BUDI DAN KEBERADAAN PANGULU DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU

Zulkarnaini Diran

1. Pengantar

Nenek moyang Minangkabau membuat adat. Tujuannya untuk menata kehidupan masyarakatnya. Dengan adat masyarakat dapat mngatur kehidupannya. Adat memberikan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan dalam kehidupan individu dan kehidupan bermasyarakat. Adat ibarat rel kereta api. Di atas rel itulah roda-roda kehidupan menggelinding . Jika roda keluar dari rel, kecelakaan dapat terjadi, musibah datang menghantam kehidupan manusia. Dengan adat itu masyarakat Minangkabau mempertahankan segi-segi kehidupannya yang khas secara turun-temurun.

Adat Minangkabau adalah adat yang lentur atau fleksibel. Diungkapkan di dalam kato pusako, adat dipakai baru, kain dipakai usang. Artinya adat Minagkabau akan bermanfaat sepanjang zaman jika tetap dipakai sebagai pedoman hidup . Sebaliknya, ia akan menjadi barang bekas jika tidak dipakai lagi. Jika adat tidak dipakai, berarti sebagian dari pegangan hidup orang Minagkabau hancur dan sirna ditelan gebalau zaman.

Supaya jalan jan dialiah urang lalu, cupak jan dipapek urang manggaleh, maka, makalah sederhana ini mencoba mengulang kembali kaji lamo (kaji lama) dan membahas kembali adat lamo pusako usang, barih balabeh rang tuo-tuo, cupak jo gantang niniak muyang. Dengan membahas kembali sisi-sisi adat itu, diharapkan memenuhi pesan kato pusako: pasa jalan dek batampuah, lanca kaji dek baulang.

Makalah sederhana ini bertujuan untuk mengingatkan kita bahwa Minangkabau memiliki budaya yang tinggi. Dengan memahami budaya yang tinggi itu, masyarakat Minangkabau tidak perlu mencari-cari budaya lain untuk mengatur kehidupannya. Diharapkan, kita dan anak kemenakan tidak tertipu oleh budaya Asing yang merembes ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Hendaknya jangan sampai terjadi seperti yang dirisaukan oleh ungkapan, dek elok kilek loyang datang, intan disangko kilek kaco, jalan dialiah dek rang lalu, cupak dipapek urang manggaleh, adat dialiah dek rang datang. Dek rancak rupo tajam mato cangkua, tanah bato manjadi data, padang diambiak kapanetek. Dek rancak dendang tukang gandua, indak tahun baranglah batuka,  gadang batuka jo nan ketek.

Untuk itu, makalah sederhana ini mengajak peserta pertemuan ini mambaliak tambo lamo, mambukak pusako usang, buatan niniak muyang kito. Mudah-mudahan, kita dan anak cucu kita tidak tercerabut dari akar budayanya.

Pokok pikiran yang terdapat di dalam makalah ini adalah: (1) Kedudukan Budi di Minangkabau; (2) Budi Menata Kehidupan Masyarakat; (3) Masihkan Pangulu Perfungsi? (4) Rekomendasi dan Diskusi. Dengan keempat pokok pikiran itu diharapkan isi makalah ini dapat dijadikan sebagai landasan dan bahan diskusi dalam pertemuan yang sangat penting ini.

2. Kedudukan Budi di Minangkabau

Panakiak pisau sirawik,

ambiak galah batang lintabuang,

silodang ambiak kanyiru

Satitiak jadikan lawik,

sakapa jadikan gunuang,

alam takambang jadi guru

Ungkapan di atas tidak dapat dicerna dengan logika biasa. Kita memerlukan kearifan untuk memahaminya. Sebagaimana lazimnya ungkapan Minangkabau, trerdiri atas kalimat-kalimat pendek yang dalam maknanya dan luas artinya.  Kita memerlukan pengetahuan yang dalam dan luas untuk memasuki lautan kata-kata dan belantara ungkapan kato pusako seperti itu. Orang yang mampu mencernanya ialah:

Urang nan arif bijaksano, tahu jo ombak nan badabua, tahu jo angin nan basiru, tahu jo kieh kato sampai, alun dimakan lah taraso, rasolah tibo dalam tubuah, alun bakilek lah bakalam, takilek ikan dalam aia, lah tantu jantan batinonyo.

Orangnya ialah para niniak mamak, pamangku adat, nan gadang basa batuah, nan tahu jo ereng dengan gendeng, tahu jo runciang ka mancucuak, tahu jo latiang kamanganai, tahu jo dahan kamaimpok, ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito. Orangnya ialah Mamak-mamak yang kini sedang berkumpul dalam majelis  yang terhormat ini.

Satitiak dalam ungkapan di atas ditafsirkan bermacam-macam oleh masyarakat. Sebagian pakar budaya Minangkabau mengartikannya budi. Sedangkan sakapa diartikan sebagai hasil pekerjaan budi. Mengikuti jalan pikiran pakar ini, budi menjadi warisan utama nenek moyang Minangkabau untuk generasi penerusnya. Sedangkan alam takmbang jadi guru diartikannya, budi yang dimiliki oleh orang Minangkabau adalah budi yang mencontoh,  meniru, dan berguru kepada alam.

Jadi, dengan demikian, adat Minangkabau warisan nenek moyang itu pada hakikatnya ialah budi. Semua pernyataan, ungkapan, dan perbuatan adat mengarah kepada budi baik. Hal itu dinyatakan:

Nan kuriak kundi,

nan merah sago,

Nan baiak budi,

nan endah baso.

Budi menjadi inti adat Minangkabau. Adat itu sendiri ialah budi. Dengan budi manusia dapat mengendalikan dirinya. Budi membuatnya kenal dengan raso jo pareso, dengan sopan santun, dan dengan raso malu. Dengan berbekal budi baik dan tinggi, kehidupannya lebih manusiawi. Budi pulalah yang membuatnya bertahan menghadapi zaman yang senantiasa berkembang dari masa ke masa. Dengan budi pula ia memelihara sako jo pusako. Sebaliknya, jika budi sebagai inti adat ditinggalkan, kehidupan akan ambruk, keadaan akan kacau, diri akan rusak, masyarakat akan celaka, dan musibah akan datang silih berganti menimpa kehidupan. Dipesankan di dalam pantun adat seperti berikut:

Hiduik batungkek batang bodi,

mati bapuntiang di tanah sirah.

Jikok pandai bamain budi,

di dalam aia badan tak basah.

3. Budi Menata Kehidupan Masyarakat

Orang Minangkabau hidup dengan mengandalkan budi. Sangat banyak ungkapan, pernyataan, petatah, dan petitih yang berbicara tentang budi. Dalam berpikir, berucap, dan berbuat budi selalu menjadi tumpuan orang Minangkabau. Budi menjadi patron dalam hidupnya. Ia akan sengsara, menderita, dan kecewa dalam hidupnya jika budi ia tinggalkan. Seperti diungkapkan dalam pantun adat berikut:

Dek ribuik rabahlah padi,

bak cupak Datuak Tumangguang.

Hiduik  kalau tak babudi,

duduak tagak kamari cangguang.

Dahulu, seorang ibu atau ayah, senantiasa berdoa untuk anaknya. Jika kelak anaknya dewasa, ia doakan supaya menjadi orang. Menjadi orang dalam hal ini dimaknai sebagai orang yang berbudi. Bagaimana dengan doa ibu dan bapak sekarang untuk anak-anaknya? Mari kita mengoreksi dan mengitrospeksi diri!

Sejak seorang anak mengenal kehidupan sosial, bergaul dengan sesama, telah dibekali dengan budi. Ditanamkan kepadanya bahwa budi adalah segala-galanya, bahwa budi lebih tinggi nilainya dari kecantikan, dari harta, dan dari yang lain-lain. Diungkapkan dalam pantun berikut:

Babelok babilin-bilin,

batungkek batang kaladi.

Rupo elok kami tak ingin,

budi baiak nan kami  cari. 

Jika anak mulai remaja (urang mudo) diharapkan budi menjadi pegangannya. Ia bergaul sesama remaja dalam lingkaran budi. Mereka belajar hidup di dalam masyarakat, bahkan mengambil peran di dalam masyarakat sebagai anggota muda masyarakat. Itulah yang yang dikatakan di dalam ungakapan: rang mudo salendang dunia, nan capek kaki ringan tangan, capek kaki indak panaruang, ringan tangan indak pamacah, alun dipanggia inyolah datang, alun disuruah inyo lah pai. Pada saatnya, setelah seorang anak Minangkabau benar-benar telah dewasa (beristri: laki-laki, bersuami: perempuan), ia benar-benar telah memiliki budi. Manusia-manusia Minangkabau seperti inilah yang kemudian dikenal dengan manusia beradat.

Pendidikan budi diberikan dalam bentuk pemberian teladan. Orang tua, mamak, cendekiawan, dan pemuka masyarakat memberikan contoh dan teladan orang berbudi kepada generasi mudanya. Yang muda-muda memiliki tokoh ideola, tokoh panutan di dalam masyarakat. Adakah kita memberikan contoh kepada anak kemenakan kita? Mari kita lakukan kreksi terhadap diri kita!

Masyarakat Minangkabau hidup secara kolektif. Mereka hidup dalam keber-samaan. Jika salah seorang dari anggotanya mendapat penghargaan seprti jabatan, semuanya akan merasa bangga. Sebaliknya, jika seseorang mendapat malu, semua anggota kolektif akan merasa malu. Hal yang sama juga berlaku untuk mempertahankan diri dari gangguan yang datang dari luar. Diungkapkan dalam kato pusako, tibo di suku partahankan suku, tibo di kampuang partahankan kampuang, tibo di nagari partahankan nagari.

Kekolektifan itu diikat oleh tali kekerabatan. Pada umumnya masyarakat di dalam suatu nagari di Minangkabau memiliki ikatan kekerabatan. Ikatan itu terjadi karena dua hal. Pertama karena sekaum atau sesuku, kedua karena perkawinan. Dari kedua ikatan itu lahirlah masyarakat nagari yang berhubungan erat dan bertali-temali. Jika dicari menurut tali kekerabatan, akan selalu saja ada hubungan antara satu keluarga dengan keluarga lain, antara satu individu dengan individu lain. Pada hakikatnya, kekerabatan itu dibuhulkan oleh tali budi. Di sinilah budi merekat hubungan dan menata kehidupan masyarakat Minangkabau.Apakah masih kita pertahankan ikatan budi dalam kekrabatan kita, dalam hubungan anak kemenakan, ipa bisan, bako baki, induak bako anak pisang? Inilah yang perlu kita koreksi lagi.

4. Masihkah Pangulu Berfungsi?

Tidak dapat dimungkiri. Keadaan memang telah berubah. Terjadi pergeseran nilai-nilai di dalam masyarakat. Akibat kemajuan teknologi dan informasi , pergeseran nilai-nilai itu sukar dibendung. Budaya tradisional dan budaya dasar masyarakat terpengaruh olehnya. Pengaruh itu juga sampai kepada kedudukan pangulu dalam masyarakat. Ada yang beranggapan bahwa eksistensi pangulu mulai berkurang. Kadang-kadang pangulu hanya tinggal sebagai lambang belaka. Benarkah demikian? Tentu sangat tergantung kepada penggunaan ungkapan adat dipakai baru, kain dipakai usang.

Bagaimanapun, pergeseran nilai-nilai di dalam masyarakat, pada hakikatnya tidak akan mengubah kedudukan pangulu di Minangkabau. Menurut adat Minangkabau ada empat tugas pokok pangulu. Keempat tugas itu adalah: (1) manuruik alua nan luruih; (2) manampua jalan nan pasa; (3) mamaliharo harato pusako; dan (4) mamaliharo anak-kamanakan. Keempat tugas itu sebenarnya masih dapat dilaksanakan dalam kondisi sekarang. Masalahnya, apakah pangulu sekarang mampu melaksanakan tugas pokok  itu secara optimal? Inilah yang perlu direnungkan oleh para pemangku adat, nan gadang basa batuah.

Manuruik alua nan luruih maksudnya pangulu harus melaksanakan tugas-tugas kepanguluannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan adat lamo pusako usang yakni meletakkan sesuatu pada tempatnya yang dilandaskan kepada kato pusako yakni petatah dan petiti. Petatah merupakan hukum dasar dan petiti merupakan batasan ketentuan pelaksanaannya. Petatah dan petiti merupakan ungkapan yang luas dan dalam maknanya.

Petatah yang menyatakan malatakkan sasuatu pado tampeknyo dijelaskan dengan petiti sebagai berikut:

Mamahek manuju barih, tantangan bana lubang katambuak, malantiang manuju tangkai, tantangan bana buah karareh, manabang manuju pangka, tantangan bana batang karabah, tantangan nan sakik lakek ubek, tantangan ukua nan dikarek, tantangan barih makanan paek.

Manuruik alua nan luruih pada dasarnya dapat dilakukan dalam kondisi yang bagaimanapun. Pada masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang hal itu masih tetap dapat dilakukan. Oleh karena itu sehubungan dengan tugas pangulu yang pertama ini tidak akan berubah oleh keadaan dan pergeseran nilai-nilai. Perubahan zaman tidak akan mengubah tugas itu selama pangulu masih berpegang kepada adat yang berintikan budi.

Manampua jalan nan pasa maksudnya seorang pangulu dalam tugas kepanguluannya harus mengikuti tradisi, kebiasaan, dan ketentuan yang berlaku. Ketentuan itu bersumber dari empat jenis adat yakni adat  nan sabana adat, adat nan taradat, adat nan diadatkan, dan adat istiadat. Diungkapkan di dalam kato pusako:

Jalan pasa nan kaditampuah,

labuah nan golong nan kadituruik,

condong jan kamari rabah,

luruih manantang barih adat.

Secara garis besar, jalan nan pasa menurut adat itu ialah baradat, balimbago, bacupak, bagantang. Pangulu dalam tugasnya berpedoman kepada keempat hal itu. Tentu saja keempat hal itu harus dipahami secara konseptual dan operasional.

Tugas pangulu yang kedua ini juga tidak akan tergilas oleh zaman, tidak akan terlindas oleh keadaan, dan tidak akan lapuk dimakan masa. Dengan demikian, keberadaan pengulu di Minangkabau pada zaman sekarang masih tetap dibutuhkan. Pangulu masih tetap eksis sebagai pemimpin adat dan pemimpin masyarakat dalam mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa dan negara.

Mamaliharo harato pusako maksudnya seorang pangulu di Minangkabau harus memelihara harta pusakanya. Harta pusaka di Minagkabau dari segi bentuknya ada dua macam.Pertama, harta dalam bentuk materi. Harta ini misalnya harato pusako tinggi dan harato pusako randah. Harta itu antara lain adalah seperti berikut ini.

Sawah-ladang banda buatan,

sawah batumpuak di nan data,

ladang babidang di nan lereng,

banda baliku turuik bukik,

cancang latiah niniak muyang,

tambilang basi rang tuo-tuo.

 Kedua, adalah harta yang tidak berwujud. Harta itu adalah sako yang merupakan gelar kebesaran pangulu di Minangkabau. Harta itu ialah gelar yang sekarang dipakai oleh para pangulu.

Harta dalam bentuk yang pertama yakni yang berbentuk materi kini mulai pupus, mulai hilang, mulai lenyap, dan habis akibat tergilas oleh keadaan. Sedangkan harta yang berupa sako masih tetap terpelihara. Dengan demikian, tugas pokok pangulu yang ketiga ini hanya sebagian yang dapat dilaksanakan, yakni memelihara keberadaan sako atau gala pusako.

Tugas keempat ialah memelihara anak-kemenakan. Tugas ini hanya dapat dilaksanakan dengan baik jika tugas sebelumnya terlaksana. Tanpa melaksanakan ketiga tugas itu, tugas keempat tidak dapat dijalankan sepenuhnya. Sesungguhnya tugas keempat ini amat berat, tetapi murni dan suci. Di dalam ungkapan Minangkabau dinyatakan seperti berikut ini.

Kaluak paku kacang balimbiang,

tampuruang lenggang-lenggangkan,

bao manuruk ka Saruaso,

tanamlah siriah jo ureknyo.

Anak dipangku kamanakan dibimbiang,

urang kampuang dipatenggangkan,

tenggang nagari jan binaso,

tenggang sarato jo adatnyo.

Seorang pangulu, memangku anaknya dengan harta pencaharian dan membimbing kekemenakannya dengan harta pusaka. Ia mempertenggangkan orang kampung dengan kebijakan dan kearifan dan menenggang adat dengan pengetahuan. Dengan demikian untuk memenuhi tugas yang keempat ini seorang pangulu harus memiliki harta pencaharian, memiliki harta pusaka, arif dan bijaksana, dan berpengetahuan luas tentang adat dan kemasyarakatan. Sudahkah hal itu kita miliki? Perlu dijadikan bahan renungan oleh Mamak-mamak perserta pertemuan ini.

Untuk memenuhi tugas pokok di atas, seorang pangulu di Minangkabau diibaratkan oleh adat seperti berikut ini.

Pangulu di Minangkabau, ibarat kayu gadang di tangah koto, nan baurek limbago matan, bapucuak cewang ka langik, babatang sandi andiko, badahan cupak jo gantang, barantiang barih jo balabeh, badaun rimbun dek adat, babungo mungkin jo patuik, babuah kato nan bana, inggiran silang jo salisiah, tinggi tampak jauah, dakek jolong basuo, tampek maniru manuladan, iyo dek anak-kamanakan, dek urang di nagari.

   Ureknyo tampek baselo, batangnyo tampek basanda, dahannyo tampek bagantuang, daun rimbun tampek balinduang, tampek balidnuang kapanehan, tampek bataduah kahujanan. Ka pai tampek batanyo,m ka pulang tampek babarito, tampek mamintak kato nan bana, tampek manarimo hukum nan adia, tampek nan kusuik mintak salasai, tampek nan karuah mintak janiah, bakeh mangadu dek anak-kamanakan.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal yang menjatuhkan martabat pangulu di Minangkabau. Jatuhnya martabat itu karena miskin budi, kurang pengetahuan, rendah harga diri, tidak mampu mengendalikan diri, dan tidak dapat membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Di dalam kato pusako antara lain diungkapkan seperti berikut ini.

   Hilia malonjak, mudiak mangacau, kiri kanan mamacah parang, mangusuik alam nan salasai, mangaruah aia nan janiah, bapaham bak kambiang dek ulek, karano miskin pado budi, barundiang bak sarasah tajun karano takabua dalam hati, marubahi lahia jo batin, maninggakan sidiq jo tabalia, mamakai cabua sio-sio, kato nan lalu lalang sajo, sabab lidah indak batulang.

   Tak tahu dilarang jo pantang, maninggakan mungkin jo patuik, tak mamakai barih jo balabeh, lupo jo korong dengan kampuang, lupo jo anak kamanakan, alua tak baturuik, adat tak bapakai, parangai satupo kabau jalang, hiduang kareh pambulang tali, cilako kudo bapacu, arang kareh lari manyimpang, labuah sampik kudo manyipak, kapalo tunduak talingo tagak. Mayalahi buatan nan takarang, kato kamudian bacari-cari, duduak bakisa tagak bapaliang, salalu lunak dek baruik minyak, kuniang dek kunik, lamak dek santan. Indak suko duduak barundiang, indak namuah tagak bamualah, manyalahi kato nan bana, babana ka bana surang, ulemu nan kurang di dado, iman takilik dalam hati.

   Marusak harato jo pusako, gilo manjua jo manggadai, sagan bajariah bausao, badomept di saku urang, bapuro di sawah ladang, indak nan lain nan takana, hanyo mahabih jo mangamehi harato kamanakan, malakak kuciang di dapua, manahan jarek di pintu, mancari dama ka bawah rumah, karuah aia makonyo makan, suko manangguak di aia karuah.

   Karajo nagari tak baturuik, rapek diundang tak nan datang, tak tahu nan tajadi di nagari, baik adat maupun undang, indak batampua tampek rami, apolai ka surau ka masajik, barek nan tidak sapikulan, ringan nan indak sajinjiangan, jo niniak mamak nan lain di nagari, sudi siasek indak dipakai. Rapek adat indak baturuik, rapek pamarintahpun baitu juo, karajo basamo tak nan datang, nan babana ka bana surang, manjadi antimun bungkuak, masuak tak ganok kalua tak ganjia, masuak tak angek ka lua tak dingin.

Supaya hal-hal yang menjatuhkan martabat pangulu itu dapat dihindari, seorang pangulu sebelum mamikua gala pusako terlebih dahulu mengucapkan janji atau sumpah. Di dalam adat, janji atau sumpah itu antara lain berbunyi seperti berikut ini.

Demi Allah saya berjanji,

Akan mahukum adia bakato bana, manuruik alua nan luruih, manampua jalan nan pasa, mamaliharo harato pusako, mamaliharo anak kamanakan. Kusuik ka manyalasai, karuah kamanjaniahi, mamaliharo korong jo kampuang, sampai ka koto jo nagari. Pangulu sabuah hukum, sakato lahia jo batin, sasuai muluik jo hati, imanat samo dipacik, ikarar samo diunyi. Kalau saya melanggar janji: Ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek, di tangah dilariak kumbang, bak karakok tumbuah di batu, iduik anggak mati tak namuah, kanai kutuak Kalamullah.

Mudah-mudahan kita yang ada di dalam pertemuan ini tidak ada yang akan dapat kutukan itu dan tidak akan pernah termakan oleh sumpah itu. Amin!

5. Rekomendasi dan Diskusi

Untuk didiskusikan lebih lanjut, pemakalah merekomendasikan seperti di bawah ini untuk didiskusikan lebih lanjut.

(1) Adat Minangkabau berintikan budi. Jika budi hilang adt akan hancur. Kini sama-sama kita rasakan, budi mulai berkurang, bahkan mungkin akan hilang sama sekali. Oleh karena itu mari kita ikhtiarkan cara-cara untuk kembali menanamkan budi kepada generasi penerus kita!

(2) Dahulu, anak kemenakan orang Minangkabau dibekali dengan budi. Sejak kecil mereka telah menerima ajaran tentang budi baik. Kini pendidikan budi pekerti hampir tidak terlihat lagi. Oleh karena itu mari kita pikirkan melalui diskusi cara-cara yang efektif untuk mendidik anak-kemenakan agar berbudi bauk!

(3) Pendidikan budi tidak hanya dapat diberikan dengan cara pengarahan, hal penting adalah memberikan teladan kepada generasi muda tentang cara hidup beradat dan cara hidup berbudi. Saat ini sulit ditemukan tokoh teladan itu, bahkan mamak-mamak yang ada sukar  diteladani dalam memperlihatkan budi baik. Mari kita pikirkan melalui diskusi ini usaha untuk membentuk tokoh yang dapat diteladani oleh anak-kemenakan!

(4) Ada anggapan bahwa keberadaan pangulu sudah mulai pudar, bahkan nyaris hilang. Apakah hal itu benar? barangkali, jika pemangku adat mampu menghadapi zaman dengan bekal pengetahuan dan bekal budi luhur, ia tidak akan tergilas oleh kemajuan, Jika memang itu dirasakan mulai terjadi, marilah kita diskusikan usaha-usaha untuk meningkatkan pengetahuan pangulu dalam bidang adat dan dalam bidang-bidang lainnya.

5. Penutup

Akhirnya makalah sederhana ini dapat ditutup dengan ucapan:

Ampun sagalo niniak-mamak,

nan gadang basa batuah,

Kok salah maaf dipabanyak,

nan qadim hanyo sifat Allah

Kito nan bukan cadiak pandai,

babatuang nan singkek rueh,

batali sapanjang ijuak,

ilemu di Tuhan tasimpannyo.

Kok senteng mintak dibilai,

kok singkek mintak diuleh,

kok kurang mintak ditukuak,

tandonyo kito saandiko.

                     Bukittinggi, 17 Januari 1999

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *