KANDUNGAN ENERGI DI DALAM TALBIYAH

Oleh Zulkarnaini Diran (Anggota IKHA – KBIHU At-Taqwa Muhammadiyah 2024)

Kini musim berhaji. Mereka yang memiliki ”istito’ah” tahun ini berangkat ke Tanah Haram – Tanah Suci untuk menunaikan Rukun Islam yang kelima. Kelompok terbang (kloter) pertama embarkasi Padang telah sampai di Madinah. ”Tamu Allah” kolter pertama ini bertolak dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) 12 Mei 2024 yang lalu. Dari BIM langsung ke Bandar Udara Internasional Pangeran Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah, Arab Saudi. Kemudian disusul oleh kloter berikutnya, sampai kloter yang ke-17 (terakhir) akan bertolak dari BIM 31 Mei 2024 menuju Bandar Udara King Abdul Aziz, Jedah, Arab Saudi.

Mereka yang berangkat menunaikan ibadah haji ini melalui proses yang panjang. Masa tunggu, khusus jemaah Sumatra Barat berkisar antara dua belas sampai empat belas tahun. Masa tunggu selama itu benar-benar memerlukan kesabaran yang luar biasa. Proses lain yang dilalui adalah pemeriksaan kesehatan yang termasuk ketat. Hasil pemeriksaan kesehatan akan memberikan rekomendasi seperti ”keberangkatan tanpa embel-embel, keberangkatan dengan pendampingan, dan keberangkatan ditunda”.

Salah satu syarat untuk dapat berangkat adalah memiliki kemampuan. Hal itu termaktub di dalam QS Ali Imran,3:97, ”…Dan (di anatara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang ’mampu’ mengadakan perjalanan ke sana ….” Untuk  memenuhi  kriteria mampu atau ”istito’ah” itu memerlukan ”energi tambahan” bagi calon jema’ah yang akan berangkat. Pada hakikatnya, energi luar biasa itu ada di dalam kandungan ”kalimat talbiyah”.

Kalimat talbiyah berbunyi, ” Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk. La syarika laka. Artinya: “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu.

Kalimat talbiayah adalah kalimat sakral. Pernyataan seorang hamba kepada Sang Khalik. Pernyataan itu berisi ”komitmen” atau ikrar. Ikrar itu sangat personal, keluar dari individu, bukan kelompok. Dicetuskan oleh insan dari lubuk hati yang paling dalam, kemudian diikuti dengan tindakan atau perbuatan. Kalimat talbiyah yang sakral dan berisi ikrar yang dicetuskan dari lubuk hati yang paling dalam dan diiringi dengan perbuatan itulah yang mengandung ”energi luarbiasa”.

Pernyataan ”Aku datang memenuhi panggilan-Mu” adalah energi yang terhimpun di dalam diri seorang hamba. Diri yang merupakan kombinasi jasmani dan rohani itu ternyata memiliki tenaga atau energi luar baisa setelah melafazkan ikrar dalam kalimat talbiyah tersebut. Panggilan itu datangnya dari Allah SWT. Panggilan itulah yang dipenuhi. Untuk memenuhi itu disingkirkan semua halang rintang, semua hambatan, dan semua kendala. Penyingkirannya dilakukan dengan ikrar atau tekad, yaitu ”Aku datang memenuhi panggilan-Mu”. Di situlah tekandungnya energi yang luarbiasa.

Kalimat talbiyah adalah ucapan sakral yang melambangkan jawaban, kehadiran, dan penerimaan seorang hamba terhadap panggilan Allah SWT untuk menunaikan ibadah haji atau umrah. Lafal utamanya yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW adalah, Transliterasi: Labbaikallāhumma labbaik, labbaika lā syarīka laka labbaik, innal-ḥamda wan-ni’mata laka wal-mulk, lā syarīka lak. Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”

Kalimat ini mulai diucapkan oleh jemaah setelah mereka berniat (ihram) di miqat dan akan terus dilantunkan secara berulang-ulang, baik saat berdiri, duduk, naik kendaraan, atau saat perubahan keadaan, hingga mereka memulai tawaf (untuk umrah) atau melontar jumrah ‘Aqabah pada 10 Dzulhijjah (untuk haji). Pengulangan ini menegaskan komitmen tanpa henti.

Secara harfiah, kata “labbaik” dapat diartikan sebagai “Aku penuhi panggilan-Mu,” “Aku hadir di hadapan-Mu,” atau “Aku selalu dalam ketaatan kepada-Mu.” Pengulangan Labbaikallāhumma Labbaik tidak sekadar berarti hadir sekali, melainkan hadir secara berkelanjutan, tulus, dan penuh kesiapan. Ini merupakan pengakuan bahwa jemaah datang bukan atas inisiatif pribadi semata, melainkan sebagai respons atas undangan dan perintah ilahi. Panggilan ini sejatinya adalah seruan yang telah diwariskan sejak Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk menyeru manusia agar berhaji.

Bagian paling esensial dan merupakan ruh dari talbiyah adalah penegasan tauhid, yaitu kalimat “Lā syarīka laka labbaik” (Tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu). Kalimat ini adalah deklarasi tegas untuk menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, baik yang tersembunyi maupun yang nyata. Dalam konteks haji, di mana dahulu Ka’bah pernah dipenuhi berhala, lafal ini menjadi pembersihan dan penegasan bahwa seluruh ritual ibadah yang dilakukan, dari miqat hingga kepulangan, adalah murni dipersembahkan hanya untuk Allah Yang Maha Esa. Ini adalah inti ajaran Islam, bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan dan pujaan.

Penutup kalimat talbiyah, “Innal-ḥamda wan-ni’mata laka wal-mulk, lā syarīka lak,” yang berarti “Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu,” melengkapi makna tauhid dengan pengakuan akan Rububiyah (kekuasaan dan penciptaan) dan Uluhiyah (hak untuk diibadahi) Allah. Jemaah mengakui bahwa segala kebaikan (al-ḥamd), kenikmatan yang memungkinkannya berhaji (an-ni’mah), dan kekuasaan tertinggi di alam semesta (al-mulk) mutlak milik Allah. Pengakuan ini melahirkan kerendahan hati dan rasa syukur yang mendalam, menjadikan ibadah haji sebagai wujud nyata penyerahan diri total kepada Sang Pencipta.

Melafalkan talbiyah secara berulang-ulang menciptakan suasana spiritual yang kuat, yang berfungsi sebagai dorongan mental untuk meninggalkan sementara ikatan-ikatan duniawi. Ucapan Labbaik adalah pernyataan bahwa seorang hamba rela meninggalkan keluarga, pekerjaan, dan kenyamanan hidup sehari-hari untuk merespons panggilan ilahi. Ini memotivasi jemaah untuk memfokuskan seluruh energi dan perhatian mereka hanya pada tujuan spiritual haji, menumbuhkan kesadaran bahwa ketaatan kepada Allah adalah prioritas tertinggi dalam hidup. Semangat inilah yang membuat mereka mampu menempuh perjalanan yang melelahkan dan penuh tantangan.

Salah satu motivasi terbesar yang terkandung dalam lantunan talbiyah adalah janji tentang penghapusan dosa. Beberapa hadis menyebutkan keutamaan bagi yang senantiasa membaca talbiyah, di mana dosa-dosanya akan terhapus dan ia kembali suci layaknya bayi yang baru dilahirkan. Motivasi ini memberi harapan besar kepada jemaah haji, mendorong mereka untuk memperbanyak talbiyah dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Mereka merasa terdorong untuk menggunakan setiap detik di Tanah Suci sebagai kesempatan emas untuk bertaubat, memohon ampunan, dan memulai lembaran hidup baru yang lebih baik.

Talbiyah dilantunkan secara serempak oleh jutaan jemaah dari berbagai ras, bahasa, dan latar belakang sosial. Suara yang satu ini menciptakan dorongan semangat persatuan (ukhuwah) yang luar biasa. Semua jemaah, tanpa memandang status, mengenakan pakaian ihram yang sederhana dan mengucapkan lafal yang sama, menyadari bahwa di hadapan Allah, semua manusia adalah setara. Keadaan ini memotivasi mereka untuk menanggalkan ego, kesombongan, dan perbedaan, fokus pada kesatuan ibadah dan tujuan bersama: mencari ridha Allah.

Frekuensi tinggi pengucapan talbiyah, terutama saat bergerak dari satu rukun ke rukun lain, berfungsi sebagai energi spiritual yang menguatkan mental dan fisik jemaah. Di tengah keramaian, kelelahan, dan tantangan fisik, lantunan talbiyah menjadi semacam self-talk positif yang mengingatkan jemaah akan tujuan mulia mereka. Ia menanamkan ketahanan (shabr), dorongan untuk terus maju, dan menepis rasa ragu atau putus asa. Dengan mengulang Labbaik, jemaah seolah mengisi ulang daya spiritual mereka, meneguhkan hati bahwa mereka adalah tamu Allah yang sedang dalam penjagaan-Nya.

Ruh utama dan inti hakiki dari kalimat talbiyah adalah pemurnian ikrar tauhid yang mutlak. Kalimat Lā syarīka laka labbaik adalah statement sentral yang membedakan ibadah haji Islam dengan praktik ritual pada masa Jahiliyah yang tercampur kesyirikan. Kalimat ini memastikan bahwa seluruh gerakan dan ibadah haji, mulai dari pakaian ihram yang polos hingga wukuf di Arafah, adalah sebuah persembahan yang ikhlas dan tidak boleh ternodai oleh niat selain mencari wajah Allah. Tanpa ruh tauhid ini, haji akan menjadi ritual kosong tanpa makna.

Talbiyah adalah pernyataan sakral seorang hamba yang secara sadar melepaskan diri dari segala bentuk penyekutuan terhadap Allah. Ini bukan hanya tentang penyembahan berhala, tetapi juga tentang membersihkan hati dari ketergantungan pada harta, jabatan, atau manusia. Ketika seorang jemaah berseru Lā syarīka laka, ia berkomitmen untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya Raja (al-Mulk), satu-satunya sumber kenikmatan (an-Ni’mah), dan satu-satunya yang berhak atas segala pujian (al-Ḥamd). Pernyataan ini menghilangkan keraguan karena ia telah mengikatkan diri pada janji terkuat, yaitu janji tauhid.

Kalimat talbiyah mentransformasi status jemaah di hadapan Allah. Dengan berulang kali menjawab “Aku penuhi panggilan-Mu (Labbaik), jemaah secara simbolis menjadi tamu Allah (Duyufurrahman) yang telah diundang dan ditunggu kehadirannya. Rasa kehormatan ini menjadi ruh yang mendorong jemaah untuk menjauhi segala larangan ihram dan haji dengan kesadaran penuh. Status tamu agung ini menyingkirkan keraguan karena ada keyakinan bahwa Allah, Sang Tuan Rumah, pasti akan memberikan yang terbaik kepada tamunya, asalkan sang tamu memenuhi aturan yang berlaku.

Ruh talbiyah menanamkan rasa kepastian dan pasrah (tawaqqul) yang kuat. Dengan mengakui bahwa segala puji, nikmat, dan kerajaan adalah milik Allah, jemaah secara otomatis menghilangkan keraguan akan kemampuan diri, bekal, atau kesulitan yang dihadapi. Mereka yakin bahwa Allah yang memanggil pasti akan menolong dan memampukan mereka untuk menyelesaikan rukun haji. Oleh karena itu, bagi yang menghayati maknanya, kalimat talbiyah menjadi kunci pembuka gerbang keyakinan, menjadikan ibadah haji sebagai perjalanan yang pasti dan tidak boleh dibatalkan.

Nilai keimanan (iman) dalam talbiyah berpusat pada pengakuan yang utuh terhadap Uluhiyah (hak Allah untuk diibadahi) dan Rububiyah (kekuasaan Allah atas ciptaan). Ketika jemaah menyatakan Lā syarīka laka (Tiada sekutu bagi-Mu), ini adalah kristalisasi dari rukun iman pertama, yaitu percaya kepada Allah Yang Maha Esa. Keimanan ini diperkuat oleh pengakuan Innal-ḥamda wan-ni’mata laka wal-mulk (Segala puji, nikmat, dan kerajaan adalah milik-Mu), yang menyadarkan jemaah bahwa semua yang mereka miliki dan hadapi adalah karunia dan kekuasaan Allah semata.

Nilai ketakwaan (takwa) terwujud melalui kepatuhan total yang disimbolkan oleh kata Labbaik (Aku penuhi panggilan-Mu). Takwa dalam konteks talbiyah adalah kesediaan untuk meninggalkan segala larangan dan melaksanakan perintah Allah selama berihram. Dengan melafalkan talbiyah, jemaah seolah membuat kontrak batin untuk berhati-hati dalam setiap tindakan, perkataan, dan pikiran, karena mereka berada dalam kondisi ihram (keharaman) yang menuntut ketaatan ekstra. Komitmen ini merupakan inti dari takwa, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan.

Secara spiritual, kalimat talbiyah menanamkan kerendahan hati (tawadhu’) dan kesadaran akan ketergantungan mutlak (iftiqar) kepada Allah. Pengulangan kalimat Labbaikallāhumma Labbaik adalah sikap seorang hamba yang bersujud dan mendekat. Kerendahan hati diperkuat dengan menanggalkan pakaian duniawi dan mengenakan ihram yang sama. Penghayatan ini memberikan kekuatan batin karena jemaah menyadari bahwa mereka bukanlah apa-apa tanpa nikmat dan kekuasaan Allah, dan satu-satunya tempat bersandar adalah Dia.

Perpaduan antara iman, takwa, dan spiritualitas dalam talbiyah memberikan kekuatan lahir batin kepada jemaah. Lantunan yang terus-menerus berfungsi sebagai dzikir agung yang menenangkan hati (taskīnul qulūb) di tengah hiruk pikuk ritual haji. Kekuatan batin ini membantu jemaah menghadapi cobaan fisik dan mental. Keyakinan bahwa mereka sedang menjawab panggilan Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki segala puji dan kerajaan, membuat mereka merasa aman, terlindungi, dan terbebas dari kekhawatiran, memfokuskan energi hanya untuk kesempurnaan ibadah.

Meskipun lafal talbiyah itu sendiri tidak disebutkan secara tekstual dalam Al-Quran, seruannya merupakan jawaban atas perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyeru umat manusia berhaji. Ini menjadi landasan filosofis seruan Labbaik. Artinya: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27). Ayat ini menegaskan adanya panggilan universal untuk berhaji. Kalimat talbiyah yang diucapkan jemaah adalah respons nyata dan lisan terhadap seruan ini, menunjukkan kesediaan untuk datang dan memenuhi undangan.

Lafal talbiyah yang baku dan dianjurkan didasarkan pada Sunnah Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Umar RA. Hadis ini menjadi dalil utama bagi anjuran melantunkan talbiyah: Hadis Riwayat Muslim (Shahih Muslim): Dari Ibnu Umar RA, ia berkata: “Talbiyah Rasulullah SAW adalah: Labbaikallāhumma labbaik, labbaika lā syarīka laka labbaik, innal-ḥamda wan-ni’mata laka wal-mulk, lā syarīka lak.” Hadis ini menetapkan formulasi bacaan yang menjadi standar talbiyah, yang secara jelas memuat pilar tauhid (lā syarīka laka).

Sunnah juga menjelaskan bahwa talbiyah merupakan syiar (simbol) agung dari ibadah haji dan memerintahkan untuk mengeraskannya. Hadis Riwayat Tirmidzi (Hasan Shahih): Rasulullah SAW pernah ditanya, “Haji yang bagaimanakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Mengucapkan talbiyah dengan suara yang keras dan menyembelih kurban.” Perintah untuk mengeraskan suara saat talbiyah menunjukkan bahwa ia bukan hanya dzikir personal, tetapi juga deklarasi publik yang menyebarkan semangat tauhid dan ketaatan di antara jemaah dan seluruh alam, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa batu, pohon, dan kerikil di sekitar jemaah ikut bertalbiyah.

Sunnah juga memberikan petunjuk tentang kapan talbiyah dimulai dan diakhiri. Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW memulai talbiyah setelah salat di Dzul Hulaifah. Dan diriwayatkan bahwa talbiyah berhenti ketika haji saat jemaah melontar Jumrah ‘Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Penetapan waktu mulai dan berakhirnya ini menegaskan bahwa talbiyah adalah amalan yang terikat erat dengan waktu ihram, berfungsi sebagai penanda dimulainya rangkaian ibadah suci haji.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *