PEMBELAJARAN BUDAYA ALAM MINANGKABAU

Zulkarnaini Diran

(Praktisi Pendidikan)

1. Pengantar

Mata pelajaran muatan lokal Budaya Alam Minangkabau (BAM) diajarkan sejak kelas tiga Sekolah Dasar (SD) sampai dengan kelas tiga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Mata pelajaran ini wajib diajarkan pada jenjang dan tingkat tersebut. Hal itu telah berlangsung  hampir enam tahun pelajaran (sejak tahun pelajaran 1994 – 1995). Lahirnya mata pelajaran ini berbarengan dengan pemberlakuan kurikulm nasional 1994. Mata pelajaran ini adalah sebagai berwujudan amanat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2/1989, Peraturan Pemerintah Nomor 28/1990, dan Kepemendikbud Nomor 060/U/1993.

Cukup banyak masalah yang dihadapi dalam aplikasi mata pelajaran BAM ini. Masalah itu dapat diidentifikasi mulai dari penyusunan kurikulum, penyusunan bahan ajar, memeprsiapkan guru mata pelajaran, sampai kepada penjabaran dan penyesuaian kurikulum, pengembangan mata pelajaran, dan penerapan hasil belajar di tengah masyarakat. Permasalahan itu menyatu menjadi masalah kompleks yang kadang-kadang sukar dicari ujung dan pangkalnya. Kadang-kadang masalah itu akan bertambah oleh persepsi yang berbeda dari anggota masyarakat tentang keberadaan mata pelajaran ini.

Masalah penyusunan kurikulum, untuk sementara dapat diatasi. Buktinya, kurikulum BAM dalam bentuk yang amat sederhana telah terwujud. Para guru telah dapat menjadikannya sebagai pedoman dalam proses belajar mengajar. Penyusunan bahan ajar juga demikian. Sejumlah buku mata pelajaran telah diterbitkan oleh penerbit swasta. Guru mata pelajaran, sampai saat ini masih bermasalah. Belum ada guru yang berpendidikan khusus untuk mata pelajaran BAM. Khusus untuk SLTP telah ditatar lebih kurang enam ratus guru BAM. Unruk SD, jika pun sudah ada penataran, jumlahnya masih sangat terbatas. Dengan adanya masalah pada guru, akan bermata rantai kepada masalah pembelajaran.

Persepsi masyarakat terhadap mata pelajaran BAM ini masih benaeka ragam. Ada anggapan bahwa melalui BAM, secara drastis, anak-anak Minangkabau akan otomatis menjadi warga yang berbudaya Minangkabau. Dengan adanya BAM, masyarakat sangat berharap ana-anak akan menjadi orang beradat. Ditambah lagi dengan slogan-slogan hampa yang dihembuskan oleh para petinggi daerah ini tentang ketinggian budaya Minangkabau untuk memperindah dan mempercantik retorika dalam pidato.Semuanya itu menyatu menjadi masalah eksternal.

Peneapan hasil belajar BAM di tengah-tengah masyarakat juga bermasalah. Di sekolah, para siswa memperoleh konsep dasar tentang budaya Minangkabau yang bernilai tinggi dan bernilai budi. Mereka mendapat informasi dari guru dan dari sumber belajar lainnya. Kemudian, sebagai anak-anak yang hidup dalam struktur sosial subkultur Minangkabau, mereka ingin mencari bukti pelajaran itu di tengan-tengah masyarakat. Bukti-bukti itu ternyata sangat langka mereka temukan. Jadi antara yang dipelajari dengan kenyataan Minangkabau sebenarnya sangat jauh berbeda. Hal itu membuat anak-anak meragukan kebasahan mata pelajaran ini. Hal ini menjadi masalah yang amat pelik pula dalam penerapan hasil belajar yang sekaligus menjadi masalah pembelajaran.

Jadi, jika diperhatikan, ada dua masalah yang dihadapi dalam pembelajaran BAM di SD dan SLTP. Pertama, masalah internal yang menyangkut dengan pengajar dan pembelajaran. Kedua, masalah eksternal yang menyangkut dengan persepsi masyarakat terhadap keberadaan mata pelajaran dan penerapan hasil belajar BAM di tengah masyarakat. Kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang integral. Akan sulit memisahkan antara yang satu dengan yang lain. Masalah pembelajaran adalah masalah di sekolah. Masalah penerapan hasil belajar adalah masalah di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, makalah sederhana ini akan berbicara tentang kedua hal tersebut.

Makalah sederhana ini disajikan dalam beberapa pokok pikiran. pokok pikiran tersebut adalah: (1) tujuan pembelajaran BAM; (2) kreativitas guru BAM; dan (3) dukungan masyarakat. Dengan ketiga pokok pikiran itu, diharapkan isi makalah ini akan menjadi bahan acuan dalam berdiskusi di forum yang terhormat ini.

2. Tujuan Pembelajaran BAM 

Ada lima tingkat tujuan pembelajaran BAM di SD dan SLTP. Kelima tingkat itu terakumulasi dalam tujuan yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Penididikan dan Kebudayaan Nomor 011.08.C.1994 dan 012.08.C.1994  tanggal 1 Februari 1994. Tujuan tersebut berbunyi “Pelajaran Budaya Alam Minangkabau bertujuan agar siswa mengenal, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan menerapkan nilai-nilai budaya alam Minangkabau dalam kehidupannya sehari-hari.” Dengan mempedomani tujuan tersebut pembelajaran BAM dilaksanakan oleh guru di sekolah. Oleh karena itu, tujuan tersebut dikatakan sebagai tujuan pembelajaran.

Kelima tujuan itu memiliki hubungan hierarkis. Tujuan yang paling rendah ialah mengenal. Hal ini berarti, pembelajaran hanya sekedar memperkenalkan nilai-nilai budaya

alam Minangkabau kepada siswa. Jika siswa sudah mengenal, berarti tujuan telah tercapai. Hal ini mungkin  berlaku untuk pokok bahasan dan subpokok bahasan tertentu pada tingkat dan jenjang tertentu pula. Tingkat kedua ialah memahami. Pembelajaran dimaksudkan agar siswa menjadi paham tentang nilai-nilai budaya alam Minangkabau. Tingkat ketiga yakni menghayati. Pembelajaran dimaksudkan agar siswa menghayati nilai-nilai budaya alam Minangkabau. Tingkat pertama merupakan tingkat paling dasar dan mendasar. Dari kenal menuju paham, dari paham menuju menghayati.

Tingkat keempat ialah tingkat mengapresiasi. Apresiasi dalam konteks ini ialah penghargaan. Siswa yang telah mengenal, memahami, menghayati, diharapkan dapat menghargai nilai-nilai budaya alam Minangkabau itu. Penghargaan itu akan lahir dalam berbagai wujud. Mungkin ia akan muncul dalam wujud menampilkan, melestarikan, dan sebagainya. Dari penghargaan itu, diharapkan ia menerapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Yang terakhir inilah yang dituju oleh pembelajaran BAM pada pendidikan dasar ini.

Secara akademik keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh ketercapaian tujuan tersebut. Jika tujuan telah tercapai pada tingkat dan kadar tertentu, berarti pembelajaran telah berhasil. Oleh karena itu, tujuan-tujuan tersebut perlu dijabarkan, diuraiakan, dan dianalisis oleh guru sebelum pembelajaran dilaksanakan. Menjabarkan, menguraikan, dan menganalisis tujuan pembelajaran menjadi tujuan-tujuan yang lebih sepesifik, menjadi wewenang guru. Hal itu tertuang di dalam Keputusaan Mendikbud Nomor 060/U/ 1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar. Adakah wewenang itu digunakan oleh guru? Inilah yang perlu didiskusikan lebih lenjut.

3. Kreativitas Guru

Dengan pradigma baru di bidang pendidikan, kreativitas guru mutlak diperlukan. Masa yang akan datang, otonomi pendidikan bukan berada di kabupaten atau kota seperti yang berlaku di dalam pemerintahan. Akan tetapi, otonomi pendidikan berada di sekolah, di tangan guru. Guru akan lebih eksis di dalam kancah pendidikan. Jika selama ini guru serba diatur oleh berbagai petunjuk teknis, dipredikasi pada masa mendatang, guru akan mendapat kemrdekaan dalam melaksanakan pekerjaannya. Guru akan ditempatkan pada posisi kunci yang keberadaannya bukan hanya sebagai alat pendidikan, melainkan sebagai pemegang kendali mutu pendidikan. Oleh karena itu, kreativitas guru sangat diperlukan.

Guru seharusnya berkreasi dalam segala aspek tugasnya. Ia memerlukan kreativitas dalam merancang dan menyusun bahan ajar, dalam menetapkan cara penyajian, dalam memberikan arah (laras) pembelajaran, dan dalam menjabarkan tujuan pembelajaran. Kretativitas itu bukan saja menjadi jaminan atas keprofesionalan guru, tetapi juga menjadi harapan bagi peserta didik dalam rangka menjadikan kegiatan belajar mengajar menjadi kegiatan yang menyenangkan. Selain itu, kreativitas guru dalam hal tersebut menjadi ukuran kebrhasilan pembelajaran dalam mencapai tingkat-tingkat tujuan yang dijelaskan sebelumnya.

Rancangan dan susunan bahan ajar perlu dikerjakan secara kreatif. Oleh karena, bahan ajar BAM seharusnya bervariasi. Variasi dimungkinkan karena setiap wilayah tempat pembelajaran berlanghsung memiliki kehasan masing-masing. Beberapa bahan ajar perlu dirancang dan disusun sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah tempat pembelajaran belangsung. Misalnya bahan ajar yang berhubungan uapacara-upacara adat. Bahan ini sangat bervariasi. Bahkan, kadang-kadang upacara adat bukan lagi ditentukan variasinya oleh wilayah luhak, tetapi oleh wilayah nagari. Dalam hal yang seperti itu, kretaivitas guru sangat diperlukan.

Untuk penyajian, juga diperlukan kreativitas guru. Penyajian atau pelaksanaan pembelajaran dikenal juga dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Aplikasi dari ketiga hal itu memerluikan kreativitas guru. Hal ini terkait dengan karakteristik siswa, kebutuhan siswa, dan cara belajar siswa. Pembelajaran BAM di daerah perkotaan akan berbeda dengan pembelajaran di daerah pedesaan. Pemblejaran BAM di wilayah yang anak-anaknya secara menyeluruh berlatarbelakang budaya subkultur Minangkabau akan berbeda dengan wilayah yang anak-anaknya berbudaya campuran. Dengan demikian, kreativitas guru dalam pembelajaran menjadi keharusan dan menjadi mutlak.

Seperti diungkapkan terdahulu, ada lima tingkat tujuan pembelajaran BAM. Kelima tingkat tujuan itu mempunyai hubungan hierakis. Tingkat yang paling rendah adalah mengenal dan yang paling tinggi adalah menerapkan. Untuk memilih dan menetapkan tujuan yang harus dicapai dalam satu unit pembelajaran, memerlukan kreativitas guru. Guru dengan kreatif akan menetapkan tujuan yang untuk siswa di tingkat dan jenjang yang mana. Pada jenjang dan tingkat sekolah yang sama tetapi daerahnya berbeda, tingkat tujuan yang ditetapkan akan berbeda. Misalnya di daerah yang anak-anaknya berlatarbelakang non-Minangkabau, mungkin untuk materi tertentu yang ditetapkan hanya sekedar mengenal. Jika mereka sudah mengenal bahan ajar tersebut, berarti tujuan sudah etrcapai. Akan tetapi, bahan yang sama dengan tingkat dan jenjang yang sama, namun anak-anaknya berlatarbelakang budaya Minangkabau, maka tingkat tujuannya mungkin tingkat yang lebih tinggi seprti mengapresiasi dan menerapkan. Untuk semua hal itu, diperlukan kreativitas guru.

Berdasarkan uraian tersebut, kreativitas guru diperlukan untuk kegiatan pembelajaran. Tanpa kreativitas guru pembelajaran akan terasa hambar dan tidak menarik. Tanpa kreativitas guru, bahan ajar sulit dirancang dan disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Hanya dengan kreativitas gurulah tujuan pembelajaran dapat dicapai sesuai dengan keadaan dan kebuhan peserta didik. Sejauh mana kreativitas yang telah dimiliki oleh guru BAM dewasa ini? Inilah yang perlu diangkat dalam diskusi si forum ini.

4. Dukungan Masyarakat

Kesenjangan antara yang dipelajarai di sekolah dengan kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat semakin besar. Hal itu berlaku hampir untuk semua mata pelajaran humaniora. Apa yang dipelajari di sekolah ada yang sukar dicarikan contoh rilnya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan oleh banyak hal. Salah satu di antaranya ialah yang menyangkut dengan subsatansi materi ajar. Hal-hal yang dipelajari di sekolah adalah hal-hal yang ideal, sedangkan kenyataan yang ada di dalam masyarakat selalu berubah-ubah dan bervariasi sesuai dengan dinamika masyarakatnya. Dengan demikian, kesenjangan itu semakin kentara dan semkain dirasakan oleh anak didik.

Hal yang sama juga berlaku untuk mata pelajaran BAM. Banyak pokok bahasan dan bahan ajar ideal yang disajikan di sekolah, tetapi sukar ditemukan dalam kenyataan. Hal itu mengundang kebimbangan bagi pembelajar. Kebimbangan itu kadang-kadang bisa menimbulkan hilangnya kepercayaan atas kebenaran pokok bahasan tersebut. Pada satu sisi, pokok bahasan itu dianggap sangat penting karena menyangkut dengan hal normatif dalam budaya Minangkabau, di sisi lain norma-norma itu bergeser demikian cepat sehinga masyarakat tidak memakainya lagi. Dalam kondisi yang begini, guru memerlukan dukungan dari masyarakat.

Dukungan masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Misalnya, memberi-kan dukungan dengan penjelasan bahwa yang dipelajari di sekolah itu benar adanya. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua atau keluarga pembelajar. Dengan membenarkan hal yang dipelajari itu, pembelajar akan percaya, bahwa yang dipelajarinya ini memang benar. Wujud lain adalah dengan memberikan contoh nyata dalam perilaku masyarakat sehari-hari. Perilaku itu memang menyangkut dengan aplikasi kaidah-kaidah dan norma-norma budaya yang berlaku di dalam masyarakat Minangkabau. Dengan demikian, kesenjangan antara yang dipelajari di sekolah dengan kenyataan yangn ada di masyarakat dapat diperkecil.

Dukungan lain dalam pembelajaran BAM oleh masyarakat adalah kesediannya menjadi narasumber. Masih banyak anggota masyarakat kita yang memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang budaya Minangnakabu. Seyogianya, masyarakat yang berpe-ngetahuan itu mau dan menyediakan diri untuk menjadi narasumber. Kesediaan itu bisa diwujudkan dalam bentuk didatangi oleh siswa dan guru dan bisa juga diundang ke kelas oleh siswa dan guru. Hal ini, jika terlaksana akan sangat besar pengaruhnya dalam pembelajaran BAM di sekolah.

Behubungan dengan dukungan terhadap pembelajaran BAM ini, peranan lembaga kemasyarakatan di bidang adat dan budaya Minangkabau sangat diperlukan. Peranan Kera-patan Adat Nagari (KAN), sangat besar dalam mewujudkan dukungan ini. Jika perlu, seyogianya KAN menjadikan hal ini sebagai suatu keputusan yang berlaku untuk semua pemangku adat di nagari tersebut. Jika hal itu dapat dilakukan oleh KAN, berarti sum-bangan lembaga ini terhadap kepentingan pembelajaran BAM amat besar.  Apakah KAN sudah merencanakan dan merancang hal itu? Inilah yang perlu dipertegas di dalam diskusi ini.

Pada tingkat yang lebih tinggi, di kecamatan, kabupaten dan kota serta provinsi peranan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), memang sedang ditunggu-tunggu oleh guru. LKAAM seyogianya juga memiliki komitmen bahwa pembelajaran BAM harus didukung. Dukungan itu diberikan dalam berbagai bentuk. LKAAM bisa jadi berfungsi sebagai penasihat bagi guru-guru BAM. Hal yang amat penting adalah dukungan nyata dalam bentuk membantu pengembangan dan penegasan materi ajar sesuai dengan kurikulum. Artinya, LKAAM memberikan semcam rekomendasi tentang materi-materi yang esesial yang harus dipelari oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Apakah LKAAM telah dan akan berbuat untuk itu? Inilah yang perlu dirumuskan dalam diskusi ini untuk dilanjutkan kepada para petinggi LKAAM di semua jajaran.

Bundo Kanduang juga memiliki potensi untuk mendukung pembelajaran BAM. Potensinya itu ternyata belum dioptimalkan untuk memberi dukungan. Apalagi, di dalam struktur organisasinya mungkin juga ada yang berhubungan dengan pendidikan. Hal itu seyogianya dimanfaatkan oleh Bundo Kanduang dalam menupang pembelajaran BAM ini. Dengan demikian, andil kaum ibu Minangkabau dalam meminangkabaukan anak-anak Minangkabau akan sangat berarti dan bermakna. Mudah-mudahan kaum Bundo Kanduang telah berpikir ke arah itu.

Jadi dukuangan masyarakat  untuk pembelajaran BAM sangat diharapkan. Dukungan itu dapat diberikan secara individual dan bisa juga dalam bentuk kelembagaan. Wujud dari dukungan itu antara lain adalah kesediaan masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di Minangkabau, kesediaan masyarakat untuk menjadi narasumber, dan komitmen yang jelas dalam mengaplikasikan hasil pembelajaran BAM.

5. Simpulan

Makalah sederhana ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

(1) Ada dua masalah pokok yang dihadapi dalam pembelajaran BAM di sekolah yakni masalah internal dan masalah ekternal. Masalah internal yang paling mmendasar ialah tenaga pengajar (guru) BAM. Sedangkan masalah eksternal ialah masalah penerapan hasil belajar BAM di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

(2) Ada lima tingkat tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran BAM. Kelima tingkat tujuan itu adalah mengenal, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan menerapkan nuilai-nilai budaya alam Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Kelima tingkat itu memiliki hubungan hierarkis (atas-bawah). Tujuan yang paling tinggi kadarnya ialah menerapkan dan yang paling rendah adalah mengenal.

  (3) Kreativitas guru BAM sangat diperlukan. Kreativitas guru dibutuhkan dalam merancang dan menyusun bahan ajar, dalam menentukan cara penyajian, dalam menetukan arah pembelajaran, dan dalam menjabarkan tujuan pembelajaran. Dengan kreativitas itu, pembelajaran akan berdaya guna dan berhasil guna.

(4) Dukungan masyarakat dalam pembelajaran BAM mutlak diperlukan. Dukungan itu dapat berwujud kesediaan masyarakat untuk menaati norma-norma budaya Minangkabau dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat menjadi contoh bagi siswa. Selain itu dapat berwujud kesediaan masyarakat untuk menjadi narasumber dalam pembelajaran.

(5) Peranan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dalam mengakomodasikan dukungan masyrakat terha-dap pembelajaran BAM sangat diharapkan. Bahkan kini sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pendidikan, khsusunya guru-guru BAM.

Padang, 3 Mei 2000

makbam03win

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *