Seorang pejabat pendidikan bereselon berpidato di hadapan pertemuan resmi. Yang hadir di dalam acara tersebut hampir semua pengambil keputusan bidang politis dan teknis di daerah itu. Isi pidatonya menyatakan bahwa Dinas Pendidikan daerah itu benar-benar sudah siap untuk melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi. Sang pejabat memberikan berbagai argumen atau alasan yang mendukung kesiapannya. Dinyatakannya juga bahwa sarana pendukung sudah lengkap, sumberdaya manusia telah mendapat pelatihan, dan sumber daya dana pun amat mendukung. Tentu saja disana-sini dia juga menjelaskan perihal keunggulan kurikulum berbasisi kompetensi dan kelemahan kurikulum sebelumnya.
Selesai berpidato, pejabat yang bersangkutan mendapat tepuk tangan yang meriah. Dia kembali ke tempat duduknya. Semua orang mengulurkan tangan kepadanya. Termasuk saya sebagai orang yang diundang untuk berbicara (narasumber) mengulurkan tangan pula kepadanya. “Selamat!” ucap saya.
Ketika acara isitirahat, saya berbincang-bincang dengan pejabat tadi. Terlontar pertanyaan saya tentang jumlah dana yang disediakan untuk pengadaan perangkat keras dan perangkat lunak komputer. Yang bersangkutan agak kaget. Akhirnya dia menjawab, bahwa untuk itu belum direncanakan dan dianggarkan tahun ini. Saya tidak melanjutkan pertanyaan berikutnya. Saya takut kalau-kalau yang bersangkutan tersinggung. Tetapi saya sudah maklum, pertanyaan itu membuat dia merasa serba salah. Tentu saja ada hubungan dengan isi pidatonya yang menyatakan “benar-benar siap” melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi.
Kurikulum berbasis kompetensi belum wajib dilaksanakan. Saat ini baru tahap uji-coba. Untuk uji-coba dipilih sejumlah sekolah sebagai piloting. Sekolah piloting ditetapkan oleh Departemn Pendidikan Nasional melalui berbagai kegiatan proyek. Jumlah sekolahnya bervariasi untuk tiap kabupaten kota. Sekolah-sekolah itulah yang ditunjuk untuk mengujicobakan program kurikulum berbasis komepetnsi. Artinya, tidak semua sekolah di suatu kabupaten atau kota diwajibkan melaksanakan KBK. Akan tetapi, dalam kenyataannya, seperti pidato pejabat eselon tadi. Seolah-olah pelaksanaan KBK di suatu daerah bagaikan prestasi bagi sang pejabat, bagaikan kebanggan bagi penguasa, dan bagaikan prestise mahal bagi pengambil keputusan bidang pendidikan.
Salah satu mata pelajaran dalam KBK adalah Teknologi Informasi dan Komunikasi. Mata pelajaran itu sepenuhnya memerlukan alat pelajaran perangkat lunak dan perangkat keras komputer. Tanpa komputer, pembelajaran tidak dapat dilaksanakan. Kalau pun dilaksanakan tanpa komputer, pebelajar hanya akan mendapat teori-teori. Padahal yang dibutuhkan dalam mata pelajaran itu adalah pebelajar langsung berhadapan dengan perangkat komputer. Jadi, pidato yang menyatakan “benar-benar siap” melaksanakan KBK berubah kedudukan dari prestasi, prestise, dan kebanggaan menjadi “pidato pembohongan publik”.
Awal tahun pelajaran 2004 – 2005, saya membaca di surat kabar terbitan daerah. Seorang kepala SMA di daerah ini menyatakan bahwa sekolahnya benar-benar siap melaksanakan KBK. Segala sesuatu telah dipersiapkan. Sarana, prasarana, sumber daya manusia, dana, dan sebagainya sudah tersedia. Dua hari setelah berita itu saya baca, salah seorang guru sekolah itu mencari saya. Guru tersebut meminta kepada saya supaya membantunya menyediakan perangkat kurikulum berbasis kompetensi untuk difotokopikan. Saya hanya bertanya dan minta penjelasan tentang berita surat kabar itu. Guru yang kebetulan saya kenal itu mengatakan, yang diucapkan kepala sekolah di surat kabar itu tidak semuanya benar.
Untuk melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi sebenarnya banyak hal yang diperlukan. Di antaranya adalah pemahaman paradigma kurikulum. Paradigma (pola berpikir dan bertindak) kurikulum berbasis komptensi berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Ada beberapa motto yang tertuang di dalan draf (sampai saat ini belum ada peraturan Mendiknas) KBK. Motto itu antara lain adalah “memberikan pelayanan optimal, adil, dan merata” kepada setiap siswa. Untuk melaksanakan motto umum itu dibuat motto yang lebih spesifik yakni “pembelajaran klasikal, pelayanan individual”. Supaya hal itu dapat terlaksana, guru harus mengubah “kegiatan mengajar” menjadi “kegiatan belajar” (mengubah teaching menjadi learning)
Supaya guru dapat melaksanakan paradigma itu, ada sejumlah dokumen kurikulum yang harus dimiliki, dibaca, dan dipahami guru. Dokumen itu meliputi Kerangka Dasar Kurikulum, Daftar Standar Kompetensi, dan sejumlah Pedoman Pelaksanaan. Ketiga dokumen itu merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanakan kurikulum. Jika di suatu sekolah pedoman-pedoman tersebut belum ada, KBK tidak akan dapat dilaksanakan. Jika hanya sebagian saja yang ada, KBK tidak akan terlaksana secara utuh. Jika kemudian sekolah menyatakan bahwa dia sudah siap, itu juga namanya pembohongan. Jika di suatu kabupaten atau kota, para pejabat teknis yang mengurus pendidikan belum mengenal dokumen-dokumen itu, kemudian dia menyatakan benar-benar siap, tentu juga termasuk pembohongan publik.
Berturut-turut disiarkan melalui surat kabar Jakarta. Kurikulum 2004 “urung” dilaksanakan. Kurikulum 2004 berganti nama menjadi kurikulum 2006. Kurikulum 2006 akan dirampingkan. Isinya tidak sepadat kurikukum 2004. Kewenangan dan kebebasan guru tidak boleh dikebiri. Pernyataan-pernyataan itu sebenarnya tidak perlu mengagetkan atau mencengangkan bagi orang yang mengetahui. Akan tetapi, amat mengejutkan bagi yang tidak paham dan mengerti. Masalahnya terletak pada eksistensi kuriulum 2004. Kurikulum 2004 merupakan kurikulum ujicoba, tidak harus semua sekolah melaksanakan. Sebagai barang uji coba, kurikulum itu belum memiliki label yuridis. Belum ada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang mengaturnya. Jika sudah ada dokumen, sifatnya masih draf, belum final.
Kenyataannya, masyarakat sekolah, termasuk para pejabat dan pengmabil keputusan di Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten, dan Kota menganggapnya lain. Seoalah-olah kurikulum uji coba itu telah wajib dilaksanakan. Sehingga terjadilah kasak-kusuk di mana-mana untuk melaksanakan kurikulum 2004. Pada saat kasak-kusuk itu terjadi, lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. PP itu menyatakan, standar isi kurikulum ditentukan oleh Badan Sntandar Nasional Pendidikan (BSNP). Kemudian disahkan oleh Menteri Pendidikan Naisonal. BNSP pun bekerja. Hasilnya adalah kurikulum 2006. Orang-orang yang tidak mengerti pun menjadi ribut, kaget, dan terkejut.
Sekolah yang bukan piloting pelaksanaan KBK tetapi telah melaksanakannya, kini mulai bertanya-tanya. Bagaimana nasib pelaksanaan kurikulum ini? Siapa yang bertanggung jawab secara hukum (yuridis)? Oleh karena, pelaksanaannya tidak memiliki dasar hukum sedikit pun. Pelaksanaannya hanya didasari atas anjuran lisan dari para pemegang proyek yang memberi bantuak ke sekolah itu. Kepala sekolah diundang mengikuti penataran. Di arena penataran itu ia mendapat informasi. Jika sekolah memperoleh dana proyek ini dan dana proyek itu, ia wajib melaksanakan KBK. Mengapa wajib? Apakah KBK sudah sah sebagai kurikulum? Apakah sudah ada dasar hukum yang mendukungnya? Hal itu tidak pernah ditanyakan karena dana proyeknya segera cair.
Ada juga sekolah yang bukan piloting memiliki alasan yang khas. Alasan “takut tertinggal”. Kalau tidak melaksanakan KBK, bisa dianggap “ketinggalan zaman”. Atau bisa dianggap tidak inovatif dalam dunia pendidikan. Pada saatnya bisa ditegur oleh yang bekompeten. Atau mungkin disisihkan di kabupaten atau kotanya. Akhirnya sang kepala sekolah “nekad” melaksanakannya. Kenekadan itu kini membuahkan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu pada dasarnya tidak perlu dijawab karena merupakan deretan kekeliruan dalam manajemen pendidikan. Deretan kealpaan dalam mengambil keputusan.
Kenyataan itu terjadi hampir di setiap kabupaten dan kota di daerah ini. Mungkin saja pejabat yang berwenang di dinas pendidikan pernah ikut menganjurkan pelaksanaan KBK di semua sekolah di daerahnya. Kini reaksi apa yang harus ia tampilkan? Apa komentarnya? Hiburan apa yang harus diberikan kepada sekolah yang melaksanakan KBK atas anjurannya. Obat penawar apa yang harus diberikan kepada peserta didik dan masyarakat yang telah sangat kecewa atas pelaksanaan KBK yang “bagalemak peak” itu? Mungkin ribuan pertanyaan dapat dilontarkan. Tentu saja pertanyaan itu tidak untuk dijawab.
Pelaksanaan kurikum diatur dengan secara bersistem. Kurikulum yang sah biasanya ditetapkan dengan peraturan atau keputusan menteri. Peraturan atau keputusan menteri itu biasanya berlandaskan kepada peraturan pemerintah. Dan peraturan pemerintah itu bersandar kepada undang-undang. Draf kurikulum berbasis kompetensi yang kemudian diberi label kurikulum 2004 disosialisasikan di daerah pertengahan 2001. Saat itu disebut dengan istilah “sosialisasi dan validasi”. Pembaharuan kurikulum itu berlandaskan kepada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004. Secara bertahap draf kurikulum itu terus disempurnakan sampai saat ini.
Tahun 2003 ditetapkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kelahiran undang-undang itu membuat posisi draf kurikulum serba sulit karena dasar penyusunannya adalah GBHN 1999 – 2004. Tahun 2005 baru lahir satu Peraturan Pemerintah sebagai jabaran dari undang-undang itu, yakni Pertaturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Di dalam peraturan itulah dicantumkan bahwa kurikulum nasional diajukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) kepada Menteri Pendidikan Nasional. Dengan demikian, posisi draf KBK yang diberi label kurikulum 2004 semakin rumit.
Kabarnya, BSNP telah menyelesaikan standar ini kurikulum berbasisi kompetensi yang diberi label kurikulum 2006. Usulan itu telah disampaikan kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk diberi label yuridis atau disahkan. Jika hal itu disahkan oleh menteri, berarti landasan yuridisnya sudah jelas. Undang-undang yang memayunginya sudah ada, perturan pemerintahnya sudah ada, dan tentu ditunggu peraturan menterinya. Tentu saja begitu pertauran menteri dikeluarkan bukan berarti kurikulum langsung dapat dilaksanakan. Masih diperlukan sosialisasi, masih dibutuhkan sekolah piloting, masih dibutuhkan banyak hal lagi.
Berdasarkan pengalaman itu, kita – pejabat pendidikan – praktisi pendidikan hendaknya menjadi orang yang arif. Jangan terlalu cepat dan bernafsu melakukan sesuatu tanpa ditilik dasar-dasar hukum yang melandasinya. Jangan terlalu banyak dipengaruhi oleh nuansa poitik dalam mengambil keputusan. Oleh karena, dunia pendidikan adalah dunia yang menentukan nasib anak bangsa. Jika salah-salah mengambil kebijakan, melaksanakan kebijakan, bayarannya akan sangat mahal. Bayarannya ialah teraniayanya satu generasi. Bayangkan kalau kini KBK tanpa label hukum telah dilaksanakan dua tahun, berarti dua generasi akan menanggung resikonya. Hal itu tidak karena kekurangpiawaian para birokrat pendidikan mengambil keputusan, kekurangmahiran para praktisi pendidikan melaksanakan kebijakan. Semoga. (Zulkarnaini Diran, pemerhati dan praktisi pendidikan, tinggal di Padang)