ESENSI ISRAK MIKRAJ

Oleh Zulkarnaini Diran

Kamis 27 Rajab 1446 bertepatan dengan 27 Januari 2025 hari libur. Pemerintah mematoknya sebagai hari libur nasional. Pada hari ini umat Islam memperingati “Israk dan Mikraj” Nabi Besar Muhammad SAW. Itulah yang menjadikan pegawai pemerintah dan swasta diliburkan. Ini bukan hanya terjadi tahun ini saja, tetapi berlangsung setiap tahun. Hari libur, hari besar umat Islam. Mereka yang nonmuslimpun menikmati hari ini untuk tidak bekerja di kantor. Hal yang sama juga berlaku bagi muslim pada hari besar nonmuslim. Itu semua diatur oleh pemerintah.

Esensi paling utama dalam prosesi Israk dan Mikraj Nabi Muhammad SAW adalah menerima perintah salat. Allah langsung memerintahkan kepada Muhammad SAW tanpa perantara, bahwa salat adalah kewajiban hamba-Nya. Satu di antara sekian esensi perjalanan nabi ke Sidratulmuntaha adalah menerima perintah itu. Oleh karena itu, salat menjadi ”tiang agama”. Hal itu pulalah yang menjadi fundasi paling dasar dalam keberagamaan seorang hamba Allah penganut Islam.

Hamba Allah SWT yang beriman dan bertaqwa melaksanakan salat bukan hanya sekedar kewaajiban. Akan tetapi, menjadi kebutuhan. Kebutuhannya untuk mengingat Allah ”aqimusalata lizikri”. Kebutuhannya agar tercegah dari perbuatan keji dan mungkar ”akimussalata, inassalata tanha anil fahsyai wal mungkar. Salat baginya adalah meminta pertolongan kepada Allah ”mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat”. Selain itu pula salat menjadi hal yang pertama yang dihisab kelak pada hari kiamat. Kalau salat baik, amalan yang lain akan ikut baik. Intinya, shalat adalah kebutuhan seorang hamba yang beriman dan bertaqwa.

Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar atau yang dikenal dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Al-Wabilush Shayyib atau al-Wabil as-Shayib” menuliskan lima tingkatan manusia dilihat dari kualitas salatnya. Kitab yang berisi motivasi dan panduan dalam meningkatkan zikir dan amal saleh itu membagi golongan orang salat dari yang terendah sampai yang tertinggi. Kelima Tingkat itu  dijelaskan seperti berikut ini.

Tingkat pertama adalah yang paling rendah. Mereka tidak memperhatikan kesempurnaan lahiriyah di dalam salatnya. Wuduk tidak sempurna, tidak menaati waktu salat, selalu terlambat, pakaian  salat tidak pantas, ini terlihat pada mereka yang terkategori golongan pertama. Selain itu, gerakan salatnya sangat cepat, tidak ada tumakninah, dan hampir semua rukun salat mereka langgar. Disebutkan oleh Ibnu Qayyim, bahwa golongan yang termasuk tingkat pertama ini adalah ”al-Mufrith” atau orang yang meremehkan salat.

Tingkat kedua lebih tinggi sedikit dari tingkat peretama. Pada tingkat ini, mereka sudah melakukan salat dengan baik dari sisi lahiriyah. Wuduknya sudah benar, salat tepat waktu, pakainnya sopan dan memenuhi adab, rukun dan gerakan salat terpenuhi. Akan tetapi, ketika salat pikirannya melayang-layang ke mana-mana. Persentase kekhusukannya sangat sedikit. Pikirannya lebih banyak teralihkan untuk urusan dunia atau urusan di luar salat. Sementara itu, mereka tidak berupaya fokus dan mengembalikan kekhusukannya ketika salat. Dia biarkan pikiran yang begitu terus-menerus.

Tingkat ketiga lebih baik dari tingkat kedua. Pada tingkat ini, salat mereka secara lahiriah sudah baik dan benar. Semua syarat dan rukun gerakan dan bacaan salat sudah terpenuhi. Sementara pikirannya masih belum fokus dan khusuk, tetapi mereka terus berupaya dan berjuang untuk tetap khusyuk. Hatinya berperang melawan godaan syetan yang membuyarkan kekhusukannya. Secara terus-menerus mereka berupaya agar kekhusukan tetap tercapai. Dikatakan Ibnu Qayyim, bahwa mereka mengerjakan salat sambil berjihad melawan was-was serta godaan syetan.

Tingkat keempat adalah mereka yang secara lahiriyah dan batiniyah salatnya sudah sempurna. Pikiran dan hatinya menghayati dan menyelami setiap gerakan dan bacaan salat. Hal itu mereka lakukan mulai dari takbiratul ihram sampai salam. Semua rukun telah mereka penuhi, tidak satu pun yang dilalaikannya karena memikirkan hal lain di luar salat. Tingkat ini lebih baik dari kategori tingkat ketiga. Akan tetapi mereka belum merasakan seutuhnya tengah berhadapan dengan Allah SWT.

Tingkat kelima adalah level tertinggi. Salat mampu meletakkan hati dan pikirannya di hadapan Allah Yang Maha Agung. Mereka benar-benar merasakan sedang berhadapan dengan Allah SWT. Bahkan mereka merasa bahwa jiwanya telah meninggalkan raganya. Dirinya hanyut dengan bermunajat kepada Rabnya yang Maha Rahman. Level salat pada tingkat kelima ini benar-benar salat para hamba yang mendapat hidayah khusus dari Allah SWT.

Selanjutnya, Ibnu Qayyim dalam kitab al-Wabil as-Shayib menyebutkan. Mereka yang berada pada tingkat atau level pertama akan dihukum, level kedua akan dihisab, level ketiga salatnya menjadi cara untuk memperbaiki kesalahan (kaffarah) baginya (mukaffar), level keempat mendapatkan pahala, dan level kelima adalah mereka yang mendekat Rabbnya (Mukarabbun). Level inilah yang salatnya menjadi penenang bagi jiwanya. Siapa yang menjadikan salatnya menjadi penenang   baginya di dunia, di akhirat mendapat ketenangan karena dekat dengan Rabbnya.

Pada posisi mana salat seseorang berada, tidak ada yang tahu, kecuali Allah dan hamba yang melakukannya. Salat yang dilakukan seseorang tidak mungkin dinilai oleh orang lain. Pada posisi mana dia berada, hanya dialah yang tahu. Hal ini sangat individual, sangat personal, bahkan orang terdekat dan paling dekat dengan kita pun tida akan dapat meletakkan posisi salat kita. Ya, hanya Allah dan yang melakukanlah yang tahu. Oleh karena itu, untuk penilaian dan perbaikan salat seseorang hanya yang bersangkutanlah yang tahu.

Membenahi salat adalah perjuangan. Setiap orang seharusnya melakukan itu. Perjuangan itu tidak ringan dan tidak selesai dalam tempo yang singkat. Perjuangan itu berat dan memerlukan waku. Pelatihan salat untuk sampai ke level lima, mungkin memerlukan waktu sepanjang hayat, ya, selama hidup. Terus dan terus diperjuangkan. Pada saat upaya dan perjuangan terus-terus dilakukan, hasilnya tentu dikembalikan kepada Allah Yang Maha Tahu dan Maha Pengasih dan Penyayang.

Upaya perjuangan itu tentu diawali dengan ilmu dan pengetahuan. Ilmu tentang gerakan salat dan bacaan salat. Ilmu tentang syarat, rukun, dan wajib salat harus terus-menerus dilepajari. Artinya, kita tidak cukup menggunakan ilmu dan pengetahuan salat yang dituntut pada masa  di surau atau masa belajar di sekolah saja. Hal yang kita terima pada masa-masa itu perlu diperluas dan diperdalam terus-menerus. Makanya Allah SWT dan rasulnya Muhammad SAW menyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib hukumnya. Jika mati dalam perjalanan atau pada saat menuntut ilmu, kematiannya dianggap sahid. Masya-Allah.

Ilmu yang didapat atau disempurnakan, diiringi dengan praktik. Praktik salat dilakukan dalam bentuk berlatih dalam salat. Berlatih untuk menerapkan atau mengimplementasikan ilmu tentang salat yang didapat. Mempraktikkan ilmu itu sama halnya dengan beramal. Jika praktik itu diiringi dengan niat karena Allah SWT, praktik itu ototomatis menjadi amal saleh. Apatah lagi kalau amal itu dilakukan dengan penuh keikhlasan karena Allah, maka kualitas salat akan semakin baik. Insya-Allah pada saatnya salat itu akan sampai ke level kelima seperti dikatakan oleh Ibnu Qayyim tersebut.

Mari kita jadikan salat menjadi kebutuhan. Kita raih dampaknya dalam kehidupan di dunia, kita rebut pahalanya untuk akhirat. Untuk itu, kita terus belajar salat sambil praktik. Terus mempraktikkan kaidah-kaidah salat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kita praktikkan sesuai dengan arahan para ulama, sehingga kelak kita berharap salat kita meningkat kualitasnya sampai ke level  kelima. Insya-Allah. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.

Manna, Bengkulu Selatan, 27 Januari 2025

Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber, di antaranya

  1. Sifat Shalat Nabi, oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
  2. Tafsir Shalat, Memahami Makna Gerakan dan Bacaan dalam Shalat oleh Ammi Nur Baits
  3. Al-Wabil as-Shayib (terj.), oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *