MENGAJAR ATAU MEMBELAJARKAN

Oleh Zulkarnaini Diran

Sebelum masuk kelas guru bertanya kepada dirinya. “Apa yang harus saya ajarkan hari ini?” Pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Dia membuka perencanaan peroses pembelajarannya, dia amati indikator dan tujuan yang hendak dicapai, dan kemudian dia lihat materi ajarnya. Guru langsung masuk kelas dan menjelaskan, menyajikan, dan menghidangkan materi kepada peserta didik. Peserta didik mendengarkan, mencatat sesekali, dan atau tidak melakukan salah satu atau keduanya, karena dia asyik dengan dirinya sendiri. Itulah mengajar. Guru mengajar.

Menurut Fuad Hassan (1995), “mengajar adalah menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga siswa terangsang untuk belajar”.  Sedangkan Jack Canfield (2008) mengatakan, “mengajar adalah memberi dorongan kepada peserta didik agar mau dan mampu belajar dengan menciptakan suasana yang kondusif”. Dari dua kutipan itu hal penting dalam mengajar bukan mengatakan “apa yang akan saya ajarkan” tetapi “bagaimana  memberi dorongan sehingga peserta saya belajar”.

Mengajar menimbulkan kesan menerangkan, menjelaskan, mengiformasikan, dan menyampaikan materi koginitif kepada peserta didik. Peserta didik menerimanya, mencatatnya, dan kemudian menghafalnya untuk menghadapi ulangan atau ujian. Semakin banyak informasi yang diberikan kepada peseta didik, pengajar semakin puas. Asumsinya, informasi-informasi itulah yang akan menyelamatkan peserta didik dalam setiap ulangan atau ujian. Imej seperti inilah yang membuat mata pelajaran tertentu selalu merasa kekurangan jam di dalam kelas.

Penyajian materi ajar kepada peserta didik sering tidak proposional. Materi sudah ada di dalam teks. Sudah terhidang dengan rapi di dalam buku ajar atau bahan ajar. Jika peserta didik dirangsang untuk membaca, materi itu akan dapat dilahapnya dan dikuasainya. Apalagi kalau materi ajar itu bersifat aplikatif, peserta didik dapat dirangsang untuk menerapkannya.  Akan tetapi, hal yang sering terjadi adalah materi pada teks itu masih diterangkan, dijelaskan, diinformasikan oleh guru secara lisan. Dengan demikian asumsinya adalah peserta didik tidak atau kurang memahami bahasa tulis. Di sinilah terjadi “penghinaan intelektual” terhadap peserta didik. Jika ada teks, mengapa harus diterangkan, mengapa mereka tidak disuruh membaca saja?

Jadi, gambaran yang muncul atau imej yang hadir dari kata mengajar adalah aktifitas sepihak dari guru yang sangat aktif untuk peserta didik yang pasif.

Peserta didik seyogyanya dikondisikan, diarahkan, dan dipandu untuk belajar. Bagaimana mereka mempelajari suatu materi, jauh lebih bermakna ketimbang bagaimana dia menghafalnya. Mentransformasi cara belajar kepada  peserta didik jauh lebih penting daripada memaksanya menguasai materi tertentu. Jika peserta didik menguasai materi ajar, manfaatnya sangat temporer. Hal itu lebih berorientasi untuk menjawab soal-soal ulangan ataun ujian. Perolehannya sangat labil, tidak permanen. Hari ini dipelajari, besok lupa. Minggu ini dikuasai, minggu depan tidak diingatnya lagi.

Penguasaan cara-cara belajar akan berguna bagi peserta didik  pada setiap jenjang pendidikan. Bahkan akan bermanfaat baginya sepanjang hayat. Setelah menyelesaikan pendidikan formal, setelah menamatkan perguruan tinggi, dan setelah terjun ke masyarakat pun penguasaan cara belajar itu masih akan bermanfaat baginya. Jadi, mentransformasi cara belajar atau cara mempelajari materi tertentu akan sangat berguna bagi peserta didik dalam kehidupannya.

Gordon (2002) mengatakan, “belajar adalah mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, mengubah pengetahuan menjadi pemahaman, menubah pemahaman menjadi kearifan, mengubah kearifan menjadi tindakan”.  Belajar dimulai dari pengalaman. Mengekplorasi pengalaman peserta didik tentang topic atau kompetensi tertentu merupakan kegiatan awal dari belajar.

Peserta didik dalam kesehariannya selalu bersentuhan dengan lingkungan alam, social, budaya, ekonomi, dan agama. Persentuhannya akan menimbulkan interaksi dan interleasi yang unik. Keunikannya tergantung kepada pengalaman batin masing-masing. Pembelajaran seyogyanya berangkat dari pengalaman peserta didik yang terkait dengan objek belajar (topik atau kompetensi) tertentu.

Pengalaman beranekaragam peserta didik tentang objek belajar (topic atau kompetensi) berisi banyak pengetahuan. Keanekaragaman pengetahuan itulah yang digiring oleh guru ke dalam konsep tertentu. Konsep teoretis yang membungkus semua pengalaman tersebut menjadikan basisi pengetahuan ilmiah bagi epserta didik. Hal inilah yang dijelmakannya menjadi pemahaman. Tentu, jika itu terjadi tersusun hierarki berpikir mulai dari yang dialmi ke pengetahuan (teoretik) dan menuju ke tingkat pemahaman. Hierarki berpikir seperti itu biasa membuat pengetahuan mengendap dalam waktu lama di dalam memori otak.

Hal seperti itu sebenarnya telah dilakukan oleh sejawat guru Sekolah  Dasar (SD). Misalnya dalam memahami konsep satuak ukuran. Peserta didik biasanya diajak mengukur benda tertentu dengan ukuran yang baku (seperti meteran, kiloan, dll.) Kemudian juga meminta mereka mengukur dengan ukuran tidk baku (jengkal, hasta, depa). Dari pengalaman mengukur itu, guru menggiringnya memasuki wilayah teori tentang ukuran baku dan ukuran tidak baku. Hal seperti itulah yang dipahami eleh pseserta. Biasanya, mereka tidak akan pernah lupa, bahkan menjadi pemanen dalam ingatannya.

Pemahaman terhadap pengetahuan teoretik diterima peserta didik melalui proses belajar. Proses belajar diawali dari pengalaman atau mengalami sendiri. Dari pemahamannya itulah guru memandu peserta didik untuk mengarifi pengetahuan teoritik tersebut. Dari kearifan itulah kemudian peserta didik bertindak dalam kesehariannya. Dengan demikian orang-orang belajarlah yang betindan dengan arif berdasarkan pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman. Akhirnya kebiasaan-kebiasaan berindak dalam kearifan itulah yang menjadi kompetensi peserta didik.

Dampak mengajar akan berbeda dengan dampak mebelajarkan. Mengajar berarti mtransformasi ilmu, pengetahuan, dan ketrampilan. Peserta didik menjadi penerima dari transfer itu. Kepuasaan terjadi apabila semua yang direncanakan oleh guru telah tersampaikan kepada peserta didik. Bukan berukuran kepada perolehan peserta didik. Membelajarnan berarti membuat peserta didik belajar. Penguasaan cara-cara belajar lebih utama dari pada penguasaan pengetahuannya. Kepuasaan akan terjadi apabila peserta didik mau, mampu, dan senang belajar. Bahkan belajar menjadi hobinya. Ia menjadi orang yang kecanduan belajar.

Mengajar atau membelajarkan? Terpulang kepada sejawat guru yang kini berlabel “guru profesional”. Semoga. (Zulkarnaini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *