Perjuangan Dosen dan Mahasiswa Tahun Akhir

Saya Muhammad Ihsan Zul, S.Pd., M.Eng. Sengaja menulis gelar lengkap untuk menandai bahwa Saya adalah dosen dengan gelar Sarjana Pendidikan di PCR. Gelar ini beberapa kali Saya jadikan guyonan di kelas. Karena Saya lebih tepat mengajar mereka saat menjadi siswa bukan mahasiswa. Ya, gelar Saya sama dengan gelar guru-guru mereka. Benar saja, beberapa teman yang menempuh pendidikan S1 dengan Saya, mayoritas sudah menjadi guru dan beberapa sudah menjadi pejabat di sekolah-sekolah mahasiswa yang saat ini Saya ajar. Kalau dilihat dari keselarasan horizontal, barangkali lulusan sarjana pendidikan memiliki nilai persentase keselarasan yang sangat tinggi.

Saya tidak berniat menjadi Guru tapi Saya bercita-cita menjadi dosen. Niat hati mau kuliah S1 di Unand, tapi apa boleh buat, nilai tidak sampai passing grade, bahkan mendekatipun tidak. Akhirnya lulus di pilihan kedua. Terima dan jalani sebaik-baiknya. Oiya, mohon bagian ini jangan dijadikan poin untuk membully ya 104! Nanti Kita atur perang almamaternya.

Kuliah berbeda dengan sekolah. Kemandirian adalah kuncinya. Kita dapat menentukan arah dengan memilih bagaimana Kita menghadapi perkuliahan. Bagi Saya itu adalah perjuangan. Di kelas Saya sering mengatakan “Kamu boleh menangis ketika menghadapi masalah yang luar biasa, karena mungkin itu adalah cara untuk kembali. Tapi pastikan setelah menangis kamu akan menjadi manusia baru, yang siap untuk kembali berperang! Ini perjuangan”.

Kalimat itu Saya ulang-ulang seperti beo yang mendengar kata baru di awal semester. Kalimat tersebut bukan hal yang baru bagi mayoritas orang. Tapi, Saya harus mengucapkannya karena “mungkin” saat muda (mungkin remaja atau sepanjang kuliah) Saya pernah mengalami, mendapati dan mengamati kejadian-kejadian yang tidak mengenakan yang berhubungan dengan guru dan dosen. Sehingga dalam hati yang paling dalam Saya bertekad, “Saya tidak akan menjadi seperti beliau itu”. Tekad inilah yang menjadi landasan, cara pandang dan cara bersikap dalam mengajar, mendidik dan membimbing. Bahwa mahasiswa dan Saya (sebagai dosen) sedang bekerja sama dalam sebuah perjuangan untuk menggapai masa depan. Tidak ada cara lain selain berjuang bersama.

Tahun 2013, ketika baru bergabung dengan PCR, Saya ditugaskan Almarhum pak Yusapril untuk membimbing seorang mahasiswa yang telah lewat 8 semester. Alm Pak Yusapril menitipkan anak tersebut ke Saya untuk dibimbing sampai lulus. “San, ini ada anak G8, tapi masih belum lulus, belum punya judul dan Saya titipkan ke isan ya. Mohon dibimbing agar bisa menyelesaikan pendidikannya”, kira-kira itulah yang disampaikan Alm Pak Yusapril pada saat itu. Saya mengajak mas Fadhly saat itu untuk menjadi pembimbing kedua.

Saat anak itu datang menjumpai Saya, Saya bertanya perihal kecenderungan Proyek Akhir beliau. Maksudnya untuk mengetahui skill apa yang dimilikinya sehingga mempermudah dalam menentukan judul yang akan dikerjakannya. Hasilnya, nihil, anak itu datang tanpa persiapan (kosong, hampa). Tapi poin positifnya, anak ini memiliki perilaku dan cara komunikasi yang sangat baik. Sehingga Saya menaruh simpati kepadanya. Akhirnya, Kami memberikan judul khusus kepadanya. Dipandu dengan baik hingga bisa menyelesaikan algortima. Selama bimbingan jangan ditanya, entah berapa kali mangkir dari jadwal bimbingan Saya. Alasannya banyak, salah satu yang paling fenomenal adalah ikut serta dalam perlombaan Game Online di Bandung (serius ini).

Akhirnya anak ini tetap dapat melaksanakan sidang pada tahun itu juga. Saya tidak dapat menemani sidangnya, karena ada aktivitas lain. Beberapa jam setelah sidang, beliau datang ke ruangan. Seperti biasa, anak ini datang dengan senyam-senyum, setelah Saya terawang, itu adalah senyum kecemasan setelah melewati masa pembnti*n. Anak ini berhasil lulus, nilainya tidak tinggi dan tidak rendah. Dan wisuda tahun 2013.

Lama tidak berjumpa, akhirnya kami berjumpa di sosmed (setelah 2 atau 3 tahun). Kalimat terakhir yang dituliskan kepada Saya adalah “jangan menjadi tua pak Ihsan”. Maknanya cukup dalam dan bisa ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang. Hasil penelusuran terakhir, beliau bekerja di perusahaan alat-alat IT (pastinya lupa) di Jakarta. Beliau bekerja dan tidak menganggur.

Cerita lain. Saya diamanahani membimbing mahasiswa Teknik Komputer G12. Beliau adalah mahasiswa dengan IPK rata-rata, mungkin rata-rata ke bawah, atau di bawah rata-rata (supaya jelas). Proyek akhirnya adalah judul penelitian Saya sebelumnya dengan mahasiswa Teknik Komputer (TK) G11. Mahasiswa TK G11 ini adalah mahasiswa terbaik di kelasnya, beliau cepat belajar dan mudah memahami segala sesuatu. PA-nya selesai dengan lancar dan lulus dengan nilai tinggi.

Anak TK G12 ini berbeda, beliau ragu-ragu dalam berbicara. Kadang Saya ingatkan untuk tegas dengan nada yang agak tinggi. Tapi anak ini merespon dengan cara yang sama, maksudnya sama ragu-ragunya dan kadang membuat Saya bingung harus berbuat apa. Beberapa kali beliau menjawab dengan suara yang agak bergetar, seperti ketakutan. Tapi siapa yang tau, anak ini memiliki etos kerja yang tinggi dan mampu melakukan pekerjaan penelitian tersebut dengan serius. Pekerjaannya tidak banyak, cuma memakan waktu yang lama dan tidak bisa dikerjakan pada hari kerja. Tugas penelitian itu “cuma” (lagi) memetakan data RSS (kekuatan sinyal wifi) di semua area lantai 1 gedung lama. Untuk memetakannnya, anak tersebut harus membuat grid lantai 1 setiap 1 meter. Setiap titik ditandai dengan lakban. Pekerjaan ini juga disebut dengan nama fingerprint, tujuannya untuk indoor localization. Sebanyak 3 atau 4 kali bimbingan, data yang diajukan selalu saja salah, dan kesalahan tersebut fatal. Akibatnya beliau harus mengulang melakukan fingerprinting. Meskipun mengulang anak ini tetap mengerjakan dengan konsisten, ya kadang konsisten juga kesalahannya.

Anak ini berhasil sidang lebih cepat jika dibandingkan dengan sebagian besar teman-teman sekelasnya. Saya menganggap anak ini anak yang pantang menyerah, selalu berjuang maskipun mengulang-ulang. Itulah jalan yang beliau tempuh untuk memahami dan menguasai apa yang dikerjakannya. Kabar terakhir  beliau sudah lulus S1 dan bekerja di subkontraktor Chveron di Duri, sebagai programmer.

Tahun 2016 dan 2017, Saya mendapat mahasiswa bimbingan yang super. Super hebat dan super cepat. Anak-anak super ini tidak perlu dijelaskan panjang lebar. Cukup dengan clue saja, maka mereka akan mengerjakan banyak hal di luar batasan penelitian (offside). Sebagai pembimbing yang budiman, Saya harus menghentikan gerak-gerik mereka yang mulai tidak terkendali. Kadang harus mengajak mereka untuk kembali merenung dan melihat waktu. Apakah bisa selesai tepat waktu jika tidak menahan diri? Akhirnya beliau tobat dan kembali ke jalan yang seharusnya. Informasi terakhir yang Saya dapat, beberapa dari mereka bekerja di perusahan-perusahaan terkemuka di dalam dan luar negeri.

Tahun 2018 Saya mendapati kelompok mahasiswa bimbingan yang kooperatif dan disiplin, ada yang mengerjakan proyek penelitian Saya (bersama ISM) dan ada yang meneliti di bidang yang Saya sukai. Anak-anak ini bekerja sangat kooperatif dan memiliki jadwal yang teratur. Setiap selesai melakukan sesuatu, pasti mereka akan melaporkan capaian dengan baik dan menunjukan progres yang nyata, terstruktur dan rapi. Mendapat anak-anak seperti ini terasa sangat memudahkan pekerjaan. Sehingga target-target publikasipun dapat dicapai dengan baik. Alangkah indahnya. Mahasiswa bimbingan dengan tipikal seperti ini adalah impian dosen yang fokus meneliti dan membutuhkan personil tambahan dalam menyelesaikan penelitiannya. Tahun 2018 termasuk tahun paling produktif bagi Saya jika dilihat dari sisi Publikasi. Hal ini dapat terjadi karena mendapat dukungan dana melalui hibah penelitian. Dan sebab lainnya karena memiliki personil yang siap tempur. Semua penelitian yang dikerjakan bersama mahasiswa didanai melalui hibah, mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk meneliti, dan mereka juga Kami kompensasi atas usaha tersebut.

Tahun 2019, Saya membimbing seorang mahasiswa lewat semester. Seharusnya beliau wisuda tahun 2018, namun beliau belum mampu menyelesaikan PA-nya. Mahasiswa ini adalah anak yang baik dengan capaian akademik di atas rata-rata, dan cenderung tinggi. Namun beliau tidak dapat wisuda tepat waktu, sejak Agustus 2018, beliau menghilang tanpa kabar. Tahun 2019 setelah 1 purnama tidak berjumpa, Saya menanyakan alasan mengapa beliau tidak datang bimbingan. Saya tidak mendapatkan jawaban konkret yang memuaskan. Pertanyaan itu Saya tanyakan beberapa kali, hingga akhirnya Saya menebak-nebak beberapa alasan yang mungkin dan bisa saja dialaminya. Beliau tetap bergeming dan Saya menyerah.  Beliau memulai bimbingan dengan rutin dan terstruktur, karena risetnya berhubungan dengan penelitian Saya, maka Saya bekali beliau dengan kamera yang Saya miliki. Selama meneliti, beliau tidak perlu mengembalikan kamera tersebut kepada Saya, silahkan dibawa berjalan-jalan. Hingga akhirnya beliau bisa menyelesaikan pendidikannya dan mendapat pekerjaan sebelum wisuda.

Beberapa hari sebelum wisuda, beliau datang ke ruangan Saya. Saat itu beliau menceritakan alasan mengapa beliau menghilang begitu saja, alasan tersebut sama sekali bukan karena malas (game online dan nongkrong gaje), kondisi finansial atau hal lain. Lebih tepatnya masalah keluarga. Beliau menceritakan kondisi yang dialaminya pada akhir tahun 2018 (cukup haru). Kondisi tersebut berbalik 180 derjat ketika beliau dinyatakan lulus dan akan wisuda pada tahun 2019. Berita baiknya lagi beliau diterima bekerja sebelum wisuda (Saya tidak bisa menceritakan lebih jauh). Dengan kondisi yang dihadapi, beliau mampu bangkit untuk mengambalikan keadaan. Meskipun beliau membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali. Bisa jadi capaian itu jauh lebih baik dari apa yang dibayangkan orang lain. Ceritanya perjuangan beliau ini cukup membuat Saya meneteskan air mata pada saat itu. Saya menaruh hormat kepada beliau ini. #hormat.


Semua cerita tersebut adalah beberapa potongan kejadian yang Saya alami selama menjadi pembimbing mahasiswa untuk menyelesaikan studinya, penuh lika-liku dan perjuangan. Kita dapat membayangkan bahwa mereka memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda. Dengan perbedaan itu bukan berarti mereka tidak memiliki kelebihan. Melalui upaya dan jerih payah Kita (sebagai dosen), mereka mampu menunjukkan potensi yang mungkin selama ini tidak pernah terlihat. Akhirnya mereka dapat menyelesaikan perjuangannya dengan dianugerahi gelar Diploma dan Sarjana. Meskipun nilai yang didapatkan beragam, ada yang maksimal, normal dan ada yang kurang. Itulah capaian terbaik dari hasil perjuangan mereka. Tapi apakah nilai tersebut menjadi halangan bagi mereka untuk nanti bermanfaat di dunia kerja dan di masyarakat? Tentu tidak cukup jika hanya dengan satu parameter saja.

Berdasarkan hasil tracer study yang dirilis, nilai (IPK) dan pekerjaan memang memiliki hubungan. Namun nilai (IPK) bukanlah satu-satunya yang menentukan. Nilai-nilai dan budaya yang diterapkan di PCR merupakan modal dasar yang dimiliki oleh lulusan untuk berkarir di luar sana. Nilai-nilai yang dijalankan secara konsisten terbukti mampu menghasilkan lulusan yang tekun, disiplin, berintegritas, memiliki etos kerja dan pantang menyerah. Semua nilai-nilai itu sejalan dengan apa yang disampaikan oleh pemberi kerja berdasarkan survei yang Kami lakukan di Bidang Pemasaran, Kerja Sama dan Alumni. Tak heran banyak perusahaan berusaha mendapatkan lulusan PCR untuk dapat bekerja di tempat mereka. Ada yang datang secara rutin setiap tahun dan bahkan ada yang datang dua kali dalam setahun.

Bagi mahasiswa dan alumni PCR yang pernah berinteraksi dengan Saya, Saya selalu mendoakan agar teman-teman menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, dengan cara dan kadar yang berbeda-beda. Tetaplah menjadi manusia yang sopan, tekun, disiplin, berintegritas, memiliki etos kerja dan pantang menyerah. Manusia yang siap berjuang untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Setidaknya terbaik bagi diri sendiri dengan memaksimalkan usaha. Kita tidak tau, kapan akan berjumpa lagi, bisa jadi salah satu dari teman-teman adalah penyelamat Kami suatu saat nanti, siapa yang tau.

Teruntuk semua mahasiswa dan alumni PCR, khususnya alumni yang pernah Saya bimbing, Saya uji dan diajak berdiskusi, mohon maaf tidak bisa menyebutkan nama teman-teman satu persatu. Salam perjuangan.

Idealisme yang Saya jalankan dalam mendidik banyak dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang Saya alami selama menempuh pendidikan dan berinteraksi dengan orang lain. Selama kejadian itu baik, maka Saya berusaha untuk melakukan kebaikan tersebut. Setidaknya Saya berusaha untuk melakukannya, meskipun kadang, mungkin, tanpa sadar pernah melakukan yang sebaliknya.

Selamat 20 Tahun PCR

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *