah contoh dalam dimensi perilaku beragama. Ayah bunda dapat mengajarkan sejak dini. Mengajarkan tentulah bukan menerangkan, menceramahkan seperti guru di sekolah. Anak-anak usia dini, umumnya suka meniru. Ayah – bunda mengajarkannya melalui contoh, ya, mencontohkan. Bukan memberikan contoh. Kalau mencontohkan berarti ayah – bunda menjadi model yang akan ditiru oleh anak. Praktik lebih khusus misalnya mengucapkan salam. Kedua orang tua mencontohkan, datang, pergi, bertemu, dan bepisah ucapkan salam. Contoh sederhana lain, memulai pekerjaan dengan nama Allah SWT. Orang tua mempraktikkan hal itu sebagai model. Jika itu dilakukan berarti telah mengajarkan.

Jika contoh-contoh itu ditampilkan setiap situasi dan kondisi, ayah – bunda mulai mengajak anak-anak untuk mempraktikkan. Sambil praktik diberikan penjelasan sederhana, maksud dan manfaat praktik itu. Juga kalau perlu berikan alasan-alasan sesuai logika anak untuk mempraktikkan kegiatan tersebut. Praktik itu akan bermuara kepada membiasakan. Untuk membiasakan, orang tua tinggal mengingatkan kepada anak jika dia lupa, tinggal menegur jika dia melanggar. Insya-Allah, jika hal itu telah menjadi kebiasaan, akan melekatlah perilaku itu pada diri mereka, akhirnya menjadi perangai sehari-hari. Memulai sesuatu dengan nama Allah menjadi perangainya, mengucapkan dan menjawab salam menjadi perangainya. Hal yang sama dapat dilakukan untuk dimensi kehidupan yang lain.

Anak adalah penyejuk/ penyenang hati dan perhisan dalam kehidupan di dunia. Anak juga dapat menjadi fitnah dan musuh. Agar dia tetap bertahan sebagai penyejuk/ penyenang dan perhiasan di dunia, mereka hendaklah diberikan pendidikan dengan contoh-contoh dari kedua orang tua. Agar jangan menjadi fitnah dan musuh bagi kedua orang tua, keluarga, dan masyarakat mereka harus dididik di dalam keluarga. Kepada mereka diberikan pendidikan dalam berbagai dimensi kehidupan sesuai dengan tingkat umur, keadaan, dan kebutuhan anak. Di antara hal yang dapat dilakukan untuk itu adalah berpraktik langsung dalam kehidupan sehari-hari. Praktik itu dilakukan  oleh ayah – bunda yakni ajarkan, biasakan, menjadikan kebiasaan, dan menjadikan perilaku. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat. Salam!

Manna, Bengkulu Selatan, 27 Januari 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *