Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)
Sekolah ini sekarang dua shift. Siswa belajar bagi dan sore. Shift pertama belajar pagi, shift kedua belajar sore. Peningkatan mutu tidak bisa dibaca, peningkatan akreditasi sekolah dari A ke A+, tidak dapat diharap. Kemunginan akreditasi akan jatuh ke B. Jam pelajaran siswa harus dikurangi dari yang seharusnya. Untuk ekstrakurikuler dan pengembangan diri tidak ada lagi ruangan. Ruangan laboratorium IPA dan bahasa juga digunakan untuk belajar regular. Ini dilema besar bagi sekolah yang berada di pusat kota ini. Masalah besar bagi sekolah yang ingin mempertahankan prestasi dan prestise di mata Pemerintah Kota, Provinsi, dan Pusat.
Di sekolah ini, peraturan dan tatatertib tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya. Terutama yang menyangkut dengan penegakan disiplin. Dalam ketentuan tertulis yang disepakati, siswa yang tingkat kehadirannya tidak mencapai 85 persen dalam satu tahun, tidak dapat naik ke kelas yang lebih tinggi, walaupun nilainya memenuhi syarat. Hal itu berlaku bagi semua siswa di sekolah ini, tanpa kecuali. Tapi apa yang terjadi, kepala sekolah menerima surat sakti dari Kepala Dinas Pendidikan, bahwa sejumlah anak yang terkena peraturan itu harus dinaikkelaskan karena salah seorang di antaranya kemenakan salah soerang politisi yang menentukan menghitam-putihkan anggaran pendidikan. Anak yang lain ada yang memiliki hubungan famili dengan pejabat di Balai Kota.
Dua ilustrasi yang diungkapkan melalui paragraf di atas bukan “mengada-ada”, tetapi dapat dilihat dalam fenomena sehari-hari di dunia pendidikan. Mungkin kejadiannya tidak persis seperti itu, tetapi modusnya bisa dianalogikan dengan ilustrasi itu.
Sekolah dalam ilustrasi di atas adalah sekolah paforit. Semua orang ingin memasukkan anaknya ke sekolah itu. Sekolah itu, selain berada di pusat kota, juga dari sejumlah sekolah yang ada di kota tersebut termasuk yang paling baik pelayanannya. Pelayannya memuaskan masyarakat dari segi manajemen dan memuaskan peserta didik dari segi teknik edukatif. Oleh nama dan predikat yang disandang oleh sekolah ini, semua orang berminat menyekolahkan anaknya ke situ.
Sekolah paforit, seperti juga di kota lain tentu memiliki kaidah-kaidah khas dalam penerimaan siswa baru. Ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh siswa yang ingin belajar di situ dan ada kewajiban yang harus dipenuhi orang tua kalau anaknya mau diterima di sekolah itu. Dari sekian peminat, hanya sebagian kecil saja yang berterima di sekolah paforit ini. Akibatnya, banyak calon siswa yang ditolak. Nah, di sinilah pangkal mula masalahnya. Seseorang atau sekelompok orang yang mau mengambil hati masyrakat, menyulut “api” demonstrasi. Akhirya orang tua siswa demo ramai-ramai. Tuntutannya hanya satu, anak yang sudah mendaftar harus diterima. Oleh birokrat pendidikan, atas perintah “yang berwajib”, sekolah harus menerima permintaan demonstran itu. Itulah sebabnya sekolah ini menjadi dua shift. Sekolah diaduk-aduk oleh masyarakat, penghasut, dan dilegalisasi oleh birokrat pendidikan.
Ilustrasi kedua juga hampir sama seperti itu. Sekolah ingin masukan, proses, dan keluarannya bagus. Oleh karena itu dalam proses diperlukan regulasi. Sekolah membuat aturan untuk siswanya agar proses berjalan baik dan benar. Dengan proses seperti itu diharapkan keluarannya sesuai dengan harapan. Tentu saja, suatu regulasi di sekolah berlaku untuk semua siswanya, tidak kecuali. Tapi apa yang terjadi? Datanglah pengaruh luar biasa dari eksternal sekolah. Regulasi itu “bubar” dan “batal” untuk ana-anak tertentu. Sekolah diaduk-aduk oleh kekuasaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 yang disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan, “Pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partispasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.” Jika peraturan mengatakan begitu, tentu sekolah harus bertahan dengan “manajemen berbasis sekolah”. Artinya, pihak luar tidak dapat mengintevensi kebijakan sekolah secara semena-mena. Mampukah manajemen sekolah untuk itu? Inilah dilemanya. Jika tidak tunduk kepada “aduk-aduk” dari luar seperti itu, bisa jadi kepala sekolah kembali menjadi guru.
Ibarat memasak nasi, kalau terlalu sering diaduk-aduk, nasinya bisa lembek, tidak enak dimakan, tidak segar dinikmati. Ibarat menggulai, jika diaduk-aduk berkepanjangan, ikannya bisa hancur, tulang ikan masuk ke kuah gulai, gulainya tidak bisa dimakan, akhirnya dibuang. Itulah akibat diaduk-aduk.
Adukan-adukan dari luar itu terjadi karena ketidakberdayaan manajemen sekolah. Anggaran sekolah tergantung kepada Pemerintah Daerah. Legalisasi anggaran tergantung kepada DPRD. DPRD dihuni oleh banyak orang, ragam orang. Mereka duduk di situ atas berbagai kepentingan. Jabatan yang dipikul sekarang bersumber dari jasa berbagai pihak, andil konstituennya. Untuk memustuskan anggaran diperlukan pertimbangan-pertimbangan ‘kepentingan”. Salah satu di antaranya ialah seperti ilustrasi di atas.
Hal yang sama juga berlaku untuk manajemen sekolah. Kedudukan kepala sekolah, meskipun sudah datur dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan, namun tidak banyak berlaku di era otonomi daerah. Tanpa memenuhi kriteria dari PP dan Permendikbud itu pun sesoerang dapat menjadi kepala sekolah. Kabarnya, itulah kekuasaan yang dilegalkan oleh Undang-undang Otonomi Daerah. Hal yang dibenarkan oleh kepala daerah, itulah kebenaran. Dengan pengangkatan manajemen sekolah seperti itu, sama sekali mereka yang duduk sebagai kepala sekolah tidak memiliki daya tawar. Mereka adalah menejer-menejer takberdaya.
Kepala sekolah beserta dewan pendidik (dewan guru) memiliki otoritas untuk membuat aturan dan regulasi untuk kemajuan pendidikan di satuan pendidikannya. Hal itu djamin oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku. Seperti ilustrasi di atas, aturan dibuat bersama, disepakati bersama, dan tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Tapi apa yang terjadi? Aturan itu dilabrak oleh tangan-tangan yang “mengaduk-aduk” pendidikan.
Akhirnya apa yang terjadi? Atas ketidakberayaan manajemen sekolah itu timbul rasa cemas di kalangan warga sekolah. Kecemasan itu akan bermuara kepada keputusasaan, dan mengkristal dalam bentuk “masabodoh”. “Biarkan sajalah itu terjadi, semua itu tidak akan mengurnagi penghasilan kita, tidak akan mengurgangi eksistensi kita. Bahkan kalau itu ditantang bisa membahayakan kebaradaan kita”, itulah kira-kira pernyataan sejumlah pendidik yang terakumulasi dalam pertemuan-pertemuan dengan mereka.
Para penguasa di daerah, politisi, birokrat, dan entah siapa lagi sebutannya, “Apakah Anda tega dunia pendidikan diaduk-aduk seperti ilustrasi itu? Jika tega, tentu dalam tempo yang tidak terlalu lama, kita bersama-sama ‘menguburkan’ dunia pendidikan di republik tercinta ini.”
Semoga bermakna.
Padang, Januari 2014
Pak Diran, tulisan Bapak sangat menggugah. Saya melihat desentralisasi dan penerapan SBM merupakan persaingan. Pada konsep desentralisasi, urusan sekolah diotonomikan ke tingkat kab/kota. Pada konsep MBS, sekolah dianggap otonom. Apakah kabupaten/kota yang secara otonom mengurusi pendidikan ataukah sekolah yang secara otonom mengelola pendidikan?