Oleh Zulkarnaini Diran

Menurut para ulama ada tiga tahapan dalam berdoa. Tiga tahap itu adalah doa naik ke langit, doa sampai kepada Allah, dan doa direspon (dikabulkan, ditunda, atau ditolak oleh Allah di dunia, dibalas di akhirat).
Allah SWT memberikan janji yang pasti kepada hamba-Nya. Setiap doa akan didengar dan dikabulkan-Nya. Janji ini bukan hanya sekadar harapan, tetapi sebuah ketetapan ilahi yang memotivasi setiap Muslim untuk senantiasa bermunajat. Dalil yang paling fundamental mengenai hal ini adalah firman Allah SWT dalam Surah Ghafir ayat 60: “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” Ayat ini secara eksplisit memerintahkan kita untuk berdoa dan menjamin pengabulannya, sekaligus mengingatkan bahwa meninggalkan doa adalah bentuk kesombongan.
Pengabulan doa diperkuat dengan kedekatan-Nya yang tak terbatas dengan hamba-Nya. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 186, Allah berfirman, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” Ayat ini menekankan bahwa Allah sangat dekat, mendengar, dan merespon langsung seruan hamba-Nya, asalkan hamba tersebut memenuhi seruan dan beriman kepada-Nya. Ini menjadi landasan kuat keyakinan bahwa doa tidak akan pernah sia-sia.
Doa terkabul jika dilakukan dengan cara yang tepat. Ada beberapa cara dan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang hamba. Satu cara yang paling ditekankan oleh Rasulullah SAW adalah berdoa dengan keyakinan penuh (yakin akan dikabulkan) dan tidak tergesa-gesa. Ditegaskan di dalam hadis, “Akan dikabulkan doa salah seorang di antara kalian selama dia tidak tergesa-gesa, dengan mengatakan: ‘Aku sudah berdoa tapi tidak juga dikabulkan.‘” (HR. Tirmidzi, Abu Daud). Keyakinan yang teguh kepada kekuasaan Allah merupakan pilar utama dari doa yang benar, karena keraguan dapat menghalangi penerimaan doa.
Selain keyakinan, hal mendasar yang menentukan kualitas doa adalah kehalalan rezeki dan ketulusan niat. Rasulullah SAW pernah menyebutkan tentang seseorang yang bepergian jauh, berambut kusut, menengadahkan tangan ke langit sambil berdoa, “Ya Rabb, Ya Rabb,” tetapi makanan, minuman, dan pakaiannya berasal dari yang haram, sehingga beliau bersabda, “Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim). Hal ini menegaskan bahwa doa yang tepat dan benar harus didukung oleh ketaatan total, termasuk memastikan semua aspek kehidupan, terutama rezeki, berada dalam koridor halal, serta niat yang ikhlas hanya untuk Allah.
Setiap permintaan kepada Allah SWT harus disertai dengan adab dan tata krama yang baik. Hal itu merupakan bentuk penghormatan dan pengakuan atas keagungan-Nya. Adab yang harus diikuti oleh hamba-Nya menjadi penentu penting dalam diterima atau tidaknya doa. Salah satu adab terpenting adalah memulai doa dengan memuji Allah SWT dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sebuah hadis dari Fadhālah bin ‘Ubaid menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada seorang laki-laki yang langsung berdoa tanpa memuji dan bershalawat, “Engkau telah tergesa-gesa. Apabila engkau telah selesai shalat lalu engkau duduk berdoa, maka (terlebih dahulu) pujilah Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdoalah.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Adab berikutnya yang sangat ditekankan adalah berdoa dengan kerendahan hati (tadharru’) dan suara yang lembut (khufyah). Allah SWT berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 55, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Ayat ini mengajarkan bahwa doa adalah bentuk permohonan seorang hamba yang lemah kepada Rabb yang Maha Kuasa. Doa harus dilakukan dengan penuh ketundukan, tanpa berteriak atau berlebihan dalam permintaan yang melampaui batas syariat. Kerendahan hati dan kesadaran akan kefakiran diri di hadapan Allah adalah inti dari adab berdoa yang benar.
Kegagalan dalam memenuhi adab ini, seperti meminta hal yang dilarang, atau berdoa dengan hati yang lalai. Ini dapat berpotensi menyebabkan dosa atau penolakan doa. Rasulullah SAW bersabda, “Berdoalah kepada Allah dan lakukanlah dengan keyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima doa orang yang lalai dan melampaui batas.” Adab juga mencakup menjauhi hal-hal yang dapat menghalangi doa, seperti rezeki haram yang sudah dibahas pada poin sebelumnya. Oleh karena itu, adab berdoa bukan sekadar tata cara formalitas, melainkan cerminan dari hati dan kualitas ibadah seorang hamba kepada Maha Pencipta.
Adab berdoa juga termasuk mengangkat kedua tangan saat memohon, sebagaimana sunnah yang dilakukan oleh Nabi SAW, yang menunjukkan kerendahan diri, permohonan, dan harapan besar kepada Allah. Selain itu, menghadap kiblat dan memanfaatkan waktu-waktu mustajab seperti antara azan dan iqamah, saat sujud, atau sepertiga malam terakhir, juga merupakan bagian dari adab yang dianjurkan untuk memaksimalkan peluang doa diterima. Adab-adab ini berakar pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, menjadikannya syarat penting untuk kesempurnaan ibadah doa.
Tahapan pertama, yaitu doa naik ke langit, mengacu pada proses di mana permohonan seorang hamba diangkat dan diterima di sisi Allah SWT. Agar doa dapat “naik ke langit” atau diterima oleh-Nya. Ada kaidah-kaidah khusus yang harus dipenuhi, yang sering disebut sebagai syarat diterimanya doa. Salah satu kaidah utama adalah kekhusyukan dan kehadiran hati saat berdoa, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak fokus.” Kekhusyukan memastikan bahwa doa dipanjatkan dengan kesadaran penuh akan kebesaran dan kekuasaan Allah.
Kaidah lain yang sangat penting adalah keikhlasan (hanya ditujukan kepada Allah) dan ketaatan seorang hamba, termasuk menjauhi maksiat. Doa yang dipanjatkan oleh hamba yang terus-menerus melakukan dosa besar tanpa tobat dan tidak memperhatikan kaidah thayyib (halal) pada rezekinya, akan sulit menembus “pintu langit.” Dalam konteks ini, istilah “naik ke langit” merupakan metafora untuk penerimaan doa oleh Dzat Yang Maha Tinggi. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada yang dapat menolak qadha’ kecuali doa, dan tiada yang bisa menambah umur kecuali kebaikan (bakti).” (HR. Tirmidzi), menunjukkan kekuatan doa yang benar.
Doa yang dapat naik ke langit seringkali dilantunkan oleh orang-orang tertentu yang memiliki status istimewa di sisi Allah atau berada dalam kondisi tertentu. Terdapat dalil yang secara spesifik menyebutkan doa golongan ini memiliki keistimewaan dan hampir tidak tertolak. Rasulullah SAW bersabda: “Tiga golongan yang doanya tidak akan tertolak: orang yang berpuasa ketika (hingga) berbuka, pemimpin yang adil, dan doanya orang yang teraniaya.” (HR. Tirmidzi). Doa orang yang teraniaya disebutkan akan diangkat oleh Allah sampai di atas awan, dibukakan pintu-pintu langit untuknya, dan Allah berjanji akan menolongnya.
Selain itu, orang tua yang mendoakan anaknya, serta doa seorang musafir (orang yang bepergian), juga termasuk dalam doa yang diprioritaskan untuk naik ke langit dan dikabulkan. Ini memberikan pelajaran bahwa ikhlas, ketaatan, dan memanfaatkan kondisi-kondisi khusus adalah kunci utama agar doa seorang hamba berhasil menembus batas-batas langit dan diterima oleh Allah SWT. Keberhasilan doa “naik” ini sangat tergantung pada kualitas spiritual dan pemenuhan adab oleh pemohonnya.
Setiap doa yang tulus, sejalan dengan syariat, dan memenuhi adab, pasti sampai kepada Allah SWT karena Dia Maha Mendengar (As-Samii’). Tidak ada satu pun bisikan hati atau lisan seorang hamba yang luput dari pendengaran-Nya. Doa yang sampai kepada Allah memiliki ragam yang sangat luas, mencakup doa yang bersifat mas’alah (permintaan) dan doa yang bersifat ibadah (pujian, zikir, dan kepasrahan). Doa mas’alah adalah permohonan hajat duniawi dan ukhrawi, sementara doa ibadah adalah segala bentuk ibadah yang mengandung permohonan secara implisit, seperti shalat, puasa, atau membaca Al-Qur’an.
Meskipun semua doa sampai kepada-Nya, terdapat doa-doa yang diprioritaskan untuk diperhatikan dan dikabulkan oleh Allah SWT. Doa-doa yang paling diutamakan adalah doa-doa yang berkaitan dengan akhirat dan perlindungan dari api neraka. Hal ini dikarenakan kehidupan akhirat adalah tujuan abadi, dan permintaan yang berhubungan dengannya menunjukkan kesadaran hamba akan prioritas hidup yang sesungguhnya. Contohnya adalah doa memohon ampunan (maghfirah), rahmat, hidayah, dan surga.
Dalil yang mendukung prioritas doa ukhrawi adalah banyaknya doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yang berkaitan dengan keselamatan di dunia dan akhirat. Salah satu contoh doa yang sangat sering dianjurkan adalah doa sapu jagat (Al-Baqarah: 201), “Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” Prioritas ini juga terlihat dari doa-doa para Nabi yang mayoritas fokus pada peningkatan kualitas diri, taubat, dan permohonan keselamatan dari siksa. Memohon kebaikan dunia adalah diperbolehkan, namun mengutamakan akhirat adalah cerminan dari iman yang kuat.
Selain prioritas substansi, doa yang sampai dan diutamakan adalah doa yang dilantunkan dengan Asmaul Husna dan memohon dengan Ismul A’zham (Nama Allah yang Agung). Rasulullah SAW bersabda tentang seseorang yang berdoa, “Sungguh, ia telah memohon kepada Allah dengan menggunakan nama Allah yang paling agung. Jika nama itu digunakan untuk berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika nama itu digunakan untuk meminta, niscaya akan diberi.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa doa yang diucapkan dengan pengagungan yang benar terhadap Allah, akan mendapatkan perhatian dan prioritas yang lebih besar di sisi-Nya.
Setelah doa naik ke langit dan sampai kepada Allah, sampailah pada tahapan ketiga yaitu doa direspon oleh Allah SWT. Terdapat tiga bentuk utama pengabulan atau respon dari Allah SWT, yang semuanya merupakan wujud kasih sayang dan ilmu-Nya yang sempurna. Tiga jenis respon ini adalah: (1) langsung dikabulkan sesuai permintaan, (2) ditunda untuk waktu yang lebih baik atau dihindarkan dari keburukan yang lebih besar di dunia, atau (3) ditolak di dunia tetapi diganti dengan pahala yang lebih besar di akhirat kelak.
Konsep tiga jenis respon ini didukung oleh dalil yang kuat dari hadis Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang Muslim berdoa kepada Allah dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa atau memutus silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: dikabulkan segera, disimpan sebagai pahala di akhirat, atau dihindarkan dari keburukan yang sebanding dengannya.” (HR. Ahmad). Hadis ini adalah landasan utama yang menjelaskan bahwa doa seorang hamba tidak pernah ditolak secara sia-sia, melainkan selalu berbuah kebaikan dalam salah satu dari tiga bentuk tersebut.
Pengabulan yang langsung (jenis pertama) adalah yang paling diinginkan, namun penundaan atau penggantian (jenis kedua dan ketiga) adalah bentuk kasih sayang Allah yang didasarkan pada ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Terkadang, permintaan hamba tidak baik baginya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 216, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Penundaan atau penggantian ini adalah bukti bahwa Allah memberikan yang terbaik, bukan hanya yang kita inginkan.
Bentuk respon ketiga, yaitu dibalas di akhirat, merupakan janji pahala yang besar bagi doa yang ditolak di dunia. Doa yang “ditolak” di sini berarti permintaan hamba tidak terwujud di dunia, namun Allah menyimpannya sebagai investasi amal yang kelak akan sangat dibutuhkan. Di Hari Kiamat, hamba akan berharap semua doanya dahulu tidak dikabulkan di dunia agar mendapatkan balasan pahala yang berlipat ganda. Oleh karena itu, bagi seorang mukmin, tidak ada istilah doa yang benar-benar ditolak atau sia-sia, karena semuanya berujung pada kebaikan hakiki.
Jadi, tiga tahapan utama dalam berdoa menurut ulama, yaitu doa naik ke langit, doa sampai kepada Allah, dan doa direspon (dikabulkan, ditunda, atau dibalas di akhirat). Landasan utama keyakinan dalam berdoa adalah janji pasti Allah SWT, seperti yang termaktub dalam Surah Ghafir ayat 60 dan Al-Baqarah ayat 186, yang menegaskan bahwa Allah itu dekat dan akan mengabulkan permohonan hamba-Nya. Agar doa dapat ‘naik ke langit’ dan diterima, seorang hamba harus memenuhi syarat dan adab yang ketat, meliputi keyakinan penuh (tidak tergesa-gesa), memastikan rezeki yang halal, memiliki niat yang ikhlas, serta menjalankan adab seperti memuji dan bershalawat di awal doa, berdoa dengan kerendahan hati (tadharru’) dan suara yang lembut, serta menjauhi hati yang lalai. Kepatuhan total terhadap adab dan syariat, seperti kehalalan rezeki dan kekhusyukan, adalah kunci agar doa menembus batas langit dan sampai di sisi Allah SWT.
Semua doa yang tulus pasti sampai kepada Allah SWT, karena Dia Maha Mendengar. Doa yang sampai mencakup mas’alah (permintaan) dan ibadah (zikir dan kepasrahan). Doa yang diprioritaskan untuk diutamakan adalah yang berkaitan dengan akhirat, memohon ampunan dan surga, serta doa yang dilantunkan dengan menggunakan Asmaul Husna, terutama Ismul A’zham. Tahapan terakhir adalah respon Allah, yang terbagi menjadi tiga wujud kasih sayang-Nya: (1) dikabulkan segera, (2) ditunda atau diganti dengan perlindungan dari keburukan yang lebih besar di dunia, atau (3) ditolak di dunia namun diganti dengan pahala yang lebih besar di akhirat. Dengan demikian, bagi seorang mukmin, tidak ada doa yang sia-sia; setiap doa yang memenuhi syarat akan berujung pada kebaikan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat!
Manna, Bengkulu Selatan, 19 November 2025