PERENCANAAN PENDDIDIKAN BERBASIS KEBUTUHAN

Oleh Zulkarnaini Diran

(petaktisi dan pemerhati pendidikan)

Institusi pendidik menyusun perencanaan pendidikan. Perencanaan itu biasanya disusun setiap tahun. Adakalanya disusun untuk empat tahun. Lazimnya, perencanaan tahunan atau empat tahunan disusun berdasarkan evaluasi terhadap pelaksanaan sebelumnya. Hasil evaluasi itu akan mengiformasikah hal-hal yang telah dan belum memenuhi kebutuhan. Informasi itulah yang kemudian diolah, diproses, dan diformulasikan menjadi perencanaan baru. Dengan demikian, perencanaan pendidikan benar-benar berlandaskan kepada kebutuhan pendidikan.

Sejak lima tahun terkahir kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program Evaluasi Diri Sekolah (EDS). EDS ditetapkan degan keputusan Menteri Pendidikan. Kegiatan ini dilakukan oleh setiap sekolah. Pelaksananya adalah warga sekolah yang dibentuk oleh sekolah yang  dinamakan Tim Pengembang Sekolah (TPS). Substansi yang dievaluasi meliputi delapan standar nasional pendidikan. Hasil EDS disampaikan secara online ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga data hasil evaluasi itu terekam secara nasional di pusat.

Selain disampaikan secara online ke  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga disampaikan ke Dinas Pendidikan Provinsi, dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Penyampaian data hasil EDS ke jajaran vertikal itu bukanlah sekedar memenuhi syarat administrasi dan birokrasi. Maksud penyampaian itu adalah untuk masukan informatif kepada institusi yang mengurus pendidikan. Harapannya ialah agar informasi itu dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan, perencanaan, dan keputusan-keputusan lain. Sehingga dengan demikian setiap kebutuhan sekolah tersentuh oleh perencanaan dan kebijakan pendidikan yang dibuat oleh jajaran di atasnya.

Satuan pendidikan, khsusunya sekolah selalu menjadi sasaran satu perencanaan dari instansi di atasnya. Satuan pendidikan wajib menerimanya, tidak boleh menolak. Satuan pendidikan tidak boleh mempertanyaan perencanaan itu, apalagi menolaknya. Mempertanyakan dan menolak untuk meleksanakan perencanaan yang diturunkan institusi di atasnya, selain tidak etis, bisa-bisa dianggap sebagai pembangkang atau penantang kebijakan dari atas. Hal itu akan berbahaya bagi sekolah, terutama bagi jabatan kepala sekolah.

Satu sekolah di suatu kabupaten mendapat bantuan rehabilitasi ruangan. Ruangan yang akan direhabilitas adalah kantor kepala sekolah, ruangan guru, dan ruangan tata usaha. Ruangan yang menjadi sasaran rehabiltasi itu ternyata masih layak, masih bagus. Keramik lantai, plafon, dan dinding masih kuat. Kepala sekolah meminta supaya anggaran untuk rehabilitasi tiga ruangan itu dipindahkan saja untuk merehabilitasi tiga ruangan belajar. Ruangan belajar itu memang kondisinya sudah parah. Selain lantainya yang bolong-bolong, plafon sudah lapuk, atap banyak yang bocor. Dengan rahabilitasi tiga ruangan itu, belajar dua shif dapat dihindari.

Sekolah tidak membutuhkan rehabilitasi kantor. Yang dibutuhkan rehabilitasi ruangan belajar. Ruangan yang masih bagus akan dirobohkan kemudian direhabilitasi kembali. Sementara ruangan yang membutuhkan rehabilitasi tidak dapat dilakukan. Masalahnya berada pada prencanaan. Perencanaan yang disusun oleh yang berwenang adalah perencanaan “manasuka”. Perencanaan tidak berangkat dari kebutuhan sekolah, bukan berlandaskan kepada kebutuhan satuan pendidikan. Perencanaan dibuat minus bahan pertimbangan, minus informasi, minus data, dan fakta autentik. Jadinya, “mubazir”.

Sekelompok guru bertanya. Mengapa program pelatihan antara satu instansi dengan instansi lain yang kompeten selalau sama. Padahal pesertanya juga guru yang sama. Akhirnya dua sampai tiga kali pelatihan materinya sama. Lagi pula materi seperti itu sudah banyak dipahami guru. Artinya, pelatihan dengan materi itu tidak dibutuhkan guru sampai dua atau tiga kali. Akan tetapi, mengapa materi yang disajikan tetap seperti itu. Mengapa bukan materi yang dibutuhkan guru yang disajikan dalam pelatihan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sudah berlangsung sangat lama, tetapi belum pernah berubah sampai kini.

Masalahnya juga berada pada perencanaan. Ketika instansi bersangkutan mengajukan anggaran pelatihan  guru, landasan atau pijakannya bukanlah data autentik kebutuhan guru. Mereka membuat perencanaan “maju takgentar”. Minimal hanya dikira-kira, atau disedot dari file perencanaan sebelumnya. Informasi tentang kebutuhan guru tidak pernah dibaca atau dipelajari sebelum menyusun perencanaan. Konsekuensi logisnya adalah terbuangnnya uang negara untuk membiayai hal yang tidak dibutuhkan guru. Naif, memang.

Seyogiyanya, perencanaan berangkat dari kondisi ril atau keadaan nyata pada satuan pendidikan, khususnya sekolah. Hasil Evaluasi Diri Sekolah (EDS) merupakan sumber informasi, sumber data yang faktual untuk dijadikan masukan bagi penyusun perencanaan pendidikan. EDS itu menginformasikan keadaan sekolah berdasarkan delapan standar nasional. Kedelapan standar iru adalah Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI), Standar Proses (SPs), Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (SPTK), Standar Sarana dan Prasarana (SSP), Standar Pengelolaan (SPg), Standar Pembiayaan (SPb), dan Standar Penilaian (SPn).

Informasi dari hasil evaluasi dikaitkan dengan delapan standar nasional itu dapat dijadikan basis atau landasan untuk menyusun perencanaan pendidikan. Instansi yang berwenang dapat menggunakan data itu sibagai masukan. Untuk merancang pembangunan atau rehabilitasi fisik sekolah, dapat dilihat data EDS yang berhubungan dengan Standar Sarana dan Prasarana. Jika ingin merencanakan pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, dapat dilihat hasil EDS yang dikaitkan dengan Standar Pendidik dan tenaga Kependidikan.  Kalau ingin menyusun perencanaan pelatihan manajemen sekolah, dapat dilihat data tentang Standar Pengelolaan Pendidikan.

Informasi, data, dan fakta tentang sekolah sangat dibutuhkan untuk menyusun perencanaan pendidikan. Data itu telah tersedia untuk setiap satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Data yang tersedia itu perlu dimanfaatkan secara optimal oleh yang kompeten. Jika data itu dimanfaatkan secara optimal dan dijadikan landasan untuk menyusun perencanaan pendidikan, tentu anggaran pendidikan dapat dihemat. Selain itu, setiap perencanaan tidak akan tersia-sia. Hal penting lainnya adalah perencanaan yang dibuat benar-benar berdayaguna dan berhasil guna. Perenacaan akan terlaksana secara praktis dan pragmatis.

Kini tinggal kemauan “yang berwajib” untuk menyusun perencanaan sesuai dengan kebutuhan pendidikan. Dalam judul ini disebut Perencanaan Pendidikan Berbasis Kebutuhan. Mudah-mudahan dengan begitu kita terhindar dari kemubaziran dan dari ketersia-siaan. Bukankah kemubaziran itu saudarnya syetan?. Semoga. (Zulkarnaini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan tinggal di Padang)

Padang, 22 September  2014

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *