GURU HALIMAH

Oleh : Wandra Ilyas

Guru Halimah ingin cepat pensiun. Dia sudah lelah dan jenuh. Umurnya sudah lima puluh lima tahun sekarang. Ada lima tahun lagi masa dinasnya. Kemampuan berpikirnya tidak secemerlang dulu lagi. Daya ingatnya menurun drastis. Dia sudah pelupa, rematiknya sering kambuh. Jalannya terkadang sempoyongan .
.
Katanya, mengajar siswa dahulu dengan sekarang jauh beda. Terutama masalah mental. Semangat belajarnya kurang. Bawaan mereka cuek dan tidak peduli. Daya juang rendah. Kepribadian di bawah standar. Motivasi atau dorongan orang tua minim. Program “parenting” kurang terlaksana.
.
Pernah suatu kali Guru Halimah didatangi orang tua siswa ke sekolah . Berawal dari nilai ujian harian seorang siswa rendah (tidak tuntas). Lalu dia memberi kesempatan kepada siswa tersebut mengulang ujian. Ternyata masih gagal. Kemudian diberi lagi tugas rumah. Juga tidak dikerjakannya. Akhirnya ditugasi membawa pupuk kandang, sebanyak satu kantong plastik sebagai pengganti.
.
Apa yang terjadi ? Keesokan harinya ibu siswa tersebut datang ke sekolah menemui Guru Halimah pakai mobil Pajero. Mengantarkan dua karung pupuk kandang yang dipanggul oleh sopirnya. “Ini tugas anak saya yang ibu minta untuk memenuhi syarat mendapatkan nilai”, kata ibu itu. Guru Halimah beristigfar dan geleng-geleng kepala. Karena proses pembentukan sikap mandiri dan tanggung jawab siswa telah diambil alih oleh orang tua. “Bu..tugas itu saya berikan bertujuan untuk melatih dia mandiri dan bertanggung jawab. Tidak harus ada yang selalu datang membantu. Kita berharap bila dia dewasa kelak, agar dapat melakukan sendiri kewajibannya. Apalagi kalau dia telah menjadi isteri atau ibu anak-anaknya seperti ibu sekarang”, ucap Guru Haliamah dengan suara agak ditinggikan, ketika ibu itu diajak Guru Halimah berbicara di dalam kantor. Ibu itu terdiam dan menundukkan kepalanya.
.
Tidak itu saja, tuntutan untuk guru semakin banyak. Beban guru terasa berat. Harus datang tiap hari. Ambil absen pagi dan waktu pulang. Mengajar 24 jam pelajaran. Perangkat mengajar harus dibuat. Walaupun itu hanya “copypaste” dari punya orang lain. Dan jarang menjadi acuan mengajar di depan kelas. Artinya hanya sebatas administrasi untuk mendapatkan tunjangan profesi (sertifikasi).
.
Kadang-kadang dia merasa berdosa pada siswanya. Dia lebih banyak sibuk dengan persiapan administrasi, dari pada mengajar di depan kelas. Mulai dari analisis SKL, KI dan KD sampai menyusun RPP dan evaluasi. Pembelajaran harus saintifik. Penilaian harus otentik. Dan harus mencakup kepada tiga ranah:. Pengetahuan, keterampilan dan sikap. Ada istilah “base learning”, porto folio, HOT, dan entah apalagi. Semuanya membebani pikran Guru Halimah. Kadang-kadang hal itu terbawa ke dalam tidurnya. Guru Halimah sering bermimpi dan menggigau tengah malam.
.
Walaupun Guru Halimah sudah mendapatkan informasi, bahwa Pak Menteri Nadiem akan menyederahanakan perangkat mengajar menjadi satu lembar. Tapi entah kapan itu akan dilaksanakan..
.
Ditambah kepala sekolah lebih banyak menuntut, dari pada memberi motivasi dan binaan. Kepala sekolah jarang berada di sekolah, bahkan sering dinas luar. Tugas dan fungsinya banyak diambil alih oleh wakil kepala sekolah. Sehingga wakil kepala sekolah acap kali jadi “umpatan” guru-guru.
.
Guru Halimah sudah mulai banyak mengeluh. Padahal selama ini sifatnya tidak begitu. Lebih-lebih bila giliran mengajar di lantai dua. Naik tangga lama baru sampai di atas. Bila mau buang air kecil harus turun lagi ke bawah, karena toilet di lantai dua tidak ada. Tiba di bawah air mati. Guru Halimah kembali mengeluh. Sekali-sekali dia mengumpat di dalam hatinya. Tetapi entah kepada siapa.

Sebenarnya Guru Halimah tidak mau memikirkan dan menyebut-nyebut semua itu. Tetapi hal ini selalu dihadapinya setiap hari. Isi kelas gemuk. Sempit dan tak terkendali. Kursi siswa sering tidak cukup. Belum lagi masalah papan tulis sudah mengabur dan pecah-pecah.. Ada apa ini, ucap Guru Halimah di dalam hatinya.’
.

Namun apa hendak dikata, Guru Halimah tetap bertahan dan menjalani tugasnya sehari-hari selaku pahlawan tanpa tanda jasa. Dia hadapi tantangan dan kesulitan yang ada dengan kemampuan yang ia miliki.
.
Dulu suaminya ada bekerja di perusahan daerah. Sehingga pemasukan untuk biaya rumah tangga cukup memadai. Tetapi, semenjak suaminya pensiun, gaji Guru Halimah sudah minus karena meminjam di Bank. Cicilannya masih tinggal dua tahun lagi. Untung ada uang sertifikasi yang menolong. Sehingga biaya kuliah si bungsu yang dirasa mahal masih bisa dia penuhi, walau agak terseok-seok. Oleh karena itulah Guru Halimah mengurungkan niatnya untuk pensiun dini.
.
Belum lagi saat ini Guru Halimah kuliah tiap hari Jumat dan Sabtu. Dia diberi waktu dua tahun untuk meningkatkan kualifikasi ijazahnya dari Diploma III ke Sarjana (S1). Bila hal itu tidak dilakukan maka Guru Halimah dianggap tidak sanggup memenuhi syarat untuk mendapatkan dana pengembangan profesi (sertifikasi) tersebut.
.
Tiba-tiba Guru Halimah tersentak dari lamunannya. Dia sedang melintas dari kampusnya untuk pulang ke rumah naik Bus Kota. Bunyi rem mobil berdenyit keras. Guru Halimah kaget setengah mati. Mukanya pucat. Dia sangat malu kepada orang-orang yang berada di sekitar itu. Tidak saja malu, rasa takutnya muncul. Ketika mobil sedan hitam yang hampir menabraknya menepi. Seorang laki-laki gagah perlente ke luar dari mobil dan berjalan ke arahnya. Dada Guru Halimah bergemuruh kencang. Apakah laki-laki itu akan memarahinya. Terus terang, tadi Guru Halimah sedang melamun dan tak disangka mobil sedan itu telah berada di dekatnya.
.
Kecemasan Guru Halimah bukan berkurang malah semakin bertambah ketika laki- laki perlente tersebut mengulurkan tangannya. Jangan-jangan laki-laki itu akan menghipnotisnya seperti cerita teman-temanya di sekolah. Laki-laki itu belum menurunkan tangannya untuk bersalaman. Melihat Guru Halimah takut dan kebingungan akhirnya dia berucap; “Saya Arman murid Ibu. Ibu. . . Ibu Halimah bukan?”
.
Menyebut nama Arman Guru Halimah cepat mengingatnya. Arman adalah anak pintar dari sekian anak pintar yang pernah ditemuinya selama mengajar. Dulu saat Guru Halimah menerangkan pelajaran di depan kelasnya, pandangan Arman lurus ke depan. Bila konsep di terangkan dengan jelas, Arman akan cepat menangkap dan tak akan pernah melupakannya.
.
Dulu …Halimah juga pernah mengatakan kepada guru-guru yang lain. Bila boleh ada nilai 10 plus, Arman akan diberinya nilai tersebut. Begitu saking pintarnya dia. Akhirnya dijabatnya tangan laki-laki yang bernama Arman itu. Seraya laki-laki perlente itu membungkukkan setengah badannya.
.
“Bu…saya ingin ajak Ibu sebentar.” Arman menunjuk ke mobil sedan hitam. Guru Halimah terlihat enggan dan berat hati. “Ibu tidak usah takut ada isteri dan anak saya di
mobil”. Guru Halimah menoleh ke sana, seorang wanita muda mengeluarkan kepalanya dan melambaikan tangan. “Bu. . . itu isteri saya, ayo Bu,” kata Arman meyakinkan.
.
Entah kenapa Guru Halimah mau saja ikut berjalan menuju mobil sedan hitam.
Arman membukakan pintu belakang, Guru Halimah duduk bersama isterinya Ema. Tiba di dalam mobil Ema menyalaminya dengan senyum ramah.

“Randi salam sama nenek”, kata Ema kepada anaknya.
Randi menyalami guru Halimah sambil membungkukkan badannya. Ramah dan baik hati sekali keluarga ini, kata Guru Halimah dalam hatinya. Dirinya merasakan suasana nyaman dalam mobil yang ditumpanginya. Dia tidak membayangkan akan dapat menikmati mobil semewah itu.
.

“Maaf Bu… waktu Ibu menyeberang tadi hampir tertabrak. Bang Arman langsung teriak: ‘Aduh…guru saya ! Bu Halimah !’ Abang langsung meminggirkan mobil, Ibu guru Idola Bang Arman” ucap Ema dengan suara datar dengan penuh kagum dan hormat.
“Ah…tidak seperti itu betul…”, jawab Guru Halimah.
“Benar Bu…Banyak yang kami dapatkan dari Ibu, di antaranya ucapan Ibu kepada kami: bahwa orang rajin bisa mengalahkan orang pintar. Kita boleh orang kampung, tapi tidak kampungan. Kita boleh beli yang murah, tapi tidak murahan”, ucap Arman penuh bangga.

Guru Halimah haru, mendengar kata-kata dia dulu diulang Arman kembali.

“Maaf… Ibu masih mengajar….”, tanya Arman kemudian.

“Masih…tadi Ibu pulang kuliah,” jawab guru Halimah.

“Oh,… seperti kata Ibu dulu. Untuk menutut ilmu sepanjang hayat dan tak ada batasnya,” kata Arman mengingatkan masa-masa di bangku sekolah dulu.
.

Guru Halimah sedikit malu dengan dirinya. Ucapan dia kepada Arman dulu dengan yang dijalaninya sekarang agak berbeda. Sekarang dia menjalani kuliah karena dia diberi waktu dua tahun untuk meningkatkan kualifikasi ijazahnya dari Diploma III ke Sarjana (S1). Sekarang hanya tinggal satu semester lagi. Bila hal itu tidak dilakukannya maka Guru Halimah dianggap tidak dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan dana pengembangan profesi (sertifikasi).
Mobil dihentikan Arman di Jalan Imam Bonjol.
“Kita ke mana…?” tanya guru Halimah.
“Ikut saja dulu Bu,” jawab Ema, dan Arman bergegas membukan pintu mobil.
Mereka membawa guru Halimah ke dalam sebuah “boutique” yang di dalamnya ada menjual baju, tas dan sepatu wanita. Guru Halimah bingung dan salah tingkah.
“ Bu . . silakan Ibu pilih, saya sudah niat,”’ ucap Arman dengan suara yang sopan.
“Nggak…nggak… tidak usah !”, jawab Guru Halimah tidak menentu.
“Maaf Bu, kalau begitu biar isteri saya saja yang pilihkan,” kembali suara Arman merendah dengan sopan sekali.
Kali ini guru Halimah tidak menjawab, bukan pula menyatakan setuju tetapi tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Tolong ambilkan yang tergantung sebelah kiri,” kata isteri Arman kepada pelayan toko.
Guru Halimah masih sempat melihat baju yang diturunkan. Warnanya merah bata dan ada motif hiijau di dalamnya.
“Ini bisa dibawa Ibu untuk pergi pesta atau acara-acara tertentu,” terdengar suara Ema kepada suaminya, walaupun jarak Guru Halimah dengan mereka cukup jauh. Kalimat itu serasa menohok pikirannya. Guru Halimah sudah hampir setahun tidak ada membeli baju baru setelah lebaran tahun lalu. Untuk menghadiri undangan pesta, Guru Halimah sering memakai baju dinas. Kebetulan undangan pesta sudah banyak di hari sekolah bukan lagi di hari Minggu atau Sabtu.
Beberapa lama terdengar lagi ucapan, “Tas yang warna hijau itu berapa.”
Guru Halimah masih sempat mencuri pandang kepada tas yang diminta Ema isteri Arman. Tas itu bagus sekali menurut Guru Halimah. Ada logam yang melingkari setengah badan tas. Juga ada mainan menjuntai di samping tas dengan inisial CH.
“Berapa?” suara Ema bertanya lagi, antara terdengar dengan tidak.
“Dua juta Bu,” jawab pelayan toko.
Bagi Guru Halimah jawaban itu bagaikan petir serasa menyambar dirinya. Seumur-umur Guru Halimah tidak pernah membeli tas seharga itu. Dia menundukkan wajahnya ke tas yang ada di pangkuannya. Sudah lusuh, talinya mulai mengembang dan kulitnya sudah ada yang terkelupas. Dulu dibelinya dua ratus sepuluh ribu.
Tiba-tiba pelayan toko bersuara di dekat Guru Halimah, “Kalau ukuran Ibu ini nomor tiga delapan.”
Guru Halimah terdongak melihat pelayan toko dan Ema sudah berada di dekatnya. Sementara Arman dan anaknya berada di sudut arah selatan. Berarti Ema menanyakan ukuran sepatu Guru Halimah ke pelayan toko, dan pelayan toko betul-betul tepat menebak nomor sepatunya.
.

Guru Halimah merasa asing dan bingung. Apalagi melihat pelayan toko mengambil sepasang sepatu hitam yang dipunggungnya ada mainan logam putih berbentuk bunga. Guru Halimah tidak ingin mendengar harga sepasang sepatu itu dan juga tak ingin Arman dan isterinya memperlakukannya sedemikian rupa.
.

Kembali Guru Halimah menundukkan kepalanya ke lantai. Matanya tertuju ke sepatunya yang telah usang. Seminggu terakhir ini ujung jari kelingkingnya terasa sakit. Ternyata ujung sepatunya bermasalah. Guru Halimah sudah berniat mengantispasi dengan membawa ke tukang sol sepatu, tetapi toh belum sempat juga.
.
Mereka bergerak ke meja kasir. Arman membuka dompetnya. Guru Halimah mengira Arman akan mengeluarkan uang ternyata tidak. Ada berbentuk kartu penduduk yang diberikannya kepada kasir berhijab warna ungu muda. Guru Halimah yakin kartu itu bukan kartu penduduk. Bisa jadi kartu kredit yang sering didengarnya. Kalau belanja tidak perlu dengan uang kontan tetapi menggunakan kartu kredit tersebut. Kembali dirasakan oleh Guru Halimah pengalamannya di bidang itu jauh tertinggal.
Ada dua kantong belanja yang diberikan kasir kepada Ema kemudian diberikan kepada anaknya Randi untuk dibawa ke mobil.
“Ayo Bu, kita makan dulu ke Rumah Makan Simpang Raya,” ucap Arman sambil menuju ke luar.
Tentu Guru Halimah mau saja mengikuti mereka, walaupun pikirannya kosong dan badannya ringan. Entah malu, entah apa. Pokoknya tak karuan.
“Saya tidak pernah lupa, Ibu orangnya disiplin. Masuk kelas tepat waktu, begitu juga ke luar kelas. Mengajar enak dan konsep-konsep pelajaran yang Ibu berikan cepat kami tangkap.” Arman bercerita di hadapan isteri dan anaknya sambil menunggu hidangan.
Guru Halimah mengiyakan ucapan Arman di dalam hatinya, karena sampai sekarang disiplin seperti itu masih melekat pada dirinya.
“Ibu masuk kelas selalu mengucap salam. Lalu Ibu meletakkan buku di atas meja. Terus berjalan ke belakang melalui jalur bangku kami. Ibu memutar dan kembali ke depan. Ibu menatap mata kami satu persatu. Kemudian baru menulis di papan tulis. Pertama tanggal dan judul pelajaran yang akan Ibu berikan serta tujuan yang hendak dicapai,” kata Arman menambahkan.
Guru Halimah kaget dan terpana, dia heran dan bercampur bangga. Memang seperti itukah dia?
.
Tiba-tiba Ema memecah suasana dengan bercerita begini kepada Guru Halimah.
“Bu, Bang Arman ada bercerita beberapa kali tentang Ibu kepada saya. Termasuk mata pelajaran yang Ibu ajarkan adalah salah satu yang disenangi Bang Arman. Kata Bang Arman, Ibu sangat beda. Hal itu terlihat dari kertas ulangan yang Ibu periksa. Tiap jawaban dikoreksi dengan pena merah. Kalau salah ada perbaikannya. Tiap jawaban ada standar nilai. Kertas ujian diparaf dan pakai tanggal.” Sampai disitu Guru Halimah menghela nafasnya dalam-dalam.
.
Kemudian Arman menambahkan cerita Ema isterinya: ”Bu…saat Saya melanjutkan ke-SMA di Jakarta, suatu kali dua orang guru memanggil Saya ke kantor. Saya cemas sekali. Apa kesalahan yang Saya lakukan. Ternyata… kedua orang guru itu menanyakan siapa guru Bahasa Indonesia saya sebelumnya. Bu . . .tahu Ibu….saya menyebut nama Ibu”. Tiba-tiba Arman berhenti. Air matanya menggenang. Dengan suara serak Arman melanjutkan kata-katanya. “Sampai-sampai semua kertas ulangan dan buku catatan waktu belajar dengan Ibu dipinjam guru tersebut”. Sampai di situ Guru Halimah tidak menyadari air matanya berjatuhan di pipinya.
.
“Maaf… hari ini hari yang luar biasa”, suara Arman agak tertahan. Guru Halimah bingung apa maksud Arman.
“Waktu sekolah saya pernah masuk kantor guru mengantarkan tugas. Saya lihat nama Ibu di papan data, lahir tanggal 4 Mei. Sejak itu saya tak pernah lupa. Allah mempertemukan kita hari ini. Ibu berulang tahun hari ini. Selamat Ulang Tahun, Bu . . ”
Mata Arman berkaca-kaca sambil menyalami Guru Halimah. Ema menyeka sudut matanya dengan ujung jilbabnya. lalu memeluk Guru Halimah. Randi mencium tangan Guru Halimah dan mengucapkan selamat ulang tahun dengan suara pelan.
Guru Halimah betul-betul tidak bisa menahan haruya. Mula-mula dadanya sesak terus naik ke tenggorokan. Meledaklah tangisnya, ketika Ema isteri Arman memberikan dua kantong belanja berisi tas, baju dan sepatu untuknya.
Guru Halimah teringat anak-anaknya, teringat suaminya dan teringat rumahnya. Padahal Guru Halimah sering lupa tanggal lahirnya. Paling nanti malam anak-anaknya akan menelpon mengucapkan selamat ulang tahun. Guru Halimah mencoba memandang Arman, Ema dan anaknya Randi. Tenggorakannya kembali tersekat. Guru Halimah tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Akhirnya Guru Halimah kembali memeluk Ema isteri Arman..**2,6 rbAnda, Dasmir Inyiak, Mulyadhie Wijaya Ry dan 2,6 rb lainnya1 rb K

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *