MEMAHAMI DUNIA PENDIDIKAN

Oleh Zulkarnaini Diran

 Seorang anggota dewan (baca: DPRD) yang terhormat pernah bertanya kepada seorang kepala dinas pendidikan. Hal itu terjadi pada suatu pemerintahan kota. Pertanyaannya sederhana, ”Apa kontribusi pendidikan terhadap APBD?”  Cerita ini saya dapat dari seorang rekan yang menjadi kepala dinas pendidikan. ”Saya hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu”, katanya.

Suatu hari seorang pejabat teras di pemerintahan kabuaten mengadakan komprensi pers. Ia mengekspos perihal mutu pendidikan di daerah itu kian meningkat. Hal itu terbukti dengan meningkatnya angka kelulusan dari tahun ke tahun. Tentu saja sang pejabat memberikan angka-angka dan persentase seperti yang disodorkan oleh dinas pendidikan. Ketika wartawan bertanya indikator mutu pendidikan, pejabat spontan menjawab, indikatornya adalah angka kelulusan.

Seorang kepala pemerintahan kota di daerah ini meneriakkan bahwa kotanya adalah kota pendidikan. Teriakannya tentu saja diiringi dengan argumen yang logis, wajar, patut, dan pantas. Semua aset yang memungkinkan kota itu menjadi kota pendidikan dibilang oleh sang wali kota satu-persatu. Publik pun yakin. Mimpi itu akan menjadi kenyataan. Apalagi kalau pemilihan wali kota yang kedua tahun depan juga wali kota sekarang yang dipilih. Beberapa hari kemudian seorang wartawan daerah mewawancarai sang wali kota perihal pencanangan kota pendidikan yang terkait dengan biaya sektor pendidikan tahun ini. Wali kota menjawab, saat ini baru bisa dianggarkan di bawah lima persen.

Kontribusi pendidikan terhadap APBD, indikator mutu adalah angka kelulusan, dan pemerintah kota ”kota pendidikan” menganggarkan untuk sektor pendidikan di bawah lima persen adalah fenomena  menarik untuk dikaji dalam memahami dunia pendidikan. Jika dunia pendidikan diminta berkontribusi terhadap APBD, tentu amatlah naif bagi orang yang memahami pendidikan. Jika angka kelulusan yang dianggap sebagai indikator mutu pendidikan suatu daerah, amatlah menggelikan bagi orang yang mengerti pendidikan. Jika kota dicanangkan sebagai kot pendidikan, APBD-nya menganggarkan di bawah lima persen, adalah suatu kelucuan bagi orang yang mengenal secara intens dunia pendidikan.

Pemahaman-pemahaman keliru tentang dunia pendidikan banyak bermunculan. Hal itu semakin kentara setelah penanganan pendidikan didesentarlisasi. Kadang-kadang sektor pendidikan dianggap sama dengan sektor lain seperti pertanian, perdagangan, pertambangan, dan sebagainya. Oleh karena dianggap sama, maka perlakuan terhadap dunia pendidikan juga dipersamakan dengan sektor lain itu. Perlakukan-perlakuan itu yang kadang-kadang terlihat janggal, aneh, dan menggelikan bagi dunia pendidikan yang memang selama ini lebih banyak ditangani oleh pemerintah pusat.

Kontribusi kepada APBD atau kepada sektor lain dalam jangka pendek, tidak  akan diperoleh dari dunia pendidikan. Sektor pendidikan adalah investasi jangka panjang. Kegiatan hari ini baru dapat dilihat dan dinikmati hasilnya sepuluh atau dua puluh tahun kemudian. Anak-anak yang belajar di sekolah hari ini, baru akan dapat dilihat hasilnya di dalam masyarakat setelah mereka sampai ke terminal akhir pendidikan. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, barulah awal untuk melihat hasil. Jika hari ini dilakukan dan hari ini hasilnya diharapkan, tentu sesuatu yang mustahil.

Angka kelulusan atau persentase kelulusan dianggap sebagai indikator utama mutu pendidikan agaknya perlu pengkajian ulang. Pada hakikatnya angka kelulusan belumlah menggambarkan mutu pendidikan di sekolah. Apalagi kalau kelulusan itu hanya mempedomani beberapa mata pelajaran yang dijadikan ujian nasional. Kemampuan peserta didik mengapresiasi seni belum terwakili oleh angka kelulusan ujian nasional. Kompetensi siswa berolah raga belum terlihat pada angka-angka yang diperoleh dari ujian nasional. Kemampuan siswa besosialisasi dengan teman sebayanya, dengan gurunya, dan dengan masyarakat sekolah pada umumnya, belum terdeskripsi dari hasil ujian nasional. Kreatifitas, aktivitas, keunggulan seni, keunggulan sosial, keunggulan individual belum dapat dibaca dari hasil ujian nasional. Dengan demikian angka kelulusan bukanlah gambaran nyata yang holistik dari mutu pendidikan.

Memahami dunia pendidikan dapat dimulai dari tiga sudut pandang. Ketiga sudut pandang itu adalah yuridis, teoretis, dan empiris. Sudut pandang yuridis ialah sudut pandang berdasarkan hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sudut pandang teorestis adalah sudut pandang kajian-kajian teori keilmuan, dan sudut pandang empiris adalah berdasarkan kajian pengalaman nyata. Pengalaman nyata itu menampilkan data dan fakta yang autentik. Jika pendidikan dilihat dari ketiga sudut pandang itu, tentulah pemahaman terhadap pendidikan akan komprehensif.

Kacamata yuridis dapat dijadikan acuan keberhasilan pedidikan. Ada delapan standar nasional pendidikan sebagai pedoman. Semakin dekat proses dan hasil pendidikan dengan stnadar-standar itu, semakin berhasillah pendidikan. Sebaliknya, jika semakin jauh dari standar tersebut semakin berat pejuangan untuk memajukan pendidikan. Acuan utama yuridis itu telah diatur oleh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dalam Peraturan Pemrintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005. Kemudian, setiap standar secara teknis telah dilengkapi dengan Peraturan Menteri Pendidikan. Jadi, dari segi yuridis, untuk memahami pendidikan tidak ada jalan lain selain memahami delapan sandar nasional pendiidkan.

Kacamata teoretis dapat dijadikan ukuran capaian dunia pendidikan. Kacamata ini merupakan ukuran tentative. Wilayahnya adalah wilayah teori yang sifatnya labil. Hari ini teori ini mengatakan bahwa keberhasilan pendidikan seperti ini, namun besok terjadi perubahan karena ada teori baru yang sudah dikembangkan. Namun demikian, secara teoretis tentu dapat didefinisikan konsep-konsep keberhasilan pendidikan berdasarkan aliran tertentu atau kombinasu dari sejumlah aliran.

Kacamata empiris mungkin yang paling tepat untuk dijadikan ukurang keberhasilan untuk mendukung dua kacamata yang lain. Kacamata empiris akan memperlihatkn fakta-fakta nyata, data-data ril, bukti-bukti autentik bahwa beginilah kebrhasilan pendidikan. Pendidikan di suatu daerah dianggap maju, berhasil, dan hebat karena satu atau dua orang atau gurunya beprestasi di tingkat nasional atau internasional. Benar menurut fakta. Akan tetapi fakta lain mengatakan bahwa angka purtus sekolahnya ternyata sangat tinggi. Kacamata ini dapat mengontrol dua pandangan kacamata di atas.

Tidaklah dinafikan kalau pendidikan di satu daerah (baca: kabupaten atau kota) merupakan prestasi dan prestise pemerintah daerah atau kepala daerah. Akan tetapi mengatakan bahwa itu prestasi atau prestise secara berlebihan akan mengesankan ternjadinyo pembohongan publik. Sesuatu keberhasilan digambarkan secara bombastis dan berlebihan kemudian dipublikasikan melalui media massa, dapat menimbulkan kessan kontroversi dengan kenyataan. Masalahnya adalah masarakat melihat fakta-fakta empiris di lapangan. Samalah halnya baru-baru ini kota Padang mendapat penghargaan sebagai “kota layak anak” dan masyarakatpun bereaksi.

Pemahaman konfrehensif terhadap dunia pendidikan akan menumbuhkan apresiasi terhadap pendidikan berserta elemen-elemen pendukungnya. Pemahaman terhadap kompleksnya masalah di sekolah misalnya, akan menubuhkan apresasi terhadap kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai tatausaha sekolah. Tentu kita akan terhindar dari pikiran menghujat, menyalahkan, dan memarjinalkan personal pendidikan terdepan itu. Pemahaman secara konfrehensif terhadap dunia pendidikan oleh para pejabat, politis, dan penyandang kepentingan lainnya sangatlah diperlukan agar kita tidak salah kaprah mengurus investasi yang mahal ini. Semoga. (Zulkarnaini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *