PARADIGMA BARU PENGELOLAAN SEKOLAH

Oleh
Zulkarnaini
Widyaiswara Madya
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Barat
Departemen Pendidikan Nasional

zulk1

1. Pengantar

Otonomi daerah bergulir. Pemerintahan sentrlistik berubah menjadi desantrilistik. Hal-hal yang selama ini direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan oleh pusat, kini berpindah tangan ke daerah. Pemerintah kabupaten dan kota menjadi pusat pengendalian kegiatan yang diotonomikan. Pendidikan adalah salah satu sektor yang diotonomikan. Hingga pengurusan pendidikan secara teknis langsung di bawah penanganan pemerintah kabupaten dan kota. Lalu, pusat perannya apa? Pusat selain mendesain hal-hal yang menjadi wewenangnya dalam bidang pendidikan, ia juga meluncurkan hal-hal yang akademis teoretis dalam bidang pendidikan. Peluncuran itu menggema sampai ke sekolah-sekolah, dinas pendidikan kabupaten kota, dan dinas pendidikan provinsi.

Ada tiga versi model peluncuran yang terkait dengan bidang pendidikan. Versi itu meliputi versi yuridis, versi semi yuridis, dan versi akademis. Versi yudiris adalah peluncuran konsep yang diiringi dengan dasar hukum yang jelas. Misalnya, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, akreditasi sekolah. Versi semi yuridis adalah peluncuran konsep yang belum ada dasar hukumnya, tetapi diprediksi akan ada dasar hukumnya. Versi ini misalnya, kurikulum berbasis kompetensi atau kurikulum 2004. Versi akademis adalah konsep yang hanya semata-mata dilandasi oleh konsep akademis, dipredikasi tidak akan ada dasar hukum yang mengiringinya. Untuk versi ini misalnya pendidikan kecakapan hidup atau life skill education, pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and leraning. Tentu banyak contoh-contoh yang lain yang dapat ditampilkan untuk masing-masing versi itu.

Pada dasarnya, penawaran dari pusat itu sangat akomodatif. Pusat, khususnya Departemen Pendidikan Nasional, menawarkan berbagai alternatif kepada daerah untuk mengantisipasi berbgai kondisi. Departemen menawarkan berbagai pilihan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Penawaran ini, terutama yang bersifat akademis, benar-benar penawaran berupa alternatif. Hal ini pada hakikatnya merupakan penawaran paradigma. Sebahasakah pusat dengan daerah dalam kaitannya dengan penawaran ini? Inilah yang kadang-kadang perlu dipertanyakan terus-menerus.

Makalah sederhana ini membicarakan salah satu sisi dari paradigma itu. Sisinya ialah, bagaimana seharusnya daerah, khususnya sekolah menyikapi penawaran-penawaran itu. Diharapkan makalah ini menjadi landasan diskusi pada pertemuan ini.

Untuk memudahkan pemahaman, makalah ini dibagi atas tiga pokok pikiran. Ketiga pokok pikiran itu adalah: (1) konsep paradigma baru pendidikan; (2) beberapa penawaran pusat; (3) strategi menyikapi penawaran-penawaran tersebut. Dengan tiga pokok pikiran itu, mudah-mudahan makalah ini dapat menjalankan fungsinya sebagai landasan diskusi.

2. Paradigma Baru Pendidikan

Paradigma adalah kerangka berpikir (KBBI, 1999:648). Kerangka berpikir dapat diartikan sebagai pola berpikir. Makna paradigma kemudian berkembang dalam pemakaian sehari-hari. Perkembangan makna itu menjadi pola pikir dan pola tindak.  Dalam konteks ini, paradigma diartikan secara operasional sebagai pola berpikir dan pola bertindak. Bagian ini membicarakan konsep paradigma yang dikaitkan dengan pendidikan. Dikaitkan dengan pembaruan-pembaruan yang harus dan telah dilakukan di dalam dunia pendidikan.  Oleh karena itu, konsep yang dibahas adalah konsep paradigma baru pendidikan.

Paradigma baru pendidikan, dengan demikian adalah pola berpikir dan pola bertindak baru dalam pendidikan. Pola berpikir dan pola bertindak itu menyangkut dengan sikap, prilaku, dan tindakan dalam pelaksanaan  pendidikan. Jadi, paradigma baru pendidikan adalah “pola berpikir dan bertindak baru dalam memandang, menyikapi, dan melaksnakan pendidikan (Zulkarnaini, 2004)”.

Pola berpikir dan pola bertindak baru dalam memandang, menyikapi, dan melaksanakan pendidikan itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor itu meliputi faktor yuridis, faktor teoretis, dan faktor empiris. Dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum baru, seperti lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, akan dapat (dan seharusnya) mengubah paradigma. Perkembangan ilmu dan teknologi juga dapat (dan seharusnya) mengubah paradigma. Pengalaman empiris yang dilalui selama ini dalam dunia pendidikan, juga berpengaruh terhadap perubahan paradigma.

Perubahan paradigma itu ditujukan kepada setiap anggota masyarakat yang berkepentingan dengan pendidikan. Hampir semua orang berkepentingan dengan pendidikan. Untuk itu dapat dikelompokkan atas tiga kelompok. Kelompok pertama ada orang-orang yang mengurus dan menunjang pelaksanaan pendidikan. Kelompok ini disebut tenaga kependidikan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab I, pasa 1, ayat (5) menyatakan, ” Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan dianggakt untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.”

Kelompok kedua adalah pendidik. Pendidik menurut undang-undang ini pada  ayat (6) menyatakan, ” Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”.

Kelompok ketiga adalah pemakai atau pengguna jasa pendidikan. Kelompok ini adalah anggota masyarakat dan peserta didik. Mengenai peserta didik dinyatakan pada ayat (4) undang-undang ini, “Pesert adidik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.”

Tenaga kependidikan, pendidik, dan masyarakat pengguna jasa pendidikan seyogianya mengubah paradigmanya. Mengubah pola berpikir dan pola bertindaknya dalam memandang, menyikapi, dan melaksanakan pendidikan berdasarkan landasan yuridis, akademis, dan empiris. Perubahan paradigma itu hendaknya dilakukan dalam bahasa yang sama, dalam konteks yang sama, dan dari landasan yang sama pula. Dari sinilah diharapkan lahir kebersamaan dalam mengelola, melaksanakan, dan menindaklanjuti hasil pendidikan.

3. Penawaran

Konsep penawaran dalam konteks ini adalah hal-hal yang telah diluncurkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang berkaitan dengan pendidikan. Hal itu telah disampaikan ke daerah (dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten dan kota, dan sekolah). Penyampaiannya dilakukan dengan berbagai jalur atau cara. Sehingga hampir semua dinas pendidikan telah menerimanya. Seperti yang diungkapkan pada bagian pengantar, hal yang diluncurkan itu terdiri dari tiga versi, yaitu versi yuridis, versi semi yuridis, dan versi akademis. Tentu tidak semua penawaran itu yang dapat diungkapkan dalam makalah ini. Hanya sebagian kecil saja yang akan diungkapkan, yang mudah-mudahan dapat menjadi landasan diskusi pada hari ini.

Ada sejumlah penawaan pusat yang sangat menonjol dalam wacana pendidikan. Hal  itu antara lain adalah: (1) manajemen berbasis sekolah (MBS); (2) Pendidikan Berbasis Luas (BBE) dan Pendidikan Kecakapan Hidup (LSE); (3) Kurikulum Berbasis Kompetensi; (4) Pembelajaran Kontekstual (CTL); (5) Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan; (6) Akriditasi Sekolah; dan (7) Perubahan Cawu menjadi Semester; dan (8) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas.

Ketujuh penawaran yang diambil sebagai contoh ini meliputi ketiga versi yang disebutkan sebelumnya, yakni versi yuridis, versi semi yuridis, dan versi akademis. Banyak yang menarik dari penawaran itu. Dalam kegiatan diklat atau penataran, wacana itu menjadi materi pokok sajian. MBS misalnya, bukan hanya menjadi mata tataran, tetapi menjadi nama penataran, yaitu penataran “MBS”, dengan berbagai versi. Begitu pula halnya dengan BBE dan LSE, CTL, dan sebagainya. Pemerintah pusat, bahkan pula menyediakan dana untuk sosialisasi kegiatan itu. Sampai kini, dana itu masih mengalir ke dinas pendidikan dan ke sekolah.

Selain itu, pihak sekolah, pihak dinas pendidikan, malah kebingungan menghadapi penawaran-penawaran itu. Kebingungan memandang, menyikapi, dan melaksanakan. Akan tetapi, karena adanya dana pengiring, kebingungan itu pupus untuk sementara. Setelah dananya habis, kebingungan mucnul lagi. Bagaimana cara melanjutkannya, dan sejauh mana manfaatnya untuk peningkatan mutu, sukar dicarikan dan dijelaskan jawabannya.

Sementara itu pula, kebijakan daerah (pemerintah provinsi, kabupaten, kota) untuk mengimplementasikan luncuran departemen itu, juga tidak jelas dan tegas. Kadang-kadang hanya sekedar “perintah yang membabi buta” tanpa dilandasi oleh rujukan yuridis yang jelas. Hal ini malah membuat sekolah menjadi bertambah bingung, dan guru lebih bingung lagi. Nah, bagaimana seharusnya menyikapi luncuran itu? Inilah yang perlu didiskusikan secara intensif pada tataran sekolah, dinas pendidikan, pemerintah daerah, dan kalangan akademisi dan praktisi pendidikan daerah ini.

4. Strategi Menyikapi

Menyikapi “luncuran” Departemen Pendidikan Nasional ini memerlukan paradigma yang jelas. Paradigma yang jelas berarti pola berpikir dan pola bertindak yang jelas. Kejelasan itu meliputi jelas konsepnya secara akademis dan empiris, serta jelas rujukannya secara yuridis. Penetapan paradigma ini tidak dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja. Akan tetapi, semua pihak (tenaga kependidikan, pendidik, dan pemakai jasa pendidikan) haruslah memiliki paradigma yang sama. Dari kesamaan paradigma itu dapat ditetapkan sikap selanjutnya.

Langkah-langkah yang dapat ditempuh adalah: (1) mengidentifikasi versi luncuran; (2) mengkaji konsep, manfaat, dan penerapan setiap luncuran yang diidentifikasi; (3) menganalisis kondisi objektif lembaga (dinas pendidikan dan sekolah); (4) mempersiapkan pelaksanaan; (5) menetapkan hal-hal yang mungkin dilaksanakan. Dengan tahapan-tahan itu, diharapkan resiko negative dapat dihindari, sekurang-kurangnya dapat ditekan.

Mengidentifikasi versi luncuran, berarti menadai setiap jenis luncuran dari pusat itu. Penandaannya ditandai dengan tiga kelompok versi yang dijelaskan tedahulu, yakni versi yuridis, versi semi yuridis, dan versi akademis. Jika luncuran itu termasuk kategori versi yuridis, berarti lembaga atau sekolah tidak memiliki posisi tawar. Harus dilaksanakan. Apalagi kalau dasarnya sangat kuat seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan presiden. Akan tetapi, jika versinya bersifat semi yuridis, lembaga atau sekolah seyogianya mempertimbangkannya untuk dilaksanakan. Oleh karena, versi semi yuridis pada hakikatnya baru merupakan draf yang akan disempurnakan. Jika versinya akademis, seharusnya dikaji pula secara akadmeis. Kajian itu tentu menyangkut dengan manfaat dan aplikasinya.

Mengkaji konsep, manfaat, dan penerapan maksudnya adalah berusaha memahami setiap luncuran yang diterima. Memahami konsep setiap luncuran yang diterima sangat penting dilakukan. Hal itu untuk menghindari salah pemahaman, salah pelaksanaan, yang kemudian akan berakibat fatal dan beresiko besar. Memahami konsep berarti memahami arti dari segala dimensinya. Setelah konsep dipahami, dikaji manfaatnya. Jika memang ada manfaatnya tentu perlu dipikirkan pelaksanaannya. Jika manfaatnya tidak ada, tidak perlu susah-susah memikirkan penerapannya. Akan tetapi, jika manfaatnya ada, inisiatif, kreativitas, dan usaha untuk melaksanakannya perlu dirancang.

Mengkaji kondisi objektif sekolah, berarti melihat potensi sekolah untuk melaksanakan luncuran. Potensi sekolah perlu dilihat sekurang-kurangnya tiga kelompo. Ketiga kelompok itu adalah sumberdaya manusia, sumberdaya sarana dna prasarana, dan semuberdya dana. Sumberdaya manusia meliputi guru, siswa, orang tua, dan komite sekolah. Sumberdaya sarana dan prasarana yakni semua yang dibtuhkan untuk pelaksanaan luncuran itu. Sumberdaya dana meliputi sumber dana, dana yang bias diadakan, dan dana yang dapat diusahakan.

Mempersiapkan pelaksanaan berarti mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan luncuran itu. Segala sesuatu itu juga berkaitan dengan ketiga kelompok kondisi sekolah di atas. Persiapan dari segi sumberdaya manusia, dari segi sarana dan prasarana, dan dari segi dana. Jika persiapan ini telah selesai, ditetapkan hal yang mungkin dilaksanakan dari sekian banyak luncuran itu.

Strategi menyikapi ini pada dasarnya diperlukan untuk semua hal. Termasuk yang berhubungan dengan luncuran ini. Ini dimaksutkan agar jangan timbul kesan “asal jadi” atau “daripada tidak”. Untuk dunia pendidikan hal seperti itu sebenarnya tidak boleh terjadi. Oleh karena, pendidikan menyangkut dengna nasib manusia satu generasi. Katakanlah saat ini, kita meneriam semua luncuran yang ditawarkan pusat dengan cara “membabi buta”, pelaksanaannya tidak sesuai dengan ancangan atau acuan pusat, resikonya ada pada peserta didik, pada masyarakat. Konsekuensi logis yang dihadapi adalah “korban” satu generasi akibat kecerobahan. Tentu hal ini tidak boleh terjadi.

5. Simpulan

Makalah sederhana ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • (1) Paradigma baru pendidikan adalah pola berpikir dan pola bertindak baru dalam memandang, menyikapi, dan melaksanakan pendidikan. Paradigma itu harus dimiliki oleh sekurang-kurangnya tiga kelompok orang. Ketiga kelompok itu adalah tenaga kependidikan, pendidik, dan masyarakat pemakai jada pendidikan.
  • (2) Ada tiga versi luncuran pusat ke daerah dalam bidang pendidikan. Ketiga verrsi itu adalah versi yuiridis, versi semi yuridis, dan versi akademis. Versi yuridis adalah versi yang sudah diiringi dengan landasan hokum yang jelas. Versi semi yuridis adalah versi yang diasumsikan akan disusulkan landasan hukumnya kemudian. Versi akademis, adalah luncuran yang bersifat teori akademis belaka.
  • (3) Luncuran pusat itu perlu disikapi secara strategis oleh lembaga atau sekolah. Strategi alternative yang dapat dilakukan adalah: (1) mengidentifikasi versi luncuran; (2) mengkaji konsep, manfaat, dan penerapan luncuran; (3) mengkaji kondisi obejektif sekolah yang meliputi sumberday manusia, sarana prasarana, dan dana; (4) mempersiapkan pelaksanaan; dan (5) menetapkan hal yang akan dilaksanakan.

Padang, Februari 2009

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *