BANGGA MENJADI ORANG MAHAT, ”SAYUR DARI PASA IBUAH”

Oleh Zulkarnaini Diran

Delapan tahun yang lalu saya dan istri agak lama di kampung kelahiran. Kami dan anak-anak sepakat untuk membuat pondok di bekas perumahan orang tua saya. Kakak, kemenakan, dan cucu di kampung menyetujui hal itu. Anak-anak pun menyepakati. Pondok itu dimaksudkan untuk tempat berlibur sesekali. Ketika membenahi pondok yang baru siap itulah saya dan istri agak lama di kampung. Kami menetap di pondok yang baru dibangun itu.

Seperti biasa, kami melakukan hal-hal rutin setiap hari. Magrib, Isya, dan Subuh kami salat berjamaah di masjid Nurul Yakin yang tidak jauh dari pondok kami. Usai sarapan pagi, kami berjalan pagi, kadang-kadang saya bersepeda keliling kampung. Banyak hal menarik perhatian saya dan istri ketika di kampung. Sebelumnya sudah saya ceritakan tentang ”menjadi orang asing” di kampung sendiri. Hal-hal menarik itu di antaranya adalah masalah kebutuhan harian, terutama sayur, ikan, telur, dan buah-buahan.

Bagi saya dan istri, sayur, ikan, telur, dan buah-buahan menjadi kebutuhan harian seperti keluarga-keluarga lain. Ketika berkunjung ke warung-warung kebutuhan harian, yang ada di situ hanyalah cabai dan lain-lain. Betapa sulitnya mencari sayur dan buaha-buahan seperti pisang, papaya, dan sejenisnya. Kalau untuk ikan, terutama ikan nila, dapat dipesan lewat telepon kepada sahabat saya Ali Amri di Padang Tui. Satu jam sesudah dipesan, ikan pun datang dan sudah bersih. Akan tetapi, sayur dan buah-buahan tidak demikian adanya, agak sulit didapat.

Kalau ingin mendapatkan sayur dan buah-buahan harus ditunggu dulu ”tukang garendongan” datang dari luar kampung kelahiran. Biasanya pukul 08.00 – 09.00 baru mereka datang. Sayur dan buah-buahan itu datangnya dari Pasar Ibuah Kota Payakumbuh. Bawang prai atau daun sup dan seldari pun juga dari pasar itu. Bagi saya dan istri ini termasuk ”aneh”.  Soalnya, kami biasa menanam sendiri meskipun lahan terbatas. Daun sup atau bawang prai, seldari juga ditanam di dalam pot. Begitu pula halnya untuk buah-buahan seperti pisang dan pepaya. Pokoknya untuk kebutuhan dapur yang semacam itu kami tidak membeli, tetapi ditanam sendiri.

Saya menyebut hal ini aneh karena umumnya keluarga kita di kampung kelahiran ”tinggal di atas tanah”. Umumnya memiliki pekarangan. Kalau tidak terlalu luas, yah cukuplah untuk menanam sayur, pisang, pepaya, dan sebagainya. Tetapi hal itu tidak dilakukan. Begitu pula halnya dengan ikan dan telur. Mereka dapat memelihara ayam kampung agak sepuluh ekor, kolam ikan agak satu atau dua. Hal itu dapat memenuhi kebutuhan dapur mereka. Kenapa itu tidak terjadi? Inilah barangkali pertanyaan yang harus dijawab. Secara akademik, tentu hal ini belum dapat dipertanggunjawabkan karena belum melalui prosedur ilmiah. Akan tetapi, jika ini dijadikan sebagai pijakan awal untuk diteliti, mungkin akan menjadi ”tesis” yang menarik. Artinya, fenomena ini dijadkan langkah awal untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Betapa naifnya kita dalam keidupan. Kita berada di tanah yang subur, tetapi sayur-sayuran dari kota Payakumbuh. Betapa menyedihkan cara berpikir kita, kita hidup di tengah-tengah lahan yang airnya cukup, tetapi untuk mengonsumsi ikan kita tunggu dari Pasar Ibuah Payakumbuh. Apa yang kurang, apa yang harus diperbaiki, dan apa yang hahrus ditingkatkan? Pertanyaan ini ”bergelut” di dalam pikiraan saya. Saat duduk-duduk dengan beberapa teman di perantauan, hal ini pernah saya perkatakan, saya informasikan, saya utarakan. Kawan-kawan berkata, ”Kita mau memberi masukan, tetapi kepada siapa, wadahnya apa?” Begitu prtanyaan yang muncul. Saya pun memiliki pertanyaan yang sama dengan mereka.

Kemudian saya membatin, merenung, dan membuat pertanyaan retorik, “Apakah mungkin pemerintah terendah, jorong dan nagari dapat memfasilitasi, agar terbuka pikiran dan perasaan untuk membaca kondisi ril seperti itu? Pertanyaan ”retorika” itu tentu tidak mungkin dijawab sendiri, apalagi kalau hanya dilontarkan untuk diri sendiri di dalam pikiran sendiri. Mungkin perlu ada rembug antar-pemegang kepentingan. Mungkin?

Bengkulu, 14 November 2025

Bukik Tungkul
Bukik Tungkual terletak di Koto Auaduri, Nagari Mahat, Bukik Barisan, Limapuluh Kota

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *