SEKOLAH EKSKLUSIF, LAYU SEBELUM BERKEMBANG

Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)

Akhir tahun 90-an bermunculan sekolah eksklusif. Sekolah-sekolah itu tumbuh bak cendawan musim hujan. Kemunculannya dipengaruhi oleh “hebatnya” sekolah “SMA Taruna Nusantara di Magelang, Jawa Tengah. SMA Taruna ini mengilhami munculnya sekolah-sekolah “hebat” di daerah. Ahirnya, hampir tiap provinsi, kabupaten dan kota “bemimpi” dan beniat untuk membuat sekolah hebat. Tujuannya tentu untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah masing-masing.
Istilah sekolah unggul dan kelas unggul adalah kosakata yang melekat pada sekolah eksklusif buatan daerah. Di Sumabar muncullah SMA 1 Padangpanjang dan SMA 1 Lubuksikaping, Pasaman sebagai sekolah unggul. Kemudian diiringi oleh daerah lain. Bahkan di setiap kabupaten kota dibuat sekolah dan kelas unggul lebih dari satu. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian diajukan untuk menjadi sekolah berstandar nasional dan rintisan bertaraf internasional. Kemudian sekolah rintisan bertaraf internasional itu pun dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Itulah akhirnya nasib sekolah eksklusif.
Iqbal (2008) menyatakan, untuk melakukan sesuatu pertama-tama hendaklah dipahami konsep, kedua dikaji manfaat, ketiga dipikirkan penerapan. Sekaitan dengan sekolah unggul, kelas unggul, dan kelas akselerasi yang merupakan bentuk sekolah ekslusif pertama-tama tentu didudukkan terlebih dulu konsepnya. Konsep sekolah unggul dan kelas unggul itu seperti apa. Jika konsepnya berwarna hitam, misalnya tentu kemudian dikaji manfaat konsep hitam. Jika manfaatnya ditemukan, barulah dipikirkan penerapannya. Kalau ketiga hal itu tidak duduk, yang akan terjadi ialah sekolah ekslusif akan “layu sebelum berkembang”.
Di Sumatera Barat khususnya, konsep sekolah dan kelas unggul adalah tempat belajar anak-anak “hebat” secara kognitif. Mereka yang nilai rapor atau nilai UN-nya tinggi dikumpulkan dalam satu kelas. Kemudian mereka dibelajarkan melebihi waktu standar, melebihi waktu yang disediakan untuk anak-anak nonkelas unggul. Ruangannya dipoles sedemikian rupa, sarana prasaranya dilengkapi, fasilitas belajarnya lengkap, jumlah tiap kelas hanya 20 orang. Gurunya, guru yang sama dengan kelas nonunggul. Biayanya tentu lebih tinggi dari kelas reguler. Dari kelas-kelas seperti itulah muncul anak yang eksel, anak yang tamat lebih cepat dari waktu reguler.
Anak kelas unggul hebat secara kognitif. Jam belajarnya dilipatgandakan. Fasilitasnya belajarnya disempurnakan. Ruangan belajarnya pakai pendingin ruangan. Biaya yang harus dikeluarkan orang tua melebihi dari biaya kelas reguler. Anak-anaknya sukses, berhasil, dan hasilnya ekslusif. Inilah gambaran konsep kelas unggul dan kelas akselerasi yang tertangkap oleh masyaratakt di Sumatera Barat.
Bukanlah sesuatu yang aneh jika anak hebat difasilitas secara hebat dan diberi pelayanan plus, kemudian mereka berhasil menamatkan pendidikan sebelum waktunya. Itu bukan sesuatu yang luar biasa. Jika itu konsepnya, tentu bukanlah mengandalkan “keunggulan”. Akan tetapi, jika anaknya biasa-biasa saja bahkan agak lemah dalam belajar, kemudian institusi pendidikan memberikan pelayanan optimal, fasilitas memadai kemudian mereka berhasil dan aksel, itu barulah sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang unggul.
Secara psikologis institusi pendidikan telah mendikotomi anak bangsa. Anak-anak ‘hebat’ dipisahkan dengan anak-anak ‘nonhebat’. Mereka dibedakan dalam pelayanan. Diskriminasi pelayanan dilakukan oleh institusi pendidikan. Bolehkah anak-anak bangsa didiskriminasi dalam pelayanan pendidikan? Inilah persoalannya maka kelas unggul dan kelas akselerasi kurang berterima pada masyarakat kebanyakan, tetapi disenangi oleh kelangan tertentu. Justru di situlah eklsusifismenya muncul. Sekolah-sekolah yang dirancang secara eklusif hanya bertahan dalam waktu yang pendek, terutama jika konsep tidak duduk, manfaat tidak dikaji, dan penerapannya tidak dipikirkan.
Kecendrungan birokrat pendidikan untuk membuat sesuatu yang eksklusif memang semakin kentara. Pakar komunikasi menyebutnya “pencitraan” berlebihan. Untuk naik pencitraan dibuat sesuatu yang “aneh-aneh, unik-unik” yang menggambarkan sesuatu yang eksklusif. Jika hal itu terjadi di dunia pendidikan, itulah kenaifan. Pendidikan tidak boleh dirancang untuk satu periode pemerintahan, bukan untuk lima tahun masa periode kepala daerah. Seyogiyanya pendidikan dirancang untuk jangka panjang, untuk waktu yang cukup lama. Pendidikan adalah investasi jangka panjang.
Sekolah ekslusif biasa bertahan dalam satu periode pemerintahan. Hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktornya adalah tujuan didirikan sekolah itu. Apalagi kalau tujuannya hanyalah untuk popularitas atau pencitraan yang ‘berwajib’ saat itu. Sekolah seprti ini usianya tidak akan lama. Jika anak-anak sempat belajar di sekolah semacam itu, mereka akan kecewa karena belum sempat diantar sampai ke tujuan, sekolahnya sudah kembali seperti semula. Sekolah eksklusif, ‘layu sebelum berkembang’.
Faktor lain yang berpengaruh adalah badjet, biaya, anggaran.Pembiayaan sekolah ekslusif biasanya lebih tinggi. Pemerintah hanya mampu menyediakan fasiltias terbatas. Oleh karena itu, subsidi orang tua sangat diperlukan. Ternyata, tidak semua anak ‘hebat’ orang tuanya mampu mensubsidi pendidikan. Sementara itu, ada orang tua yang mampu, tetapi anaknya tidak ‘hebat’, mereka mulai melirik ke sekolah itu. Akhirnya, niatan mengelompokkan anak hebat akan hilang. Akhirnya, orientasinya adalah sekolah ekslusif berbiaya tinggi. Pada saat biaya tidak lagi terpenuhi seperti yang direncanakan, sekolah kembali seperti sekolah reguler biasa. Eksklusif, ‘layu sebelum berkembang’.
Mungkin, mengelola sekolah reguler dengan mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan (SNP) akan lebih praktis dan pragmatis dibandingkan membuat sekolah ekslusif. Empat tahun terakhir setiap sekolah telah dilatih melakukan Evaluasi Diri Sekolah (EDS). EDS dilakukan untuk melihat eksistensi (keberadaan) sekolah berdasarkan delapan standar nasional. Dari hasil EDS itu akan terlihat keunggulan dan kelemahan sekolah berdasarkan delapan standar nasional. Jika ditemukan keunggulan, perlu dikembangkan. Jika didapatkan data kelemahan, perlu ditingkatkan, diperbaiki, dan diarahkan menuju standar nasional.
Pemerintah daerah yang arif mengelola pendidikan akan berorientasi kepada pelayanan peserta didik secara menyeluruh. Bukan mengutamakan pelayanan kepada anak-anak yang ‘hebat” saja. Anak hebat, anak tidak hebat, anak belajar cepat, anak belajar lembat berhak mendapat pelayanan yang optimal, adil, dan merata dalam pendidikan. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) telah memberikan pedomannya. Bukankah akan lebih bijak menjadikan sekolah yang di bawah standar nasional menjadi standar nasional dan yang sudah standar nasional ke yang di atas standar nasional? Tentu akan lebih bijak hal seperti itu jika memang untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di suatu daerah. Hal itu tidak akan terlihat bijak kalau dimaksudkan untuk ‘pencitraan’ pejabat melalui kebijakan-kebijakan ekslusif dalam pendidikan.
Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota dapat melihat rekapitulasi data hasil Evaluasi Diri Sekolah (EDS) daerahnya melalui akun dinas pendidikan. Di sana tertera informasi bahwa di kabupaten atau kota tertentu terdapat sejumlah sekolah yang di bawah standar nasional, bahkan ada yang di bawah standar pelayanan minimal (SPM). Selain itu pula akan terlihat sekolah yang sudah mencapai dan di atas SNP. Jika data itu dimanfaatkan untuk merencanakan pendidikan jangka menengah dan jangka panjang di suatu daerah, tentu akan lahirlah kearifan-kearifan yang brilian dalam pengelolaan pendidikan. Bukan melahirkan sekolah eksklusif untuk pencitraan yang hanya akan bertahan dalam waktu yang sangat pendek. Sekolah eksklusif akan layu sebelum berkembang. Mudah-mudahan. (Zulkarnaini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan tinggal di Padang).
Padang, September 2014

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *