DILEMA GURU

Oleh Zulkarnaini Diran

Guru dalam dilema. Sekurang-kurangnya ada dua dilema besar yang dihadapinya. Kedua dilema itu adalah dilema eksternal dan dilema internal. Dilema eksternal berasal dari luar diri guru atau dari lingkungan sekitar guru. Dilema internal bersumber dari diri guru itu sendiri. Diperlukan  antisipasi dan solusi konkret untuk menghadapi kedua dilema itu, baik oleh guru maupun oleh institusi yang mengurus guru.

Seorang rekan bertanya kepada saya. “Zul, menurutmu apakah kita bersungguh-sungguh mengurus guru?” Sulit saya menjawabnya. Oleh karena, rekan ini adalah orang yang memegang pucuk pemimpin tertinggi bidang pendidikan di kabupatennya. Pertanyaan itu dia jawab sendiri, “Rasanya kita belum mengurus guru, belum bersungguh-sungguh mengurus guru, makanya hampir tiap hari ada keluhan guru atau keluhan tentang guru”, katanya merefleksi diri. Inilah dilemma ekternal.

Ambillah contoh kasus sederhana. Tunjang profesi guru. Jika jam megajar tidak cukup 24 jam tatap muka, tunjangan yang menjadi harapan guru itu tidak dibayarkan. Guru yang sangat bernafsu berupaya mencari jam ke sana ke mari. Mengemis ke sekolah-sekolah swasta atau sekolah lain yang letaknya jauh dari tempat tinggal. Guru yang menyadari bahwa mencari jam bukanlah tugasnya, dia masabodoh saja. Tidak cukup jam, tidak dibayar tunjangan ya, sudah. Begitu dia berpikir.

Kalau jam mengajar guru tidak cukup 24 jam, siapa yang paling bertanggung jawab? Jika ditelusuri regulasi yang ada dan logika buruh-majikan, masalahnya ada pada yang “berwajib”. Yang berwajibnya adalah pemerintah daerah. Wakil pemerintah daerah yang mengurus pendidikan adalah dinas pendidikan setempat. Jika guru belum atau tidak memenuhi jam yang ditetapkan, yang bertanggung jawab tentu kepala dinas pendidikan. Bukankan kepala dinas pendidikan “juragan atau majikan” pendidikan di daerahnya, sementara guru adalah buruh yang siap mengerjakan pekerjaan yang diberikan juragannya.

Itu hanya salah satu contoh dari dileman yang dihadapi guru. Dilema ekternal lain yang terkait dengan pembagian jam mengajar ialah penumpukan guru di pusat kota. Di sekolah tertentu guru mata pelajaran tertentu menumpuk. Faktornya banyak. Guru sudah cukup dan pas padamulanya, tetapi ada guru yang pindah dari daerah, ikut suami. Suaminya orang penting di suatu instansi, sang istri yang guru ikut pindah. Kepala sekolah wajib menerima kehadiran guru yang bersangkutan di sekolahnya. Jika berani menolak, “wah berbahaya”. Kenyataan seperti itu terjadi hampir di setiap ibukota provinsi, ibukota kabupaten/kota. Ini bentuk dilema ekternal yang sulit dicarikan solusinya oleh para juragan pendidikan.

Dilema internal adalah masalah kompetensi. Setelah uji kompetensi guru beberapa waktu yang lalu, secara nasional hasilnya sangat mengecewakan. Sebagian besar guru tidak mampu mencapai standar minimal yang ditetapkan. Guru kecewa atas kompetensinya. Di balik kekecewaan guru itu muncul cercaan kepadanya. Guru tidak kompeten padahal sudah disertifikasi. Anehnya, cercaan datang dari kalangan birokrat pendidikan dan perguruan tinggi. Ini dilema lagi.

Jika guru belum mencapai kompetensi yang diharaapkan tentu ada variabel yang berpengaruh. Di antara variable itu adalah “dapur” yang “memproduksi” guru dan “pemakai” jasa guru. Jika suatu produk gagal dalam pemakaian, berarti pabrik yang memproduksinya pantas dicurigai. Jika jasa guru telah dipakai kemudian kompetensinya kurang, berarti pemeliharaan dan perawatan produk tidak intensif. Jika perguruan tinggi yang menghasilkan guru ikut mencerca berarti, “manapuak aia di dulang”. Kalau birokrat pendidikan yang menjadi “pelayan guru” yang mencerca berarti “mancabiak baju di dado”. Bukankah di Minangkabau ada pantun kilatnya, “sasalah-salah limbek, salah ikan kalang – sasalah-salah nan ketek, salah juo nan gadang” atau “sasalah-salah guru ketek, salah juo guru gadang”. Itu kalau logika Minangkabau.

Mencerca, menuding, memojokkan, apalagi kalau sampai “menghina”, bukanlah solusi dari permasalah ekternal dan internal guru. Hal penting mungkin adalah mengubah pola pikir dan pola bertindak (paradigma). Pola sederhana untuk masalah ektenal guru adalah pola pelayanan. Birokrat pendidikan diberi tugas oleh negara untuk melayani pendidikan. Logikanya sederhana, “kepala dinas melayani kepala sekolah, kepala sekolah melayani guru, dan guru melayani peserta didik”. Bukan sebaliknya, “kepala dinas mencerca kepala sekolah, kepala sekolah mencerca guru, dan guru mencerca peserta didik”. Akhirnya dunia pendidikan bukanlah dunia pelayanan, melainkan dunia cercaan.

Masalah kompetensi guru harus dicarikan solusinya. Misalnya kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan perlu ditinjau. Kompetensi dosen di LPTK perlu dilihat. Proses pembelajaran untuk calon guru perlu dikaji. Perbaikan sikap, mental, dan kepribadian selama mengikuti pendidikan keguruan perlu direfleksi. Bagaimanapun “pabrik” pastilah sangat berpengaruh terhadap “produk”.

Pembinaan guru oleh instansi terkait sangatlah diperlukan untuk meningkatkan komepetnsinya. Pembinaan tersebut telah diatur oleh banyak regulasi. Misalnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41/2007 tentang Standar Proses. Dikatakan, perlu dilakukan pengawasan dalam proses pembelajaran. Pengawasan itu meliputi pemanatauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Hal yang diawasi mencakup kegiatan guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses pembelajaran. Untuk pengawasan ini menjadi tugas kepala sekolah dan pengawas sekolah. Pengoptimalan fungsi pengawasan oleh dinas pendidikan adalah salah satu solusi untuk meningkatkan komepetensi guru.

Dilema ekternal dan internal yang dihadapi guru akhir-akhir ini ternyata berkulindan dengan fungsi-fungsi lain. Oleh karena itu membantu guru dengan cara melayaninya dengan etis dan ikhlas jauh lebih bermanfaat daripada mencercanya. Apalagi kalau sempat keluar ucapan di media massa dengan nada “mengancam” guru dan “memarjinalkan guru”. Bagaimana kalau guru juga merealisasikan “mogok mengajar” agak satu atau du hari? Bayangkan musibah yang akan menimpa bangsa ini. Dilema diselesasikan, ikhlaslah membantu guru, ya! (Zulkarnaini, praktisi dan pemerhati penidikan)

Kototangah, Padang, Oktober 2012

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *