Oleh Zulkarnaini Diran
Pelayanan optimal, adil, dan merata adalah salah satu prinsip pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Prinsip ini menekankan bahwa dalam pembelajaran ada pelayan dan tentu ada yang dilayani. Pelayannya guru atau pendidik, yang dilayani siswa atau peserta didik. Untuk pelaksanaan prinsip ini diperlukan perubahan paradigma pembelajaran. Dalam operasionalnya diperlukan perubahan pola pikir dan pola tindak.
Optimalisasi pelayanan akan terlihat dalam bentuk cakupan materi dan penggunaan waktu secara efektif. Materi minimal yang diacu oleh kurikulum harus dioptimalkan dalam pembahasan di kelas. Untuk pembahasan materi optimal itu hendaklah menggunakan waktu yang tersedia secara efektif dan efisien (berdayaguna dan berhasilguna). Artinya, tidak ada materi yang tertinggal dan tidak ada waktu yang tersia-sia, tidak ada jam pelajaran yang “didiskon”.
Di dalam satu kelompok atau kelas siswa terdapat sekurang-kurangnnya tiga varian kemampuan. Menurut pakar, 16 – 20 persen siswa berada pada posisi lambat belajar, lebih kurang 60 persen normal belajar, dan 16 – 20 persen berada pada posisi cepat belajar. Variasi yang tiga itu berada dalam suatu ruang kelas dan berada pada satu kesatuan waktu pembelajaran. Ketiga kelompok itu harus mendapat pelayanan yang adil. Masing-masing kelompok dilayani sesuai dengan potensinya. Siswa dalam kelompok lambat dilayani dengan tempo pembelajaran yang lambat, yang normal juga demikian, dan yang cepat juga dilayani cepat.
Mungkinkah seorang guru dapat melayani siswa yang tiga varian itu secara adil dan merata? Jawabannya bisa beragam, bisa ya, bisa tidak. Jawaban itu sangat tergantung kepada pola pikir dan pola tindak guru dalam pembelajaran. Pola tindak lama, guru menerangkan konsep-konsep, prinsip-prinsip, prosedur, dan fakta pembelajaran kepada siswa. Mereka diminta memahami penjelasan itu. Kemudian pemahaman tersebut diuji. Jika pola tindak pembelajaran seperti ini digunakan, pelayanan optimal, adil, dan merata pasti tidak mungkin dilakukan.
Fuad Hassan (2008) menyatakan, “Mengajar adalah mengorganisasikan lingkungan dengan sebaik-baiknya sehingga siswa teransang untuk belajar”. Pengorganisasian lingkungan belajar dengan baik disebut pengelolaan kelas, manajemen kelas. Jadi tugas pelayanan yang diberikan guru pertma-tama ialah mengelola kelas dengan sebaik-baiknya. Hasil pengelolaan itu memungkin siswa teransang untuk belajar. Bila mereka mulai teransang untuk belajar, peluang untuk memberikan pelayanan akan terbuka.
“Tugas guru bukan mengajar, tetapi belajar bersama siswanya, kemudian dalam suasana yang menyenangkan guru membelajarkan siswanya”, (Rahmat, ,2006). Guru belajar bersama siswanya, sambil belajar guru membelajarkan siswanya. Membelajarkan berarti membuat siswa belajar, menjadikannya melakukan suatu kegiatan yang di dalamnya ada muatan belajar. Selain itu, membelajarkan juga mengandung arti menyediakan “pengalaman belajar” bagi siswa. Pengalaman seperti apa yang diperlukan oleh siswa untuk memahami konsep, prinsip, prosedur, dan fakta pembelajaran, seperti itulah guru membelajarkan siswanya.
Ketika guru mulai mengubah paradigmanya dari mengajar menjadi membelajarkan, saat itulah awal pelayanan diberikan guru kepada siswanya. Guru mengelola lingkungan belajar. Lingkungan itu akan menciptakan suasana yang menyenangkan. Dalam suasana itulah siswa belajar. Dalam konteks ini guru tidak hanya berperan sebagai informan keilmuan, tetapi ia menjadi fasilitaor (penyedia fasilitas) bagi siswanya. Menyediakan fasilitas, segela keperluan, segala kebutuhan belajar untuk siswa, merupakan kegiatan nyata dari pelayanan guru kepada siswanya.
Siswa dalam satu kelas memang sudah dibatasi secara nasional. Menurut Standar Nasional Pendidikan (SNP) siswa maskimal di dalam kelas berkisar antara 28 sampai 32 orang. Untuk Sekolah Dasar jumlah di kelas paling banyak hanya 28 orang, untuk SLTP dan SLTA paling banyak 32 orang. Asumsinya adalah, jika siswa dengan jumlah terbatas, guru akan dapat melayani peserta didiknya secara optimal, adil, dan merata.
Pelayanan optimal dapat dilakukan jika guru mengubah mengajar menjadi membelajarkan. Kemudian guru bertindak sebagai fasilitator baik secara fisik maupun secara nonfisik. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jumlah siswa dalam satu kelas, hendaklah memenuhi acuan SNP. Penyediaan pengalaman belajar bagi siswa dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran adalah bentuk fasilitas nonfisik yang harus disediakan guru. Namun hal yang paling penting adalah pembelajaran tetap berlangsung secara klasikal dan pelayanan individual.
Guru tetap menghadapi peserta di dalam kelas, satu kelas dengan jumlah siswa yang standar. Semua siswa mendapat perhatian menyeluruh dari guru. Pelayanan yang diberikan hendak optmal, adil, dan merata. Agar itu terjadi maka guru melakukan “Pembelajaran kelasikan, pelayanan individual”. Pembelajaran tetap di dalam kelas tetapi pelyanan dilakukan secara individu. Siswa lambat belajar dilayani lambat, siswa normal belajar dilayani normal, dan siswa cepat belajar dilayani cepat pula.
Pada saat guru mengubah paradigmanya, ia akan mengubah mengajar menjadi membelajarkan dan mengubah dilayani menjadi pelayan, dan saat itulah siswa mulai teransang untuk belajar, belajar, dan belajar. Dari sinilah kita berharap akan lahir anak-anak bangsa yang “kecanduan belajar”. Semoga.