Bahan Ajar Buatan Guru

Oleh Zulkarnaini Diran

Saya tidak hanya menulis untuk surat kabar, tetapi juga menulis bahan ajar. Materi pelajaran yang akan saya sajikan kepada peseta didik saya kemas sedemikian rupa, saya tulis dalam bentuk diktat. Sesuai dengan strategi pembelajaran yang saya pahami bahwa belajar harus dimulia dari yang dekat kepada yang jauh, dari yang konkret ke yang abstrak, dari yang mudah kepada yang sulit, dan begitu seterunya. Dengan membuat bahan ajar sendiri, pemahaman itu bisa saya terapkan. Kadang-kadang kalau saya membuat bacaan atau wacana untuk siswa, nama-nama siswa yang menonjol saya pakai untuk menamai tokoh dalam wacana itu. Begitu pula halnya dengan kejadian atau perisitiwa dalam wacana, sengaja saya ambilkan perisitiwa yang benar-benar dialami oleh lingkungan siswa.

Pada saat guru atau pendidik mulai menulis bahan ajar sendiri, saat itu dia telah berupaya untuk membuat pembelajaran sesuai dengan konteks atau “kontekstual teaching”. Bahan ajar dapat diwarnai dengan konteks kekinian sesuai dengan keadaan dan kebutuhan peserta didik. Selain itu juga sesuai dengan bahan-bahan atau materi yang sangat dekat dengan lingkungan peserta didik. Hal itu tidak terlalu sulit untuk mata pelajaran yang saya ampu, yakni Bahasa dan Sastra Indonesia.

Saya Menyusun bahan ajar untuk lingkungan sendiri. Tujuan utamanya, selain mempermahir kemampuan menulis saya, juga untuk efektifitas dan efisiensi pembelajaran di kelas. Hal-hal yang bisa saya jelaskan di dalam bahan ajar, tidak perlu lagi saya terangkan di kelas. Peserta didik cukup membaca bahan dan menanyakan hal-hal yang kurang jelas. Dengan bahan ajar ini, keefektifan dan keefisienan dapat dicapai. Apalagi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia menitikberatkan kepada empat ketermapilan berbahasa yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.

Bahan ajar tulis buatan guru, efektif untuk tiga keterampilan berbahasa yang yakni berbicara, membaca, dan menulis. Peserta didik dapat membaca bahan-bahan tertulis yang saya susun. Bahan itu memuat konsep, prinsip, prosedur, dan fakta. Bahan-bahan itu saya sajikan dalam bahasa yang mudah dipahami peserta didik. Mereka akan bertanya (berbicara) jika ada bahan yang kurang atau tidak terpahami dari bacaan. Kemudian, di akhir bahan setiap unit disediakan lembar untuk menulis. Jadi, untuk keterampilan berbicara, membaca, dan menulis efektif menggunakan bahan ajar tertulis buatan guru.

Bahan yang telah disusun saya saya gandakan sendiri. Untuk penggandaan digunakan mesin stensil manual.  Untuk pekerjaan itu saya dibantu oleh tenaga tata usaha sekolah. Saya menggandakan sebanyak permintaan peserta didik. Saya tidak mewajibkan agar peserta didik memiliki. Saya hanya menawarkan kepada yang mau. Akan tetapi, semua peserta didik yang belajar dengan saya, ikut memiliki. Biayanya penggandaan ditanggung oleh peserta didik.

Bahan ajar yang saya susun dan yang saya gandakan sendiri, tenyata juga diminati oleh rekan-rekan yang mengajar di sekolah lain. Saya gandakan lebih banyak, saya modali sendiri, sampulnya saya buat dalam bentuk sederhana tetapi menarik dan pas. Siswa dari sekolah lain ikut mengkonsumsi bahan ajar yang saya tulis, hingga saya pun dikenal bukan hanya oleh sejawat guru, tetapi juga oleh peserta didik SMP yang menggunakan bahan ajar itu.

Membuat bahan ajar ada polanya, ada langkah-langkahnya, ada prosedurnya. Intinya, menulis bahan ajar ada teorinya, bukan dibuat dengan cara “maju takgentar”. Dengan berangkat dari pola dan teori yang jelas, bahan ajar yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan, dapat diuji keabsahannya. Hal itulah yang saya lakukan. Ketika mulai merintis penulisan bahan ajar.

Buku-buku dan bacaan tentang teknis menulis bahan ajar atau buku pelajaran saat itu sangat sulit ditemukan. Bahan bacaan tentang itu tidak seperti sekarang. Namun begitu, saya tetap berupaya mendapatkannya. Di antaranya saya dapat dari berbagai tulisan, makalah, dan sumber-sumber lain. Dengan modal teori-teori sporadis itulah saya memulai langkah menyusun bahan ajar buatan guru.

Basis utama menulis bahan ajar adalah kurikulum. Kurikulum itu terdiri dari sejumlah buku petunjuk atau panduan. Yang dijadikan pedoman utama adalah buku pedoman yang memuat tujuan dan materi pelajaran. Saat itu, Kurikulum 1975, nama bukunya Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Dari GBPP inilah saya memulai Menyusun bahan ajar. Membaca, mehami, menafisrikan, dan menganalisis GBPP adalah pekerjaan awal yang saya lakukan sebelum Menyusun bahan ajar.

Pertama-tama saya mencoba memahami tujuan kurikuler. Tujuan kurikuler merupakan tujuan mata pelajaran. Khusus mata pelalajaran yang saya ampu adalah mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Tujuan itu tertera pada bagian awal GBPP. Tujuan itulah yang saya analisis dan saya pahami. Intinya, siswa belajar bahasa dan sastra Indonesia untuk apa. Atau apa yang diharapkan setelah satu tahun, dua tahun, dan tiga tahun belajar bahasa dan sastra Indonesia di SLTP. Itu yang saya jabarkan  lebih rinci.

Tujuan itu dijabarkan dalam GBPP menjadi tujuan pembelajaran umum. Tujuan pembelajaran umum menaungi beberara pokok bahasan. Kemudian setiap pokok bahasan ada lagi sub-pokok bahasan. Di sinilah terletaknya kepiawaian guru untuk mengawali menyusun bahan ajar yaitu menjabarkan tujuan pembelajaran  umum menjadi tujuan pembelajaran khusus. Untuk tujuan pembelajaran umum, GBPP ini menggunakan istilah “Tujuan Instruksional Umum (TIU)” dan untuk tujuan pembelajaran khusus menggunakan istilah “Tujuan Instruksional Khusus (TIK)”.

Uaraian-uraian materi pembelajaran yang menjadi roh bahan ajar buatan guru, tereksplisit di dalam tujuan pembelajaran khusus. Semakin bagus tujuan khususnya dirumuskan, semakin jelas dan terang bahan atau materi ajarnya. Dengan demikian, semakin mudah penyusun bahan ajar, meramu bahan ajar buatan guru. Begitulah yang saya lakukan secara terencana dan terukur. Dari situlah saya menulis bahan ajar.

Hal penting yang saya peroleh dari menulis bahan ajar adalah “belajar menulis”. Artinya, bahan ajar disusun untuk peserta didik setingkat SLTP. Saya, saat itu adalah guru SMP. Saya sedikit mengenal kemampuan berbahasa anak-anak SMP. Dari situ saya belajar menggunakan bahasa tulis untuk ukuran anak-anak setingkat SMP. Belajar mencari “langgam” bahasa tulis sesuai dengan kebutuhan pembacanya, memerlukan proses pula. Pelatihan terus-menerus  dalam konteks ini sangatlah diperlukan. Hal ini pulalah yang kemudian menjadi modal saya ketika menulis buku pelajaran Budaya Alam Minangkabau untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *