Oleh: Zulkarnaini Diran

Kita adalah penafsir. Kita memiliki potensi dan otoritas untuk itu. Berinteraksi dengan subjek, kita merespon. Respon kita tidak langsung memutuskan pendapat tentang itu, tetapi menafsirkannya terlebih dahulu. Hasil penafsiran itu bermuara kepada pengambilan keputusan atau eksekusi. Keputusannya dapat berbentuk ujaran atau tulisan dan dapat pula berupa tindakan. Benar atau salah keputusan yang diambil sangat ditentukan oleh kualitas penafsirannya. Hal yang jelas dan pasti adalah setiap kita berpotensi dan berwenang untuk menafsirkan suatu subjek berupa benda, kejadian, dan sebagainya.
Menafsirkan atau menginterpretasikan adalah proses kognitif yang esensial. Seseorang berusaha memahami, menjelaskan, atau memberikan makna pada suatu objek, kejadian, teks, atau data. Inti dari interpretasi adalah menjembatani kesenjangan antara apa yang tampak (yang diobservasi) dan apa yang tersirat (makna yang sesungguhnya). Proses ini melibatkan analisis kritis terhadap informasi yang tersedia, serta penggunaan kerangka berpikir atau skema konseptual tertentu untuk mencapai pemahaman yang koheren.
Untuk menghasilkan penafsiran yang benar dan valid, proses ini harus tunduk pada kaidah atau norma yang berlaku umum. Kaidah-kaidah ini berfungsi sebagai “filter” atau “alat ukur” yang mencegah penafsir jatuh ke dalam subjektivitas murni atau interpretasi liar yang tidak berdasar. Secara umum, kaidah ini mencakup logika formal (prinsip non-kontradiksi, penalaran deduktif/induktif), metodologi keilmuan (verifikasi, falsifikasi, pengujian hipotesis), dan konvensi kontekstual (seperti kaidah tata bahasa dalam menafsirkan teks, atau kaidah statistik dalam menafsirkan data). Kepatuhan terhadap kaidah ini memastikan bahwa hasil penafsiran memiliki tingkat objektivitas dan akuntabilitas yang dapat diterima oleh komunitas terkait dan masyarakat.
Dalam konteks yang lebih luas, kaidah umum untuk menafsirkan juga sangat dipengaruhi oleh paradigma pengetahuan yang mendasarinya. Misalnya, menafsirkan suatu fenomena alam akan menggunakan kaidah ilmiah yang berbeda dengan menafsirkan sebuah karya sastra, yang mungkin menggunakan kaidah hermeneutika. Demikian pula, penafsiran atas hukum akan menggunakan kaidah yurisprudensi. Poin pentingnya adalah bahwa penafsiran yang sah harus mengakui adanya konteks dan otoritas dari kaidah-kaidah tersebut—penafsiran tidak berdiri di ruang hampa, melainkan terikat pada kerangka pengetahuan yang diakui. Dengan demikian, menafsirkan adalah proses yang aktif, terstruktur, dan bertanggung jawab.
Setiap penafsiran yang kuat dan kredibel harus disokong oleh dalil atau bukti pendukung, yang bertindak sebagai fondasi kebenaran interpretasi tersebut. Dalil-dalil ini terbagi menjadi beberapa sumber utama, tergantung pada ranah (domain) subjek yang ditafsirkan. Dalam konteks kaidah Islam, dalil utama adalah Al-Qur’an dan Sunnah (Hadis). Penafsiran terhadap ajaran agama harus merujuk pada teks-teks suci ini, didukung oleh kaidah Ushul Fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam) dan disiplin ilmu tafsir (seperti Asbabun Nuzul dan ulumul Qur’an). Penafsiran yang sah dalam Islam memerlukan penguasaan bahasa Arab, konteks historis, dan pemahaman yang mendalam tentang keseluruhan ajaran untuk menghindari penafsiran yang parsial atau menyimpang.
Selanjutnya adalah dalil yang bersumber dari kaidah ilmiah. Dalam sains, dalil merujuk pada fakta terverifikasi, data empiris, teori yang telah teruji, dan hasil eksperimen yang telah direplikasi dan divalidasi oleh komunitas ilmiah. Suatu interpretasi ilmiah, misalnya, mengenai dampak perubahan iklim, harus didukung oleh data suhu, model prediksi iklim, dan hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal peer-reviewed. Kaidah ilmiah menekankan pada objektivitas, replikasi, dan kemampuan untuk difalsifikasi. Penafsiran yang baik dalam konteks ini adalah yang paling konsisten dan paling kuat menjelaskan seluruh data yang tersedia.
Selain itu, dalil juga dapat berupa fakta-fakta empiris umum atau logika rasional yang mudah diverifikasi. Fakta empiris adalah data mentah yang dapat diamati dan disepakati secara umum (misalnya, “langit berwarna biru,” atau “sebuah benda jatuh ke bawah”). Kaidah logika, sementara itu, memastikan bahwa penafsiran tidak mengandung kontradiksi internal atau kesalahan penalaran (logical fallacy). Misalnya, penafsiran suatu kejadian pidana harus didukung oleh bukti fisik, kesaksian, dan rangkaian kronologis kejadian yang logis. Gabungan antara dalil normatif (agama/hukum) dan dalil empiris (sains/fakta) menjadi penopang utama agar penafsiran memiliki legitimasi dan kekuatan argumen yang utuh.
Kesalahan dalam menafsirkan suatu subjek membawa resiko signifikan yang dampaknya meluas, baik dalam kerangka hukum organik kehidupan (sosial-masyarakat) maupun dalam kerangka hukum agama. Dalam hukum organik, yang mencakup hukum positif negara dan norma sosial, salah menafsirkan data atau peristiwa dapat berujung pada kesalahan fatal. Sebagai contoh, seorang dokter yang salah menafsirkan hasil uji laboratorium dapat memberikan diagnosis dan pengobatan yang salah, berakibat pada kerugian fisik hingga kematian pasien, dan dapat dituntut secara hukum (malpraktik). Dalam konteks hukum, hakim yang salah menafsirkan bukti atau pasal undang-undang dapat mengakibatkan ketidakadilan, seperti memenjarakan orang yang tidak bersalah atau membebaskan pelaku kejahatan. Resiko ini mencerminkan prinsip akuntabilitas profesional dan hukum.
Secara sosial, kesalahan menafsirkan isu publik dapat memicu konflik, kepanikan, atau kerugian ekonomi massal. Misalnya, salah menafsirkan data pasar dapat menyebabkan keputusan investasi yang merugikan banyak pihak. Ketika kesalahan penafsiran ini dilakukan secara sengaja atau didorong oleh agenda tersembunyi, hal itu dapat berubah menjadi hoaks atau disinformasi yang merusak tatanan sosial, menimbulkan perpecahan, dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi. Dalam hukum organik kehidupan, resiko dari penafsiran yang keliru adalah kerugian material, fisik, reputasi, dan sanksi formal (penjara, denda, atau pencabutan lisensi).
Dalam perspektif hukum agama (Islam), resiko salah menafsirkan, terutama terhadap nash (teks agama), jauh lebih mendalam, karena menyangkut akidah, syariat, dan pertanggungjawaban di akhirat. Salah menafsirkan Al-Qur’an dan Hadis dapat menyebabkan bid’ah (inovasi dalam agama yang tidak berdasar), kesesatan, atau bahkan kekufuran jika penafsiran tersebut menolak prinsip dasar Islam. Dalam konteks moral, salah menafsirkan niat atau tindakan orang lain dapat melahirkan fitnah, ghibah, atau su’uzhan (prasangka buruk) yang dilarang keras. Resiko agama ini bersifat metafisik dan spiritual, pelakunya dianggap telah melanggar batasan yang ditetapkan oleh Allah SWT, yang menuntut taubat dan pertanggungjawaban yang berat kelak.
Tafsiran yang salah, terutama dalam menilai tindakan atau niat orang lain, seringkali secara langsung menjatuhkan seseorang pada prasangka (zhan). Prasangka adalah kesimpulan yang dibuat tanpa adanya bukti yang kuat, seringkali didorong oleh emosi, pengalaman masa lalu yang tidak relevan, atau asumsi negatif yang belum terverifikasi. Dalam Islam, prasangka buruk (su’uzhan) adalah perilaku yang secara tegas dilarang karena merupakan akar dari banyak dosa sosial dan dapat merusak harmoni antar-individu maupun masyarakat. Larangan terhadap prasangka ini secara eksplisit disebutkan di dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat ayat 12,”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (curiga), sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain…” Ayat ini menegaskan bahwa sebagian prasangka (in ba’dha al-zhanu ithmun) sudah tergolong sebagai dosa.
Hal ini menunjukkan bahwa tafsiran yang didasarkan pada spekulasi negatif dan tidak berdasar secara moral dan spiritual dianggap merusak. Proses tafsir yang benar menuntut tabayyun (konfirmasi atau klarifikasi), sementara prasangka adalah jalan pintas yang menghindari verifikasi, sehingga mudah melahirkan tuduhan palsu atau fitnah. Prasangka juga dilarang dalam Hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satu Hadis yang populer dan relevan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Jauhilah olehmu sekalian prasangka (su’uzhan), karena sesungguhnya prasangka itu adalah ucapan yang paling dusta. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling mengintip, saling membenci, dan jangan pula saling mendengki…”
Hadis ini secara gamblang menyebut prasangka sebagai “ucapan yang paling dusta” (akdzabul hadits). Ini menunjukkan bahwa prasangka menghasilkan interpretasi yang paling jauh dari kebenaran dan dapat merusak persaudaraan (ukhuwah). Oleh karena itu, dalam kaidah Islam, proses menafsirkan segala sesuatu, terutama tindakan sesama manusia, haruslah dibangun di atas prinsip “prasangka baik” (husnuzhan) selama tidak ada bukti kuat yang menunjukkan sebaliknya, sebagai upaya preventif terhadap dosa dan disharmoni sosial.
Kesalahan dalam proses dan hasil penafsiran, yang seringkali berakar pada prasangka atau ketidakpatuhan terhadap kaidah yang benar, akan menghasilkan “dampak kerugian” yang terstruktur, menimpa diri sendiri, orang lain, dan masyarakat luas. Kerugian pada diri sendiri berwujud pada kerusakan intelektual dan spiritual. Secara intelektual, salah tafsir menunjukkan ketidakmampuan berpikir kritis dan logis, yang menghambat kemampuan belajar dan pengambilan keputusan yang efektif di masa depan. Secara spiritual, jika penafsiran salah itu menghasilkan su’uzhan atau fitnah, pelakunya akan menanggung dosa dan beban moral, yang merusak ketenangan batin dan hubungannya dengan Tuhan. Ia juga akan kehilangan kepercayaan dari orang lain.
Kerugian yang ditimbulkan pada orang lain adalah yang paling sering terwujud dalam bentuk ketidakadilan dan kerusakan reputasi. Bayangkan seorang pemimpin yang salah menafsirkan kinerja bawahannya berdasarkan desas-desus; hasilnya adalah pemecatan yang tidak adil. Atau, penafsiran salah oleh media terhadap suatu peristiwa dapat menjatuhkan nama baik seseorang secara permanen, yang berakibat pada kerugian finansial, psikologis, dan sosial bagi korban. Kerugian ini bersifat riil dan terkadang tidak dapat dipulihkan, terutama ketika tafsiran salah itu sudah terlanjur tersebar luas sebagai fakta.
Pada tingkatan masyarakat banyak, kerugian akibat salah penafsiran dapat memicu disintegrasi sosial dan kekacauan publik. Ketika tafsiran yang salah (misalnya, terkait kebijakan publik, vaksin, atau isu agama) menyebar dan dipercayai, hal itu dapat menciptakan polarisasi, konflik horizontal, dan penolakan terhadap otoritas atau ilmu pengetahuan yang sah. Di ranah politik dan hukum, salah penafsiran terhadap konstitusi atau undang-undang dapat berakibat pada penyimpangan kekuasaan atau terhambatnya pembangunan. Secara keseluruhan, kesalahan penafsiran adalah pangkal dari tindakan yang salah, yang secara akumulatif melemahkan fondasi kebenaran, keadilan, dan persatuan dalam sebuah komunitas atau negara.
Manna, Bengkulu Selatan, 16 November 2025