Oleh Zulkarnaini Diran
Guru-guru kita sudah lama dikebiri. Hak-hak mereka dirampas. Kewenangan dan otortasnya dipangkas. Padahal guru memiliki kebebasan mendidik (independensi pedagogis) yang diatur dan dijamin oleh regulasi baik undang-undang maupun pertauran pemerintah. Akibat pengebirian, perampasan, dan pemangkasan itu guru terpenjara di dalam kerangkeng kebijkan pemerintah. Di dalam penjara itu ia berusaha mencari zona aman. Ketika ingin selalu bermukim di zona aman, kreatiftas pun mati. Itulah yang dialmi oleh guru-guru kita sejak dulu.
Pembagian wilayah pendidik dan tenaga kependidikan sudah ada. Pendidik yang bernama guru memiliki wilayah di ruang kelasnya. Di ruang itu ia berinteraksi dengan peserta didik. Aktifitas dan interaksi yang dilakukannya di ruangan kelas tidak boleh diintervensi oleh unsur luar, sekali pun itu presiden. Seperti apa dan perlakuan yang bagaimana terhadap peserta didik di kelas hanya gurulah yang tahu. Pendidiklah yang mengenal peserta didiknya dan pendidik pulalah yang tahu cara memperlakukannya.
Tenaga kependidikan seperti kepala sekolah, pengawasa sekolah, pejabat dinas pendidikan, dan seterusnya juga memiliki wilayahnya sendiri. Untuk itu ia bekerja di wilayahnya. Memasuki wilayah pendidikan dia harus memberi khabar, ia harus minta izin, ia tidak bisa menyerobot begitu rupa sehingga hak guru, otoritas guru, dan kekuasaan guru dikebiri.
Pengawasan silang dalam ujian adalah bentuk intervensi yang menggelisahkan. Setiap ujian nasional dan daerah, biasanya guru yang mengawas disilangkan. Guru yang mengajar di sekolah A mengawas di sekolah B. Guru tidak boleh mengawasi anak didiknya sendiri. Ini bentuk “pelecehan” terhadap otoritas guru. Sama artinya birokrat pendidikan mengucapkan, “ Hai para guru, kami tidak percaya pada kalian, karena itu pengawasan ujian harus disilangkan”.
Intervensi terhadap guru dalam bentuk lain juga terjadi. Guru dituntut kreatif dalam mindesain, melaksanakan, dan menilai pembelajaran. Kreatifitas guru akan terlihat dalam bentuk tindakan nyata di kelas. Kadang-kadang kreatifitas itu terlihat selintas seperti menyalahi norma atau aturan yang berlaku. Akibatnya guru disalahkan. Oleh karena itu ada fenomena keinginan birokrat pendidikan untuk “menyeragamkan perilaku guru”. Penyeragaman itu pun telah membunuh kreatifitas yang otomatis merampas hak independensinya.
Seorang supervisor masuk ke dalam kelas. Dia ingin menyaksikan guru melaksanakan pembelajaran yang di dalam regulasi disebut “supervisi akademik”. Guru melakukan improvisasi dalam pembelejaran. Ia melakukan sesuatu yang tidak tertera dalam perencanaan pembelajaran. Jika ia tidak melakukan improvisasi itu, tujuan pembelajarannya tidak tercapai. Oleh supervisor hal itu disalahkan. Kesalahannya adalah “melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan perencanaan”.
Guru berusaha menjelaskan. Ia mengatakan bahwa yang direncanakan tidak cocok dengan situasi kelas saat itu. Akibatnya ia melakukan “penyimpangan” dalam operasional pembelajaran. Penyimpangan itu ialah mengubah langkah atau skneario pembelajaran sesuai dengan tuntutan situasi di kelas. Akan tetapi, supervisornya tidak mau menerima. “Pokoknya, Saudara telah menyimpang dari ketentuan yang Saudara buat sendiri”. Bentuk septi itu pun merupakan pengekangan kreatifitas yang yuga merampas hak-hak indpendensi guru.
Perampasan kemerdekaan guru juga terjdi di tengah-tengah masyarakat. Baru-baru ini media massa terbitan Padang mempublikasikan. Seorang guru “dihajar” oleh paman seorang muridnya. Sang guru sampai pingsan. Fasalnya sederhana. Si Murid melakukan sesuatu yang tidak pantas. Guru manasihati secara persuasif dan edukatif. Pihak keluarga tidak menerima anaknya dinasihati. Guru “dipukul”. Perampasan hak guru sebagai pendidikpun dilakukan oleh masyarakat.
Guru adalah manusia biasa. Oleh profesinya dia mengemban tugas mahaberat. Tiap hari kerja berurusan dengan anak manusia sebagai subjek didiknya. Anak manusia penuh dinamika, penuh variasi, bahkan dalam satu kelas sebanyak tiga puluh orang, sebanyak itu pula perangainya. Manusia itulah yang dihadapi guru sepnjang hari, sepanjang waktu. Oleh karena tugasnya adalah mendidik, mengajar, melatih, dan membina anak manusia itu, ia diberi kebebsan mendidik oleh regulasi pendidikan.
Kebeasan mendidik itu disebut independensi pedagogis. Regulasi memberi guru hak-hak seperti itu. Seyogianya birokrat pendidikan, supervisor pendidikan, orang tua murid/ siswa, dan masyarakat seyogyanya tidak boleh merampas hak independen itu. Kita tidak boleh “mengebiri’ otoritas guru. Berikanlah kepadanya peluang untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajarannya secara profesional. Berikan kepadanya suasana yang nyaman dan suasana yang sejuk untuk menyiapkan anak bangsa ini menjadi manusia cerdas intelektua, cerdas emosional, cerdas spiritual, dan cerdas kinestetik. Sehingga dari tangannya kelak lahir “insan cerdas dan kompetitif”. Semoga.