AKUI KEBERADAANNYA, BERIKAN HAK-HAKNYA,
ITU SUDAH MOTIVASI BAGI GURU
Oleh Zulkarnaini
Seorang guru datang ke suatu kantor di pusat kabupaten. Untuk dapat bertemu dengan seorang pejabat, ia harus menunggu berjam-jam. Pertemuan itu baru dapat dilaksanakan setelah antre panjang hampir setengah hari. Kesempatan guru untuk menyampaikan keinginannya hanya ia peroleh selama tiga menit, Pejabat yang bersangkutan meresponnya dua menit. Pada menit yang kelima, guru mendengarkan kalimat simpulan dari pejabat pendidikan itu. “Saudara boleh datang besok atau minggu depan, kami akan memprosesnya”.Guru keluar dari ruang ber-AC itu dengan berbagai rasa yang berkecamuk dalam batinnya.
Guru membatin. Guru merefleksi semua kejadian sejak ia berangkat dari rumah sampai bertemu dengan pejabat yang bersangkutan. Subuh ia menaiki mobil angkutan umum dari desanya. Ia mengajar di salah satu SD di desa paling ujung yang berjarak puluhan kilometer dari ibu kabupaten. Untuk urusan itu, ia harus meliburkan tiga puluh orang muridnya. Selain itu ia perlu mengeluarkan sejumlah uang untuk transpor. Belum lagi ia harus berdempetan di mobil angkutan umum dengan penumpang lain. Karena itulah satu-satunya mobil yang langsung ke dan dari desanya yang dipergnakan oleh semua penumpang. Sampai di kantor kabupaten ia harus menunggu selama empat jam karena pejabat yang akan ditemui sedang mnerima tamu. Akhirnya urusannya selesai dengan satu kalimat, “datang lagi besok atau minggu depan”.
Itu bukan hanya sekedar ilustrasi. Kejadian itu adalah pengelaman empiris. Banyak guru yang mengalami hal seperti itu jika berurusan ke kantor-kantor birokrasi. Pada hakikatnya guru tidak meminta hak-hak istimewa dalam pelayanan. Mereka juga tidak meminta pelayanan yang berlebihan. Akan tetapi, harapan guru adalah “pengakuan” atas eksistensinya. Pengakuan itu bukan sekedar verbalis, tetapi pengakuan yang diaktualisasikan dalam tindakan. Termasuk tentunya pemberian pelayanan yang layak jika guru beurusan.
Pengakuan masyarakat terhadap ekistensi profesi guru belum seimbang dengan pengakuan terhadap profesi lainnya. Pengakuan masyarakat terhadap profesi dokter, hakim, dan pengacara misalnya, jauh lebih tinggi dibadingkan dengan profesi guru. Seorang anak, jika ditanya tentang pekerjaan yang dipilihnya setelah dewasa, jawabannya bukanlah guru. Ia akan menjawab selain guru. Jika ada yang memilih profesi guru, jumlahnya sangat sedikit. Hal itu bukan hanya menyangkut dengan pengakuan atas keberadaan guru oleh masyarakat, tetapi juga imej masyarakat bahwa profesi guru bukanlah profesi yang menjanjikan.
Permasalahan yang dihadapi guru dalam menjalankan profesinya memang sangat banyak. Pada masa lalu, guru adalah wilayah yang empuk untuk sasaran segala pungutan. Pungutan sukarela, setengah wajib, wajib, dan bahkan pungutan paksa rela harus dibayar oleh guru. Dalam hal itu guru hanya pasarah karena semua saluran aspirasi sudah tersumbat, organisasi profesi seperti PGRI tidak bisa berbuat banyak, karena tingkat ketergantungannya kepada pengambil keputusan juga sangat tinggi.
Naik pangkat, naik gaji, rapel gaji, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kesejahteraan guru, juga tidak pernah sepi dari masalah. Untuk naik pangkat, mulai dari menghitung angka kredit, penetapan angka kredit, sampai diterimanya surat keputusan kenaikan pangkat, harus mengikuti liku-liku yang rumit. Bahkan kadang-kadang harus mengeleuarkan sejumlah uang untuk biaya administrasi. Untuk urusan yang begitu, guru juga harus siap mental utuk menunggu berbulan-bulan sampai bertahun.
Hal-hal yang seharusnya dapat selesai dua hari bisa menjadi dua minggu atau dua bulan. Hal-hal yang dalam pemikiran guru bisa mudah, ternyata dalam kenyataannya teramat sulit. Pengalaman pahit yang berhubungan dengan urusan kepangkatan tersebut, banyak dialami oleh guru. Hal itu juga sebagai bukti, keberadaan guru belum mendapat tempat yang layak di tengah-tengah masyarakat dan birokrasi.
Interfensi berlebihan terhadap wilayah tugas guru juga dirasakan. Bahkan interfensi itudirasakan sebagai “pencaplokan” terhadapap otoritas guru. Bentuk-bentuk interfensi itu antara lain pengawasan dan pemeriksaan ujian secara silang. Guru dari suatu sekolah harus mengawas peserta ujian pada sekolah lain. Seorang guru tidak dibenarkan memeriksa hasil ujian peserta didiknya, tetapi ia harus memeriksa hasil ujian peserta didik dari sekolah lain. Hal ini, pada dasarnya bukti lain dari ketidakpercayaan kepada guru. Tidak mempercayai guru dalam konteks itu sama halnya dengan pelecehan terhadap profesi guru. Kenyataan-kenyataan itu telah berlangsung, telah terjadi, bahkan mungkin akan tetap berlanjut.
Dalam dekade terakhir fenomena yang berkembang adalah “perebutan wilayah guru” . Guru bagaikan tidak lagi memiliki independensi pedagogis dalammelaksanakan tugas. Misalnya melakukan evaluasi atau penilaian terhadap hasil belajar pseserta didik. Dengan berbagai alasan, birokrasi pendidikan merasionalkan “perebutan wilayah” guru itu. Alasan yang diberikan mulai dari pengendalian mutu sampai dengan peningkatan mutu pendidikan. Masyarakat di luar guru dapat menerimanya, tetapi guru terpaksa menerimanya karena hal itu seperti kebijakan dari atasannya.
Bahwa menilai hasil belajar siswa adalah hak dan kewajiban guru, tertuang di dalam berbagai ketentuan. Ketentuan terakhir adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dinyatakan pada Bab XVI , pasal 58, ayat (1) sebagai berikut, “ Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.Dengan landasan undang-undang itu jelas bahwa menilai hasil belajar adalah hak guru, tugas guru, dan wilayah otorisasi guru. Akan tetapi “kebijakan” berkata lain, sehingga guru terpaksa mengurut dada. “Inilah bentuk pengebirian terhadap wewenangku”, kata para guru.
Tekanan, pemerkosaan hak, interfensi berlebihan, pelayanan yang buru, birokrasi yang berbelit-belit dan berbagai bentuk perlakuan jelek lainnya dialami oleh guru sepanjang waktu. Bahkan guru yang mau memasuki masa pensiun pun masih mendapat perlakuan takpantas itu. Hal itu menjadi keseharian guru, menjadi dinamika profesinya. Kemudian pengalaman-pengalaman tersebut mengkristal di dalam diri guru. Hal inilah yang selau menjadi keseharian, kesemingguan, kesebulanan, bahkan menjadi kenyataan itunya sepanjang masa dinas.
Membiarkan hal itu terus terjadi, berarti merusak sendi-sendi pendidikan secara mendasar. Guru harus memberikan pelayanan kepada peserta didiknya. Pelayanan yang diberikan harus dilandasi dengan kasih sayang. Akhir-akhir ini, guru justru harus memberikan pelayanan kepada anak secara individual. Sementara guru itu sendiri tidak mendapat pelayanan dari yang seharusnya melayaninnya. Hal yang kontroversi inilah yang akan merusak sendir-sendi pendidikan di negara ini. Artinya, jika pelayanan dan pengakuan terhadapprofesi guru tidak berubah ke arah yang lebih baik, sama halnya dengan menghancurkan pendidikan itu sendiri.
Jepang maju dalam segala hal karena gurunya mendapat pengakuan dan mendapat tempat terhormat. Seorang guru di Jepang berhak mendapat penghormatan dengan sejumlah rukukakan. Konon yang berhak mendapat hormar rukuk sampai tujuh kali itu hanya tiga kelompok saja. Ketiga kelompok itu ialah kaisar dan keluarganya, orang tua, dan guru. Guru. Begitu hebatnya bangsa Jepang menghargai dan menghormati guru. Oleh karena itu pulalah barangkali bangsa ini menjadi bangsa yang termaju di dunia. Di Malaysia, kabarnya, seorang guru yang baru diangkat akan didatangi oleh petugas bank. Guru mau mengambil kenderaan jenis apa untuk mendapatkan kredit. Guru diberi pelayanan untuk kelancaran tugasnya. Segala kebutuhannya dilayanni dengan sangat terhormat, karena itu pulalah negara tetangga itu kini telah sangat jauh meninggalkan Indonesia dalam hal pendidikan.
Usaha peningkatan mutu pendidikan pada dasarnya berada di tangan guru. Guru berada pada tataran terdepan. Meskipun saat ini teknologi komunikasi dan pendidikan semakin canggih, namun keberadaan guru di depan kelas masih diperlukan. Guru selain betugas sebagai pengajar, ia juga sebagai pendidik dan pelatih. Untuk tugas mengajar dan melatih dengan sasaran aspek kognitif dan psikomotorik, mungkin dapat digantikan oleh peralatan dan teknologi canggih. Akan tetapi untuk bidang mendidik, harus dilakukan oleh manusia profesional, itulah yang bernama guru.
Birokrat pendidikan hendaknya jangan terlalu menginterfensi guru. Percayailah guru-guru seperti para orang tua juga mempercayakan anak-anaknya kepada pendidik ini. Mengapa guru harus disilangkan dalam memeriksa dan mengawasi siswanya. Ini namanya penghinaan, pelecehan. Sama saja dengan ucapan, “Hai guru-guru, kami birokrat tidak lagi mempercayaimu, karena itu pengawasan dan pemeriksaan ujian harus disilangkan.”Berikanlah kepercayaan kepadanya sesuai dengan rambu-rambu yang ada. Jika ada yang memang menyalahi aturan, wajib ditindak. Tindak tegas. Mengembalikan kepercayaan kepada guru sama halnya dengan mengakui kembeli keberadaannya.
Wilayah guru jangan direbut oleh kebijakan. Apalagi kalau guru tahu bahwa wilayahnya itu sang menurut undang-undang dan ketentuan lain. Sejumlah peraturan perundang-undangan menegaskan, bahwa standar prestasi kerja guru adalah menyusun program, menyajikan program, menilai atau mengevaluasi, melakukan analisis hasil belajar, melakukan perbaikan dan pengayaan, serta mengembangkan profesi. Yang meyangkut dengan penilain hasil belajar biasanya direbut oleh kebijakan dengan berbagai alasa. Alasan itu sengaja dibuat-buat. Hal itu diketahui oleh guru. Mengapa ulangan umum semester harus dikoordinir oleh Dinas Pendidikan Kabupaten /Kota atau oleh lembaga lain? Guru sudah tahu jawabannya, karena ujian semacam itu telah dianggarkan di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Kalau begitu, mengapa tidak diserahkan saja anggaran itu ke sekolah, minta sekolah mempertanggung jawabkannya. Kecuali kalau ada hal lain di balik itu.
Mengingat tugasnya, keberadaan profesi guru hendaknya mendapat pengakuan seutuhnya dari masyarakat. Pengakuan itu bukan sekedar ucapan dalam pidato dan pengarahan. Akan tetapi, pengakuan itu hendaknya diaktualisasikan dalam tindakan. Penghargaan terhadap guru hendaknya diberikan secara proporsional oleh masyarakat. Jika urusan guru di kantor Dinas Pendidikan atau di Kantor Bupati/Wali Kota bisa selesai dalam dua jam, hendaknya oleh pegawai yang mengurus itu jangan dijaidkan dua hari atau dua minggi. Jika guru dapat diberi kemudahaan, mengapa harus dipersulit. Bukankah guru bertugas mendidik anak bapak-bapak dan ibu-ibu yang bertugas di kantor itu?
Mengakui keberadaannya, memberikan hak-haknya, dan memberikan pelayanan kepadanya dengan pantas, sudah merupakan motivasi bagi guru. Guru tidak menutut hal yang berlebihan. Mudah-mudahan ada yang mendengarnya pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2004 ini. Mudah-mudahan.
Padang, Zulkarnaini, Guru Teladan Satu Nasional tahun 1992. Kini Widyaiswara Madya di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Sumatra Barat)