JIKA KETIGA RANAH BISA SEIMBANG

Oleh Zulkarnaini Diran

Perilaku manusia Indonesia yang disaksikan saat ini adalah produk pendidikan kita. Perdebatan tentang berbagai hal di media massa saat ini memberikan gambaran capaian pendidikan dalam satu dekade. Pengamat politik “dadakan” dan pakar hukum “pesanan” yang tampil dalam “sandiwara” publik adalah fenomena yang memperlihatkan produk pendidikan di masa lalu. Menurut Miller (2002), “Bangsa dan peradaban adalah produk pendidikan, kegagalan suatu bangsa dan hancurnya peradaban adalah kegagalan dunia pendidikan”.

Di sekolah para pendidik telah melakukan tiga hal penting. Ketiga hal itu adalah mendidik, mengajar, dan melatih (dikjartih). Pada saat pendidik melaksanakan tugas mendidik, sasaran utamanya adalah sikap atau nilai-nilai dasar (afektif). Ketika dia mengajar sasaran substansinya adalah ilmu, peserta didik memperoleh berbagai bidang ilmu sesuai kurikulum. Ilmu dan pengetahuan yang diperoleh peserta didik termasuk kelompok kognitif. Pada saat guru melatih orientasinya adalah keterampilan, kemampuan motorik, kemampuan anggota tubuh untuk mengolah dan menghasilkan produk. Hal ini disibut keterampilan (psikomotorik).

Afektif, kognitif, dan psikomotorik adalah tiga ranah dalam operasional kerja guru. Ketiga ranah itu tidak dapat dipilah-pilah dan didikotomi. Ketiganya berjalan secara serempak dan simultan. Kegiatan guru pun seperti itu, tidak bisa dipilah-pilah antara mendidik, mengajar, dan melatih. Ketiganya berjalan seirama dan senada sehingga mengantarkan peserta didik ke arah penguasaan ketiga ranah itu. Begitulah harapanya, niatannya, cita-citanya atau idealnya.

Adakah sama dan sebangun antara sisi ideal dengan kenyataan dalam proses pembelajaran? Nah inilah “produk” yang terlihat saat ini. Sosok manusia terdidik (yang mengenyam pendidikan) yang saat ini tampil di publik menggambarkan fenomena bahwa belum bertemu antara kutub ideal dengan kutub kenyataan. Bahwa pendidikan dengan ketiga ranah itu akan melahirkan manusia yang memiliki sikap atau nilai-nilai dasar yang pas, pengetahuan yang memadai, dan keterampilan yang mapan ternyata belum terwujud. Belum terlihat dalam fenomena “publik” saat ini.

Ketika diluncurkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 kemudian dilanjutkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Depdiknas menetapkan konsep kompetensi. Kompetensi adalah perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau nilai-nilai dasar yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Intinya adalah perpaduan, kombinasi ketiga ranah seperti diungkapkan di atas. Hasil dari perpaduan itu adalah perwujudan dalam bentuk kebiasaan berpikir dan bertindak. Hal inilah yang belum tergambar dari hasil pendidikan dewasa ini.

Secara yuridis dan teoretis pendidikan telah terumus dengan benar. Aspek yuridis telah memenuhi syarat. Undang-undang, pertauran pemerintah, dan peraturan menteri untuk pelaksanaan pendidikan telah lengkap. Aspek teoretis juga telah terpenuhi. Rumsuan-rumusan akademik tentang ketiga ranah sudah jelas, kombinasi ketiga ranah sudah tertera, dan konsep kebiasaan berpikir dan bertindak juga telah tegas dan jelas. Masalahnya ada pada aspek praktis. Secara praktis belumlah terlaksana secara utuh pengombinasian ketiga ranah itu.

Akademisi dan praktisi pendidikan memiliki tugas berat. Akademisi perlu memikirkan konsep, model, pendekatan, metode, dan teknik yang pas untuk meramu ketiga ranah menjadi milik peserta didik. Ramuan itu diharapkan menjadi kebiasaannya dalam berpikir dan bertindak. Hal yang dirumuskan oleh akademisi ini hendaknya tidaklah sebatas teori “muluk-muluk”, tetapi rumusan yang dapat diimplementasikan oleh praktisi pendidikan (pendidik dan tenaga kependidikan).

Praktisi pendidikan perlu menyiasati rumusan akademisi pendidikan. Jika rumusannya terlalu muluk, perlu dijabarkan menjadi sesuatu yang realistis. Selain itu, kesungguhan membaca, memahami, dan memaknai rumusan akademisi sangatlah diperlukan. Kemudian hasil pemahaman dan pemaknaan itu diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Sehingga diharapkan terjadi kombinasi yang harmonis antara ketiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor) dalam proses, hasil, dan dampak pembelajaran.

Ada dua wilayah yang harus dipertemukan dalam mengombinasikan dan menyeimbangkan ketiga ranah itu. Kedua wilayah itu adalah akademis dan praktis. Keduanya harus tersambung secara kontiniu, simultan, dan konsisten. Maksudnya para akademisi dan praktisi perlu selalu berkomunikasi, berinterkasi, dan berinterelasi. Dengan demikian konsep teoretis yang dirumuskan oleh akademisi dapat diterapkan oleh praktisi. Jika ada konsep yang belum terimplementasikan dikaji dan dibahas bersama.

Untuk menjembatani pertemuan kedua wilayah itu, diperlukan unsur penghubung dan perekat. Di sinilah peran pemerintah dan pemerintah daerah. Peranan Kemnterian Pendidikan dan Dinas Pendidikan Porvinsi, Kabupaten/Kota sangatlah diharapkan. Artinya, ada semacam program yang memungkinkan akademisi dan praktisi dapat bertemua dengan leluasa yang dibantu dengan fasilitas memadai. Hasil dari program itu adalah terjadinya kesemibangan anatara ketiga ranah itu dalam proses pembelajaran. Diharapkan pula, sepluuh atau lima belas tahun yang akan datang akan terlihat hasilnya dalam “sandiwara publik” di republic ini. Mungkinkah? Mudah-mudahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *