Oleh Zulkarnaini Diran
Ujian Nasional (UN) tidak menentukan “kelulusan”. Ujian nasional lebih berfungsi sebagai pemetaan pendidikan di Tanah Air, sebagai alat untuk melihat kelebihan dan kekurangan dalam proses dan hasil pendidikan. Melihat kelebihan untuk dikembangkan dan ditingkatkan, melihat kekurangan untuk diperbaiki dan disempurnakan. Sekurang-kurangnya itulah yang ditangkap dari “kebijakan UN” tahun ini.
Penentuan lulus bagi peserta didik tahun terkahir diserahkan kepada satuan pendidikan atau sekolah. Sekolah dengan segala elemennya diberikan kewenangan untuk “mengeksekusi” peserta didiknya dalam penentuan lulus atau tidak lulus. Bagi sekolah hal itu merupakan penghormatan luar biasa. “Rasanya kita kembali mendapat kepercayaan. Selama ini seolah-olah kepercayaan itu tidak ada atau sangat kurang”, kata beberapa orang wakil kepala SLTP dan SLTA di Kota Padang.
Ujian nasional (UN) selama ini terlalu dibesar-besarkan. Hal itu dilakukan oleh yang berkepntingan. Kepala daerah dianggap berhasil dalam mengurus pendidikan jika hasil UN-nya tinggi. Kualitas pengelolaan pada satuan pendidikan juga diukur dengan hasil UN. Prestise lebih menonjol dibandingkan prestasi dalam pendidikan yang terkait dengan UN. Dengan demikian UN berdampak sosial dan berdampak psikologis terhadap pemangku kepentingan. Bahkan ada sejumlah daerah yang “mengultimatum” kepala sekolahnya. “Bila hasil UN rendah, kepala sekolah akan mendapat genjaran.” Oleh karena dibesar-besarkan itulah maka UN menjadi dilematis.
Dengan berbagai argumen daerah dan sekolah berusaha untuk menjadi “yang terbaik” dari yang baik. Kadang-kadang untuk mencapai itu ditempuh atau “terpaksa” ditempuh jalan atau proses yang keliru. Proses-proses keliru itulah yang memiliki dimensi “kecurangan”, memiliki sisi-sisi negatif. Itupun sudah menjadi rahasia umum. Pemerintahkan mulai memperketat pengawasan dengan berbagai cara. Pengawasan silang, pemantau independen, penganekaragaman soal ujian, dan berbagai jenis kebijakan lainnya bermunculan.
Semakin ketat pengawasan, semakin bervariasi “upaya kecurangan” yang muncul. Terakhir Pemerintah mengungkap “pembocoran” soal UN oleh percetakan yang mencetak soal ujian nasional. Tentu hal itu ada kaitan dengan terlalu “dibesar-besarkan” keberadaan ujian nasional. Akan tetapi, dengan menjadikan ujian nasional bukan lagi sebagai penentu kelulusan, dampak-dampak yang dilematis itu diharapkan akan berkurang. Lama-lama diharapkan juga habis.
Sejumlah guru (pendidik) pada satuan pendidikan (sekolah) pernah mengutarakan perasaannya dalam suatu temu ilmiah. Rasanya keprcayaan pemerintah kepada guru semakin hari semakin berkurang. Buktinya, guru tidak dipercaya lagi mengawasi siswanya yang sedang mengikuti ujian. Rasanya hal itu semacam “penghinaan” terhadap keberadaan guru. Pemarjinalan terhadap fungsi guru seperti ini membuat guru “tersinggung” bahkan merasa tersakiti. Akan, tetapi hal itu telah berlangsung, telah terjadi, dan mungkin akan terus berlanjut. Begitu rangkuman pendapat guru dalam suatu temu ilmiah tentang keberadaan guru yang dikaitkan dengan ujian nasional.
Nurani guru berkata. Mereka tetap konsisten dengan kejujuran. Mereka tetap taat asas bahwa ujian adalah instrumen untuk melihat hasil belajar secara objektif. Akan tetapi, kadang-kadang mereka “terpaksa” berbuat kecurangan, bahkan “dipaksa” untuk melakukan itu. Hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktornya adalah hasil UN adalah prestise, harga diri, martabat daerah. Selain itu, hasil UN adalah eksitensi suatu jabatan seperti kepala sekolah, kepala dinas, dan jabatan strategis lainnya di dunia pendidikan. Akhirnya, nurani guru “dikorbankan” untuk berbagai kepentingan yang di luar teknis pendidikan itu.
Nurani guru yang selama ini terskiti kini mulai terobat. Salah satu obatnya ialah penentuan lulus peserta didik dikembalikan kepada satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang penggerak utamanya adalah guru kini dipercaya kembali untuk mengambil keputusan penentuan “nasib” peserta didiknya di akhir tahun pelajaran. Hal ini mengembalikan “marwah” guru, penghormatan kepada guru, dan keberadaan guru dalam konteks pengambil keputusan.
Jika tahun ini sekolah atau satuan pendidikan kembali dipercaya, diharapkan tahun-tahun mendatang guru-guru atau pendidik yang mendapat kepercayaan. Hak guru untuk mengawasi peserta didiknya dalan unjian nasional dikembalikan. Tidak ada pengawasan silang, tidak ada pengawas atau pemantau independen, tidak perlu ada penegak hukum seperti polisi ada di sekolah ketika UN. Jika itu dilakukan, asumsinya adalan “nurani” guru yang selama ini “tersakiti” kini diharap mulai terobati.
Asumsi lain adalah, jika ujian nasional merupakan bagian dari kegiatan persekolah, berarti ujian nasional adalah sesuatu yang “biasa”, bukan luar biasa. Dengan demikian ia berjalan dan berlangsung secara alami dan manusiawi. Tidak gembar-gembor, tidak dikaitkan dengan prestise kepala daerah, prestise kepala dinas pendidikan, dan prestise kepala sekolah. Bila asumsi ini benar, kemungkinan “niatan” untuk berbuat curang akan terkikis habis. “Berikan kepercayaan kepada mereka, mereka akan bertanggung jawab, dan mereka akan mempertahankan kejujuran”, begitu kata orang-orang bijak. Semoga nurani guru kita terobati dengan kebijakan ujian nasional tahun 2015 ini.