MALAS MENULIS

Oleh Zulkarnaini Diran

Saya mendapat pesan melalui Whatsapp (WA) seperti ini, “List buku kaditulih banyak, Pak. Tapi dek maaja, maleh mamulainyo, Pak. Ndak tau yang maa kadiduluan, Pak.” (List buku yang akan ditulis banyak, Pak. Tapi karena mengajar, malas memulainya. Tidak tahu mana yang akan didahulukan, Pak.) Selanjutnya pada pesan itu, “Baa dek maleh bana mamulai nulih, Pak?” (Kenapa malas betul memulai menulis, Pak?).

Malas menulis, ragu harus dimulai dari mana, dan berbagai kendala sejenis adalah sisi manusiawi dari sesesorang. “Malas” adalah kata yang dapat menghinggapi setiap insan. Semua manusia normal, pastilah mengalaminya. “Malas” itu bagaikan tamu “tidak beradab”. Tiba-tiba dia datang tanpa permisi. Akhirnya menggerogoti berbagai rencana dan aktifitas yang akan dilakukan. Jika rasa malas datang “menyerang”, yah, itu hal biasa dan manusiawi. Itu normal, bukan penyakit, dan bukan pula sejenis tumor ganas dalam setiap aktifitas, terutama menulis.

Pesan WA tadi saya jawab begini, “Malas itu bagian penting dalam hidup. Itu adalah karunia Allah yang paling besar untuk memulai menulis,” kata saya sambil menampilkan gambar senyum di akhir kalimat.

Selanjutnya saya tulis contoh seperti ini.

Aku benar-benar malas menulis. Malasnya luarbiasa. Baru sekarang hal seperti itu aku rasakan. Begitu rasa malas itu menyerang, aku coba menelusuri sebab-sebabnya. Aku cari dari dua sisi atau dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal. Penelusuran itu aku lakukan dengan niat, agar malas itu dapat kuusir dan tidak datang-datang lagi.

Dimensi internal yang kutemukan ada dua. Pertama, akhir-akhir ini pikiranku kurang fokus  untuk membaca dan menulis. Padahal membaca dan menulis memiliki hubungan sebab akibat atau hubungan kausal. Membaca ibarat makan, menulis seperti buang air besar (BAB). Apa yang harus dibuang kalau tidak makan. Fokus dan banyak membaca, insya-Allah akan bemuara kepada menulis.

Contoh itupun saya akhiri dengan gambar senyum.

“Hihi mantap bana, Pak. Insya-Allah dicicil lai, Pak.” (Hihi mantap benar, Pak. Insya-Allah segera dicicil/ dimulai, Pak), kata pengirim pesan WA itu. Saya pun tersenyum membaca pernyataannya yang terakhir itu.

***

Pengirim pesan itu orang yang sangat saya kenal. Dia dulu tinggal di masjid dekat rumah. Selain menjadi guru di TPA/TPQ di RW tempat saya tinggal, dia juga merangkap sebagai imam dan “takmir’ masjid. Setiap waktu senggang, usai shalat misalnya, dia selalu gigih menanyakan perihal tulis-menulis. Pada suatu waktu dia datang ke rumah. “Beri saya tantangan, Pak agar saya mampu menulis”, katanya. Tentu saja bagi saya hal ini adalah sesuatu yang menarik. Kesempatan bagi saya untuk membuktikan bahwa untuk dapat menulis harus dimulai dari “membaca”. Oleh karena dia meminta tantangan, saya berikan kepadanya sejilid kliping surat kabar yang berisi artikel yang pernah saya tulis pada masa lalu.

“Gunakan waktu senggang, salin artikel ini ke laptop!”, begitu saya mengomandoinya. Dia benar-benar melakukan. Puluhan artikel itu dia pindahkan ke laptopnya. Dalam pikiran saya, dengan membaca artikel populer yang pernah saya publikasikan di berbagai surat kabar itu, dia akan belajar “berkata, berkalimat, dan berparagraf tulis”. Artinya, dengan banyak dan rutin membaca, kata-kata akan jinak, kalimat akan mudah dibuat, dan paragraf akan gampang ditata. Dari asumsi itulah saya berangkat, dari pikiran seperti itulah saya “memberinya tantangan” agar mampu menulis.

Suatu sore, diperlihatkannya kepada saya draf buku. Saya lihat tulisannya itu lebih dari lima puluh halaman. Bukunya tentang “keterampilan membaca Al-Quran dengan makhrad dan tajwid yang benar. Draf itu tampil seperti buku “Bimbingan Keterampilan Berbahasa”. Saya terperanjat melihat draf bukunya itu. Saya coba mengamatinya sungguh-sungguh, saya temukan di draf buku itu, potensi luar biasa dari penulisnya. Diksinya mantap, kalimatnya terstruktur, dan paragrafnya komunikatif. Saya katakan, “Kamu memiliki potensi luarbiasa untuk menulis!”

Begitu dia menyelesaikan strata satu (S1) di salah satu universitas di Padang, saya terus menyemangatinya untuk megambil strata dua (S2) yang linier dengan program studi S1-nya. Dia mengikuti saran itu. Akhirnya kuliah S2 dia ikuti. Pada semester pertama di pascasarjana itu dia menginformasikan akan menikah. Wanita pilihannya adalah teman kuliahnya yang jugat kuliah S2 di universitas, fakultas, dan jurusan yang sama dengannya. Begitulah “mahasiswa tlaten” asal Pasaman Barat ini.

Kuliahnya selesai, anak pertamanya lahir. Keduanya pindah dari Padang ke salah satu kabupaten. Dia mengajar di pondok pesantren kabupaten itu, istrinya mengajar salah satu perguruan tinggi swasta juga di kabupaten yang sama. Dia selain mengajar di pondok pesantren, juga mengajar di tempat istrinya bertugas. Saya tidak tahu bahwa dia sudah pindah alamat ke suatu kabupaten. Baru saya ketahui setelah dia menginformasikan.

Hari itu dia memberi kabar lewat WA. “Pak, buku pertama kami sudah terbit. Penulisnya saya, editornya istri saya,” katanya lewat pesan itu. “Buku dicetak terbatas, Pak. Untuk Bapak saya kirimkan dalam bentuk PDF. Buku ini berkisah tentang perjalanan hidup di masa sekolah, Pak,” katanya dalam pesan itu.  Judul bukunya, “Takpernah Kurencanakan”. Tentu saja kiriman dalam bentuk PDF itu saya baca. Saya “membatin” rupanya untuk pandai, terampil, dan mampu menulis itu, pertama-tama modalnya adalah kemauan. Saya berdecak kagum membaca deskripsi dan narasi bukunya itu. Sajiannya bukan seperti penulis pemula, tetapi seperti penulis yang berpengalaman. Di sana-sini ditemukan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Mandailing, sehingga selipan bahasa daerah itu membantu pembentukkan suasana dalam narasi dan deskripsinya.

“Ini buku pertama, Pak, insya-Allah buku kedua menyusul,” katanya dalam pesan WA juga. “Buku kedua dengan judul yang sama akan berkisah tentang liku-liku kehidupan di bangku kuliah,” katanya lagi. Untuk menuntaskan buku kedua itulah dia mengirimkan pesan bahwa dia mulai malas menulis. Rasa malas yang menderanya benar-benar luar biasa. Itulah makanya saya berikan contoh seperti di atas, bahwa rasa malas itu juga “modal” untuk memulai menulis dan atau menyelesaikan tulisan yang ada. Mudah-mudahan, buku kedua pemilik gelar megister pendidikan bahasa Arab ini segera dimulainya dan diselesaikannya.

Orang yang saya kisahkan ini adalah Ali Nasuha, M.Pd. dan istrinya Elsa Sepputri, M.Pd. Yang kini tinggal di Tanjungpati, Limapuluh Kota.

Padang, 2 Desember 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *