Guru, Antara Domain Teoretis dan Praktis

Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)

Para guru, tabhlah! Dunia teoretis memang berjarak dengan dunia paraktis. Para pakar hidup di ranah teoretis sedangkan kita berada di wilayah praktis. Kedua domain itu memang memiliki “kesenjangan” yang amat sangat. Pakar menyusun jalan dan rambu-rambu berupa “kurikulum” untuk perjalanan proses pembelajaran dengan berbagai formulasi teori yang “entah darimana saja”, sementara kita “dipaksa” menempuh jalan tersebut. Menurut pandangan dunia paraktis, jalan dan rambu-rambu adalah sarana untuk “menuju sesuatu”. Jalan itu mestinya dilalui dengan mudah sehingga kita sampai ke tujuan. Akan tetapi “jalan” itu ternyata menimbulkan berbagai kesulitan buat kita. Oleh karena itu, para guru tabah dan bersabarlah!
Domain teoretis yang amat ideal dan muluk-muluk itu kemudian didukung oleh ranah yuridis. Birokrat pendidikan melegalisasi teori-teori itu sehingga menjadi legal untuk dilaksanakan. Legalitas itu dilahirkan dalam bentuk berbagai peraturan menteri pendidikan. Semakin sempurnalah beratnya “beban kerja” guru yang berada di wilayah praktis. Rambu-rambu teortis dibuat pakar di atas meja akademis, rambu-rambu yuridis disusun aparat pemerintah di meja birokratis, kedua rambu itu seharusnya memuluskan jalan bagi guru untuk mencapai tujuan pendidikan. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Bahkan, hal-hal yang mudah menjadi amat sulit dengan rambu teoretis dan yuridis yang ada itu.
Kurikulum 2013 adalah contoh nyata lebarnya kesenjangan antara ranah teoretis dan yuridis dengan ranah paraktis. Pakar kurikulum rata-rata berasal dari perguruan tinggi. Mereka (mungkin) tidak mengenal secara praktis dunia pendidikan dasar dan menengah. Mereka melihat dunia persekolahan dari kacamata teoretis yang (mungkin) dipelajarinya ketika kuliah S2 dan S3. Mereka inilah yang ditugasi menyusun Kurikulum 2013. Dokumen kurikulum dengan segala komponennya terlihat disusun sangat apik, rapi, dan sistematis. Secara teoretis memang begitulah keadaannya.
Ketika “rambu-rambu dan jalan menuju” yang bernama kurikulum itu sampai di tangan guru, pada umumnya mereka ditangkap kebingungan. Bingung bukan hanya dalam pengorganisasian isi/materi tetapi juga bingung dengan pedoman-pedoman yang diterbitkan. Pemerintah menyadari hal itu. Akhirnya dilakukan sosialisasi dan pelatihan kilat. Sosialisasi dan pelatihan kilat itu dilakukan secara berantai dari hulu sampai ke hilir. Hulunya ada di kementerian pendidikan dan hilirnya ada di satuan pendidikan atau guru-guru. Mulai dari persiapan membuat fasilitator nasional atau narasumber nasional, instruktur nasional, dan terakhir sampai kepada guru. Waktu yang disediakan untuk benar-benar teramat pendek, hanya lima hari kerja atau 55 jam pelatihan.
Usai mengikuti pelatihan yang dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya itu, guru tidak semakin paham. Pada umumnya mereka malah semakin bingung. Dalam pelatihan, selain waktu yang tersedia teramat pendek, metode pelatihan pun tidak pas untuk dibawa ke kelas. Metodenya lebih banyak dalam rangka memahami kurikulum daripada mengimplementasikannya di kelas. Kesenjangan antara ranah teoritis dan yuridis dengan ranah praktis pun semakin melebar. Beriringan dengan itu muncul berbagai perangkat kurikulum di berbagai situs internet, dan sempurnalah kebingungan guru.
Sementara itu para pejabat pendidikan di daerah pun ikut mendapat sosialisasi teoretis. Sampai di daerah bapak-bapak yang mengikuti sosialisasi mulai berkomentar. Kurikulum 2013 adalah kurikulum hebat. Pekerjaan guru akan ringan. Siswa akan mendapat kemudahan. Guru tidak perlu lagi membuat silabus, tidak perlu lagi menyiapkan bahan ajar karena semua itu sudah disediakan pemerintah. Siswa tidak perlu lagi membawa banyak buku karena satu buku sudah cukup untuk mempelajari satu tema atau satu mata pelajaran. Orang tua murid tidak perlu lagi memikirkan memberli buku dan sebagainya karena semua ditanggung oleh pemerintah. Yah, itulah janji teori dan janji yuridis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Janji tinggal janji. Promosi yang dilakukan oleh pejabat dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/ kota sepulang mengikuti sosialisasi ternyata tidak terbukti. Istilah kininya adalah “pembohongan publik”. Silabus yang dijanjikan dan disediakan serta dilegalisasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak kunjung selesai sampai awal tahun pelajaran. Buku siswa dan buku guru yang dipromosikan akan tersedia tepat waktu ternyata juga tidak kunjung sampai di sekolah. Kabarnya di akhir semester ini pun masih ada sekolah yang belum menerima. Dan semakin sempurnalah jarak antara teore dan yuridis dengan praktik nyata di lapangan.
Dalam gonjang-ganjing pelaksanaan Kurikulum 2013, yang saat ini masih ada pelatihan-pelatihan di hotel baik di pusat maupun di daerah, tersiarlah kabar bahwa Menteri Pendidikan membatalkan berlakunya Kurikulum 2013 untuk semua sekolah. Edaran Pak Menteri pun kabarnya telah turun dan telah tersebar di seluruh instansi pendidikan. Kabarnya pula, pembatalan Kurikulum 2013 untuk seluruh sekolah ini adalah hasil dari evaluasi. Guru bingung lagi. Kapan evaluasi dilakukan, menterinya saja baru dilantik dua bulan lalu. Apakah mengevaluasi kurikulum sampai ke pelaksanaannya bisa dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya? Wah, …
Kebijakan menteri baru dalam pemerintahan baru membuat guru tidak hanya bingung tetapi merasakan bahwa perlakukan terhadap dunia pendidikan seperti “main-main”. Kembali ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), itulah kabarnya isi edaran menteri tersebut. Perangkat kurikulum dengan segala pedomannya, perangkat hukum kurikulum dengan segala keputusan menteri sebelumnya, menjadi batal semua oleh sepucuk edaran menteri baru dalam pemerintahan baru. Wah, …
Sejawat guru, mari kita bersabar dan tabah menghadapi kenyataan ini. Mari kita kembalikan ke tugas utama kita yakni membelajarkan peserta didik dalam tiga ranah yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Mungki tulisan Zulfikri Anas yang dikutip berikut ini akan menawar “luka hati kita”,
“Apakah yang telah terjadi di negeri ini?…..Kurikulum yang sesungguhnya sangat simpel menjadi rumit setelah disusun dan lebih rumit lagi setelah diimplementasikan. Kurikulum itu sungguh sangat sederhana. Dengan adanya kurikulum, anak yang tadinya tidak tahu apa apa-apa menjadi tahu, tadinya tidak bisa apa-apa menjadi bisa, dan yang tadinya malas, tidak disiplin, tidak efsien, semberono, menjadi tertib, krearif dan terbiasa bersyukur. Ya….anak yang tadinya tidak mengenal huruf menjadi mampu membaca setelah ia berlatih l melafalkan, menuliskan, mengurutkan dan merangkainya menjadi kata, kalimat, paragraf, cerita dan seterusnya. Setelah mampu membaca, karena gurunya sangat kreatif mengciptakan iklim pembelajaran, akhirnya anak menjadi gemar membaca, apapun yang ia baca, dan iapun dapat ilmu dari berbagai sumber, jadilah ia anak cerdas. Anak yang tadinya tidak mengenal angka, dilatih dan dikondisikan oleh guru sehingga ia mengenal angka dan bilangan, lalu dengan cara yang sangat menyenangkan guru bisa membuat anak menggunakan logika angka/bilangan untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup.”
Semoga sejawat guru tetap tabah dan sabar menerima kenyataan ini. Mudah-mudahan kembali ke KTSP dari Kurikulum 2013 tidak mendatangkan petaka di dunia pendidikan kita. Selamat bekerja, sejawat guru yang mulia.

3 comments

    1. Sistem pembelajaran tidak berubah-ubah Pak Kusnendar. Sistemnya sudah diatur oleh UURI tentang Sistemn Pendidikan Nasional. Yang berubah itu adalah pendekatan, metode, dan teknik. Kemudian guru dapat memilih pendekatan yang sesuai dengan kondisi kelasnya masing-masing. Jadi tidak mungkin satu pendekatan saja. Mengenai kurikulum tentu tergantung keadaan. Sebenarnya kurikulum harus berubah setiap waktu karena anak, ilmu, pengetahuan, dan teknologi juga selalu berubah. Kurikulum itu sendiri ialah seperangkat rencana yang berisi materi dan petunjuk pelaksanaan pembelajaran. Jika tidak berubah akan terjadi stgnan. Begitu Pak Kus, salam ya. Pak Kus ada di daerah mana ini?

    2. Sistem pembelajaran tidak berubah-ubah Pak Kusnendar. Sistemnya sudah diatur oleh UURI tentang Sistemn Pendidikan Nasional. Yang berubah itu adalah pendekatan, metode, dan teknik. Kemudian guru dapat memilih pendekatan yang sesuai dengan kondisi kelasnya masing-masing. Jadi tidak mungkin satu pendekatan saja. Mengenai kurikulum tentu tergantung keadaan. Sebenarnya kurikulum harus berubah setiap waktu karena anak, ilmu, pengetahuan, dan teknologi juga selalu berubah. Kurikulum itu sendiri ialah seperangkat rencana yang berisi materi dan petunjuk pelaksanaan pembelajaran. Jika tidak berubah akan terjadi stgnan. Begitu Pak Kus, salam ya. Pak Kus ada di daerah mana ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *