Oleh Zulkarnaini Diran
Selasa, 27 Oktober 2015 saya kirim (posting) dua foto lama. Foto itu dibuat tahun 1977 ketika kuliah di PGSLP Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKSS, IKIP Padang, Sumbar. Foto bersama rekan-rekan sejurusan. Ketika menamatkan pendidikan guru daurat itu kami disebar oleh pemerintah di tiga provinsi: Sumbar, Riau, dan Jambi. Foto itu merupakan monumen atau kesaksian bahwa kami yang ada dalam foto pernah bersama-sama, pernah berjuang mengadu nasib untuk menjadi PNS guru. Foto itu saksi bisu bahwa pendidikan di Indonesia pernah mencetak guru secara darurat melalui Proyek Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Umum (PGSP dan PGSLA). Foto itu juga menginformasikan bahwa teman-teman sangat antusias untuk menjadi guru.
Di pawah postingan foto itu saya tulis, “Awal 1978 sahabat-sahabatku ini ditugaskan menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP. Kami disebar di tiga provinsi: Sumbar, Riau, dan Jambi. Ada di manakah kalian sekarang? Jika masih ada di dunia dan ada di dunia maya, kontak Zulkarnaini Mamak di fesbuk ini, ya! Aku kangen sama kalian.”
Banyak kenangan yang terungkap melalui foto itu. Kami bersama-sama dalam suka dan duka, khususnya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (77-78). Kadang-kadang sebungkus nasi kami makan berlima atau berenam, sesuap nasi masing-masing. Kami berdiskusi di “pasir putih” Pantai Air Tawar Padang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang cukup banyak. Di pinggir pantai itu juga kami bedah novel “Harimau-harimau” Mochtar Lubis. Di situ juga kami coba mencerna “Nyanyian Angsa” W.S. Rendra. Foto itu bernyanyi tentang masa lalu, masa silam, dan masa penuh dinamika.
Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) yang kami ikuti berdurasi dua semester. Begitu pendeknya waktu pendidikan, teman-teman sering memlesetkan menjadi “Pendidikan Guru Salacuik Putuih – Pendidikan Guru Selecut Putus (PGSLP)”. Hanya sepuluh bulan kami belajar, termasuk di dalamnya untuk praktik lapangan atau praktik mengajar di sekolah. Setiap mahasiswa mendapat Tunjangan Ikatan Dinas (TID) sebesar Rp 12.500 dari pemerintah. Ikatan dinas itu benar-benar membuat ikatan. Ada perjanjian yang mengikat. Begitu tamat harus bersedia ditempatkan di wilayah Republik Indonesia atau di negara lain di sekolah RI. Untungnya, perjanjian itu memberi jaminan bahwa begitu tamat langsung diangkat jadi CPNS guru. Hebatnya, biaya ke tempat tugas pun disediakan oleh pemerintah.
Pendidikan yang singkat itu mengesankan. Staf pengajarnya dosen-dosen senior. Tidak ada asisten dosen yang masuk. Mahasiswanya bervariasi. Ada yang baru menamatkan SLTA dan ada yang sudah berumur, mungkin lima atau enam tahunan tamat SLTA. Oleh karena jenis mahasiswanya heterogen, banyak dinamika dalam keseharian perkuliahan. Ada yang sudah terbiasa “berbisnis” mencari uang. Sambil kuliah di PGSLP ini, mereka sempatkan juga mencari uang dengan berbagai cara. Ada yang bekerja sebagai buruh, ada yang dagang kecil-kecilan, ada yang membantu dosen untuk penelitian. Pokoknya kegiatan apapun yang dilakukan, yang penting halal, dan mendapat uang tambahan.
Di jurusan bahasa dan sastra Indonesia (77-78) itu kami berjumlah 40 orang. Penjatahannya, untuk Sumbar 20 orang, Riau 10 orang, dan Jambi 10 orang. Berempatpuluh inilah kami yang sangat intens dan menjalin keakraban. Kami saling membantu, menolong, dan berbagi. Saya yang dituakan oleh rekan-rekan, karena itu tau persis setiap keluahan. Ada keluahan ekonomi, keluhan rumah tangga, dan bahkan keluahan “percintaan”. Enak juga menjadi “tong keluhan” bagi sejawat waktu itu. Oleh karena itu, saya hampir mengenali setiap karakter rekan yang 40 orang itu.
Tempo-tempo tertentu, untuk menghilangkan kejenuhan kami ke luar kota. Kami pernah mendaki Gunung Merapi. Dengan berbagai persiapan kami lakukan pendakian. Kebetulan ada seorang teman Akmal namanya. Kampuangnya di Aia Angek tanah Datar, di kaki Gunung Merapi. Akmal bersedia menampung kami sebelum ke gunung dan pulang dari gunung. Dengan tampungan Akmal itu, biaya perjalanan juga berkurang. Akhirnya kami sampai juga ke puncak gunung tertinggi di Sumatera Barat itu sebelum matahari terbit. Wah melelahkan, tapi menyenangkan.
Sekali waktu kami juga berkemah di Danau di Atas Kabupaten Solok. Kami berkemah di situ satu hari setelah Gubernur Sumbar, Azwar Anas meresmikan dermaga di danau itu. Kami pinjam tenda Kwarcab Pramuka Kota Padang. Tenda itu dihimpun di Kodim Padang. Alhamdulillah, tenda tidak disewa asal dikembalikan dalam keadaan utuh. Dengan tenda pinjaman itu kami berangkat ke daerah terdingin di Sumbar itu. Lima hari kami di sana, semakin akrab, semakin merasakan hal-hal yang dirasakan oleh teman. Di sini pula kami tau bahwa ada yang pintar memasak dan ada yang hanya mampu makan saja, hahaha.
Peralatan dapur, semuanya dijamin oleh seorang teman. Kebetulan dia tinggal di Padang, Nismar Arifin namanya. Mulai dari kuali, periuk, dan segala tetek bengek untuk memasak, Nismarlah yang menyediakan. Tentu kami berterima kasih sangat kepadanya. Kekompakan, kerja sama, dan persaudaraan yang kental itulah yang membuat kami bisa melakukan itu. Jurusan lain seperti IPA, Matematika, bahasa Inggris, Keterampilan Kerjinan, Keterampilan Jasa, boleh iri dan cemburu atas kebersamaan yang diciptakan oleh jurusan bahasa dan sastra Indonesia yang diketuai oleh Zulkarnaini, hahahaha.
Wau, foto itu bercerita. Ini hanya sebagian kecil yang dikatakannya. Foto itu mengungkap kenangan, hanya secuil yang terpungut. Tentu banyak lagi yang dapat dijeput dari foto itu tentang kisah masa lalu, kisah lama 38 tahun yang silam.
Akhirnya saya terharu setelah foto itu tampil di status Zulkarnaini Mamak. Seseorang, Muhammad Syaukani merespon foto itu. Dia menyatakan bahwa salah seorang yang ada di foto itu adalah bapaknya. Nawirman, itulah nama teman saya itu. Beliau ditugaskan di Riau. Negeri asalnya adalah Pasirpengiraian, Riau. Ini kata Muhammad Syaukani, “No 3 dr kanan yg berdiri laki laki adalah almarhum ayah saya pak (alm) nawirman lukman. Terharu saya pak.. Beliau meninggal tahun 2011 kmrin….”. Itu yang ditulisnya di dinding fesbuk saya.
Beberapa menit kemudian ada komentar dari Ibu Dewirosnanurti, istri almarhum Pak Nawirman. Begini tulisannya, “Tak terasa air mata mengalir melihat foto suamiku, semoga semua teman-teman alm memaafkan semua kesalahannya.”
Saya menjawabnya, “Saya sekeluarga turut bebelasungkawa, Bu. Sungguh, saya baru tau tadi dari anak kita. Tidak ada teman-teman yang mengiformasikan. Padahal saya sering kontak dengan M.Jamil, Zulhartono, dll. Semoga keluarga yang ditinggal tabah dan sabar menghadapi kenyataan ini. Almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya, amin.”
Respon berikut datang dari Musneli Indi, sahabat kami yang tinggal di Padang. Begini ucapannya, “Turut berbelasungkawa, Bu. Saya mohon maaf, karena kami dulu sering bercanda. Semoga keluarga ikhlas.
Respon Masrian Ali datang dari Rengat, “Saya juga teman pak Nawirmam terakhir jumpa sekitar 10 th yg lalu waktu itu beliau kepala sekolah. Saya juga mohon maaf lewat ahli baitnya, semoga diampuni dosanya dan di tempatkan di surganya.”
Saya terharu, air mata saya menetes. Saya membatin, kini saya sedang menunggu “antrean” untuk kembali kepada-Nya. Saya tidak tau bahwa Nawirman yang usianya jauh lebih muda dari saya telah pergi untuk selama-lamanya. Inilah jawab saya untuk Muhammad, “Muhammad Syaukani, innalillahi wa innailaihi rajiun, saya ikut berduka atas kepergiannya ke pangkuan Ilahi Rabbi. Maafkan kesalahan saya kepada Pak Nawirman, kami lama bergaul, beliau orang baik dan memiliki kepedulian sesama teman.” Selamat jalan sahabat, semoga kau berbahagia di alam sana. Percayalah doa anak yang saleh pastilah menyertaimu. Ilmu yang Engkau berikan kepada anak didik kita selama ini, pastilah pahalanya mengalir untukmu. Selamat jalan, kawan.
Setahu saya sudah dua orang rekan di foto itu yang pergi untuk selamanya. Selain Nawirman adalah Nismar Arifin. Bu Nismar ini terkahir menjadi guru di SMP Rambatan Tanah Datar. Asalnya kalau tidak salah dari Sungayang Tanah Datar. Entah beberapa tahun yang lalu dia meninggal saya tidak mencatatnya, tetapi sudah cukup lama. Kini saya masih menunggu informasi dari rekan-rekan yang masih di dunia dan ada di dunia maya tentang keberadaan teman semua. Jika memang tidak ada lagi di dunia, mungkin anak-anak bisa merespon. Alangkah beruntungnnya saya jika mendapat informasi setelah memosting foto ini. Alangkah nikmatnya informasi itu sebagai pelengkap kenangan masa lalu, kenangan di hari tua, kenangan di ujung usia.
Saya masih menunggu informasi itu di Zulkarnaini Mamak atau di melayuzul@yahoo.com.au atau di Zulkarnainidiran WordPress.com atau di Zulkarnaini.net. Rekan-rekan, saya tunggu, ya.