BANGGA MENJADI ORANG MAHAT, KOLABORASI RANTAU DAN KAMPUNG “BERBUAH MANIS”

Oleh Zulkarnaini Diran

“Sayang jo kampuang ditingga-tinggakan (Sayang dengan kampung ditiggal-tinggalkan)” itu ungkapan kelasik yang pernah saya dengar. Begitulah yang saya lakukan (dengan terpaksa?).  Tamat kelas enam SR/SD saya merantau ke Kototinggi (sekarang ibukota Kecamatan Gunuang Omeh) untuk masuk ke SMP. Rantaunya dekat, lebih kurang 25 km dari kampung. Tamat SMP saya juga merantau ke Limbanang untuk belajar di SMA, juga dekat, lebih kurang 18 km dari kampung. Tamat SMA saya juga merantau, ini agak jauh. Rantaunya Jakarta. Selain untuk melanjutkan pendidikan, juga berjuang untuk mencari biaya kuiah di Ibukota Republik Indonesia itu. Merantau dekat untuk bersekolah, saya pulang tiap libur. Kampung saya ”tingga-tinggaakan”. Bukan ditinggal untuk selamanya. Lebih kurang empat tahun di Jakarta, saya pulang hanya dua kali. Pulang kedua, Jakarta benar-benar saya tinggalkan. Arintya, saya tetap sayang dengan kampung, makanya saya pulang secara periodik.

Rantau saya berikutnya Kota Padang. Lebih kurang tiga tahun lamanya saya di Ibukota Provinsi Sumatra Barat ini. Kemudian pindah ke Agam, tepatnya di Kecamatan IV Angkat, lebih kurang dua puluh tahun saya di sana. Akhirnya rantau saya Kota Padang lagi sejak 1998, entah sampai kapan, tidak diketahui, hanya Allahlah yang memegang ”skenarionya”. Itu artinya, saya menetap di kampung hanya sampai umurlebih kurang tiga belas tahun. Selebihnya saya hidup di rantau. Kini usia saya tujuh puluh empat tahun.  Berarti saya hidup di rantau sampai kini lebih kurang enam puluh satu tahun. Namun begitu, saya juga tetap pulang ke kampung. Kampung saya “tingga-tinggakan” pertanda “sayang”.

“Sayang jo kampuang ditingga-tinggakan.” Tahun 1985 istri saya melahirkan anak keempat. Kami bersepakat agar anak keempat ini lahir di kampung. Ada beberapa alasan untuk itu. Di antaranya agar kelahirannya disambut oleh kedua orang tua saya, kedua orang tua istri saya, dan sanak famili lainnya. Selain itu, suatu saat nanti anak anak-anak saya tidak akan pernah melupakan kampung halamannya. Hal yang termasuk menjadi harapan adalah ”bangga menjadi orang Mahat”. Tentu ada alas alasan lain, tapi itu di antaranya. Bertepatan kelahiran anak yang keempat ini adalah libur panjang sekolah. Saya dan istri adalah guru, maka kami dapat berlama-lama di kampung.

Ketika libur panjang yang hampir dua bulan itu, anak saya yang pertama dan kedua sudah seharusnya masuk sekolah taman kanak-kanak. Di kampung kelahiran, Mahat, Suliki (ketika itu) belum ada taman kanak-kanak. Bergelimang dalam pikira saya dua tiga malam, ”jika didirikan sekolah taman kanak-kanak” apa salahnya. Hari ketiga saya lontarkan gagasan itu di ”Lopau Imad (alm)” di simpang empat Pokan Komih. Pengunjung lopau atau pajak pagi itu sangat ramai, lopau penuh. Ternyata, semua orang merespon dengan positif gagasan yang saya lontarkan. Semua pengujung lopau yang terkenal ramai itu memberi semangat. Saya pun menjadi lebih bersemangat sebagai pelontar gagasan.

Hari kedua setelah melontarkan gagasan, saya minum pagi lagi di lopau yang sama. Hari itu juga kami langsung membentuk ”pengurus”, ya di lopau, bukan di ruang rapat, bukan di tempat yang sengaja dipersiapkan. Saat itu terpilih dan dietapkan tiga orang pengurus. Ketua, saya (Zulkarnaini – Kainir), sekretaris Saudara Ramayus (alm), dan bendahara Saudara Jahar. Sementara pelindung dan penasehat kami ”daulat” Ombo Adam Dt. Komo (alm). Satu-satunya ”pangulu” yang turut berjibaku untuk mendirikan TK di Mahat adalah Ombo Adam. Mudah-mudahan menjadi amal saleh dan amal jariyah bagi beliau, amin YRA! Kita doakan, semoga Ombo Adan dan Saudara Ramayus damai di alam Berzakh, amin yarobbal alamin.

Malamnya saya mulai mengoret-oret langkah yang harus dilakukan. Sedikit pengalaman saya ketika dilibatkan mendirikan sekolah (SMP Muhammadiyah di Ampek Angkek), saya manfaatkan pengalaman tersebut untuk itu. Tiga hal yang paling penting untuk mendirikan sekolah. Ketiga hal itu adalah murid, guru, dan sarpras (sarana dan prasarana). Paginya kami rapat lagi di lopau yang sama. Peserta rapatnya secara resmi hanya empat orang pengurus, tetapi karena di lopau, semua yang minum pagi itu turut menjadi peserta rapat. Mereka menyemangati dan membri dorongan moral.

Usai ”rapat di lopau” itu, kami bertiga berjalan keliling  Jorong Ronah, Ombo Adam Dt. Komo ikut mendampingi. Kami datangi satu-persatu keluarga yang anaknya mungkin belajar di TK. Dari kami bertiga sudah ada enam orang anak. Anak saya dua orang, anak Saudara Jahar dua orang, dan anak Saudara Ramayus dua orang. Ditambah anak Saudara Imad dua orang. Ada kepastian murid delapan orang. Usai berkeliling, terjaring anak dua puluh tujuh orang. Target saat itu hanya tiga puluh orang. Alhamdulillah, dari segi murid hampir terpenuhi target. Ketika kami mengujungi orang tua yang anak-anakya akan masuk TK, pertanyaan yang muncul adalah iyuran dan uang masuk. Iyuran cukup beras satu gantang satu bulan. Tidak ada uang masuk dan uang pembangunan.

Langkah kedua adalah mencari ruang belajar (sarpras). Dua alternatif yang dipilih. Pertama meminjam gedung Madarasah Tsanawiyah Swasta (MTs sekrang). Kedua meminjam ruang belajar SD 2 Mahat di Ronah. Diskusinya masih di lopau Imad. Namanya di lopau, semua orang bisa berbicara. Adalah seorang Datuak, pangulu (tidak etis kalau disebutkan nama dan gelarnya) berkata. Kalau MTs yang dipakai harus rapat nogori dulu, harus hadir ”niniak mamak sembilan tiang”. Spontan, Mbo Adam Dt. Komo langsung merespon. ”Iko lah jadi nasi ge Tuak, nak Datuak jadian bore baliak ( Ini sudah menjadi nasi, Datuk mau menjadikan beras lagi)”. Artinya seolah-olah datuak yang menyeletuk itu ingin mementahkan atau membatalkan rencana yang sudah jadi ini.

Saya memahami kondisi masyarakat Mahat, terutama gaya ”sebagian pemuka masyarakatnya dan datuak-datuaknya”. Saya menjadi Ketua Umum IPPM dua periode, karakter orang-orang tertentu sangat saya maklumi. Perilaku orang-orang ”suka macam-macam” sangat saya kenali. Saya tidak ingin gagasan ini mengundang masalah. Oleh karena itu kami sepakat untuk membatalkan peminjaman MTs Swasta itu. Pilihan kedua adalah salah satu ruangan di SD 02, Mahat. Kepala sekolahnya saat itu, Pak Jinun. Malamnya, kami bertiga di dampingi oleh Ombo Adam Dt. Komo berkunjung ke Rumah Dinas Pak Jinun. Beliau menyambut positif, memang ada beberapa ruangan yang tidak terpakai. Kalau mau dipakai, lantainya harus disemen terlebih dahulu, didinginya dicat. Untuk keperluan itu kami mendapat sumbangan dari para dermawan dan orang tua calon murid. Alhamdullah.

Ketiga yang dibutuhkan adalah guru. Saya memberi jaminan untuk mencari guru. Saya membawa seorang guru yang sangat berpengalaman mengajar di TK dari Ampek Angkek, Agam. Itulah Ibu Yanti yang kemudian menjadi PNS atas bantuan Mak Sayuti, S.H. yang saat itu menjadi Kabag Kepegawaian di Kanwil Depdikbud Sumbar. Kemudian Ibu Yanti menjadi sumandan urang Mahat, Aua Duri, Pijomban. Terkahir sebelum pensiun menjadi Sekretaris Camat di Kecamatan Bukik Barisan, Limapuluh Kota. Kabarnya kini kembali ke kampungnya di Biaro, Ampek Angkek, Agam.

Enam tahun yang lalu saya pulang ke kampung kelahiran. Seperti biasa saya naik sepeda keliling kampung. Hari itu saya naik sepeda ke puncak Kototinggi, Bungo nama kecilnya. Di situ ada sekolah Taman Kana-kanak. Saya bincang-bincang dengan gurunya. Saya memperoleh informasi bahwa saat itu sudah ada sepuluh Taman Kanak-kanak di Mahat (Maek). Alhamdulillah.

Judul tulisan ini ”Kolaborasi Rantau dan Kampung Berbuah Manis” di bawah semangat ”Bangga menjadi Orang Mahat”. Saya perantau, pulang ke kampung mengantarkan istri ke kampung. Ada kesempatan dua bulan. Gagasan dilontarkan untuk mendirikan TK. Orang yang tinggal di kampung merespon. Akhirnya TK pertama itupun terwujud. Mak Sayuti, S.H. adalah perantau. Beliau membantu proses Bu Yanti menjadi PNS. Akhirnya TK mendapat guru negeri, meskipun Bu Yanti statusnya sebagai pegawai PNS yang diperbantukan menjadi guru. Buahnya manis. Ternyata kini setelah empat puluh tahun, TK itu berkembang pesat. Wah sungguh ”manis buah kolaborasi  orang rantau dan kampung”.  

Manna, Bengkulu Selatan, 4 November 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *