BEBAN GURU (1)
Beban guru kian berat. Sekurangnya ada empat beban yang harus dipertanggunjawabkan kaum pendidik zaman kini. Keempat beban itu berasal dari Pemerintah, masyarakat, peserta didik, dan diri sendiri.
Beban dari Pemerintah yang dijujung guru menyangkut dengan kebijakan. Kebijakan memberi arah kepada guru untuk menempuh jalan menuju cita-cita dan harapan Pendidikan Nasional. Jalan itu penuh liku, tanjakan, onal, dan duri. Jalan itu “harus” ditempuh dalam serba keterbatasan fasilitas dan kompetensi.
Beban dari masyarakat yang dipikul guru adalah “harapan yang takberhingga”, harapan tampa batas, dan harapan masa kini dan masa depan. Harapan itu berhubungan dengan masa depan generasi kini. Anak-anak yang kompeten dalam berbagai dimensi sebagai produk Pendidikan, menjadikan guru memikul beban berat yang takberhingga. Harapan masyarakat itu nyaris melebihi kemmapuan dan keewajiban yang dibebankan undang-undang kepada “pahlawan yang berjasa ini”, bukan “pahlawan tanpa tanda jasa/berjasa).
Guru berhadapan dengan peserta didik atau anak-anak masa kini. Sementara guru dibesarkan dengan Pendidikan masa lalu. Menautkan kondisi masa lalu dengan keadaan kini dan masa dating, merupakan “pikulan” guru yang tiada bertara beratnya. Selain guru harus melayani peserta didik yang hidup dalam globalisasi, dia juga harus mengikuti perkembangan teknologi komunikasi yang kian massif. Mengubah pola piker dan pola tindak secara serta-merta, merupakan beban berar yang tidada tara bagi para guru.
Guru adalah manusia biasa. Dia berkeadaan dan berkebutuhan juga seperrti manusia lain. Pada suatu sisi, guru mengelola dirinya, keluarganya, dan rumah tangganya secara elegan, sementara itu dia harus menjujung tiga beban lain yang harus dipertanggungjawabkan. Dia harus bertanggung jawab kepada pemerintah, kepada masyarakat, dan kepada peserta didik. Sungguh, kombinasi keempat beban itu amatlah berat bagi Pundak guru.
Keempat beban itu, pada saatnya harus dipertanggungjawabkan. Pertanggunjawaban utama adalah kepada Yang Maha Pencipta dan Maha Agung yakni Allah SWT. Jika keempat beban itu dipikul dengan “niat” karena Allah dan dilaksanakan sesuai dengan panduan Kitabullah dan Sunnah Rasul, isnya-Allah semua beban berat yang dipikul itu menjadi “amal shaleh”.
Selamat memperingati Hari Guru dan Ulang Tahun ke-77 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Salam dari Zulkarnaini seorang guru.
Padang, 25 November 2022
BEBAN GURU (2)
Beban guru dari Pemerintah terbungkus dalam berbagai kebijakan. Tiga paying hukum utama memuat hal yang harus dipikul oleh pendidik anak bangsa ini. Ketiga paying hukum itu adalah Undang-undang Republik Indonesia No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; dan Undang-undang No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pada ketiga dokumen itu termuat tugas dan kewajiban yang harus dipikul guru. Beban itu ajeg dan konsisten, tidak akan berubah. Perubahan akan terjadi manakala dokumen yang memayunginya diubah. Perubahan tidak akan terjadi dalam rentangan waktu yang cukup lama, bahkan sangat lama. Oleh karena itu, guru tidak perlu risau tentang beban yang termaktub di dalam dokumen negara itu.
Undang-undang berisi pnduan umum. Oleh yang berwenang diturunkan menjadi panduan spesifik, kemudian menjadi lebih rinci dalam panduan operasional. Pada tataran panduan operasional inilah tergambar “beban berat” guru. Hal itu akan terasa oleh guru pada tingkat paling depan, yakni pada pelaksanaan, penerapan, dan pengimplementasian. Biasanya, hal ini ditetapkan dalam bentuk “Petunjuk Pelaksanaan dan atau Petunjuk Teknis – Juklak dan Juknis”.
Kebijkan yang terbungkus dalam juklak dan juknis, biasanya perubahannya sangat cepat. Dalam waktu yang singkat dapat berubah. Hal itu ditentukan oleh “pemegang kendali” di kemnterian. Kadang-kadang, guru belum sempat mencerna kebijakan yang lama, kebijakan baru pun dating karena pemegang kendalinya diganti. Guru sering “meradang” dengan ungkapan “ganti pejabat, ganti kebijakan”. Ungkapan meradang itu bukan dibuat-buat, tetapi terlontar dengan spontan karena berhubungan dengan “beban guru,” yakni beban yang berat dan kian berat.
Guru sebagai pelaksana Pendidikan dan peserta didik sebagai subjek didik, kadang-kadang bak “kelinci percobaan” oleh kebijakan. Keluahn guru itu wajar dan pantas. Oleh karena kebijakan ditetapkan oleh “kalangan atas” yang bergelut di wilayah birokraris dan teoretis. Sementara pelaksanaan akan terjadi di wilayah praktis yang menjadi lahan guru. Jurang yang kian lebar antara ranah birokratis – teoretis dengan wlilayah praktis, membuat beban guru kian berat dan kian berat.
Hierarki “bungkus kebijakan” yang membebani guru itu berlapis-lapis. Lapis paling atas undang-undang, disusul oleh peraturang pemerintah, selanjutnya peraturang Menteri, dan kemudian juknis yang dikeluarkan direkotrat yang membidangi. Pada tataran peraturan mentri ke bawah, beban berat guru kian “menonjol”. Hal itu sering terjadi karena mungkin kebijakan yang disusun bukan bertolah dari kondisi ril berupa keadaan dan kebutuhan, tetapi mungkin berangkat dari “mimpi birokrat” terkait anggaran, dan mimpi “akademisi” yang terkait dengan eksperimen keilmuan. Mungkin dan mungkin.
Semoga, sejawat guru mampu secara optimal memikul “beban berat” ini. Semoga pula menjadi amal shlaeh bagi yang melaksanakan sungguh-sungguh dengan niat karena Allah, amin ya-Robbal Alamin!
Padang, 26 November 2022
BEBAN GURU (3)
Beban guru menjadi berat bukan karena undang-undang dan peraturan pemerintah. Akan tetapi beban itu “berjibun” setelah undang-undang dan peraturan pemerintah itu dijabarkan dalam bentuk “proyek-proyek”. Pada tataran “proyek-proyek” ini terjadi “kemubaziran energi” bagi guru. Artinya, hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipikulkan kepada guru, tetapi harus dia pikul karena ada “proyek-proyek”. Ini bukan tuduhan atau tudingan, tetapi asumsi atau hipotesis yang perlu dicarikan fakta empirik untuk menguji kebenarannya.
Proyek-proyek itu lahir karena dua hal (?). Pertama karena anggaran biaya yang tersedia dan kedua karena penjabaran kebijakan (UU dan PP).
Pemerintah menyediakan anggaran pendidikan melalui APBN. Anggaran itu dipatron untuk satu tahun. Pada akhir tahun, sekitar bulan Desember penggunaan anggaran tiap sektor harus dievaluasi. Hasil evaluasi itu akan memberikan gambaran “daya serap” tiap sektor. Jika daya serap rendah, berarti “kinerja” rendah, begitu sebaliknya. Oleh karena itu, penggunaan anggaran di antaranya dibelanjakan melalui proyek-proyek. Objek proyek ini di antaranya adalah “kegiatan guru” yang pada akhirnya bermuara kepada “beban guru” pada saat pelaksanaan proyek dan pasca proyek.
Penjabaran dari kebijakan (UU dan PP) ke ranah operasional biasanya dilakukan oleh tenaga ahli (sebut: staf ahli atau konsultan). Personal untuk jabatan “tenaga ahli” ini biasanya diambil perguruan tinggi. Orangnya tentu “pakar-ahli” di bidangnya. Gelar akademiknya berlapis-lapis dan tertera di depan dan belakang nama. Orang-orang inilah yang menggodok kegiatan operasional. Kegiatan operasional disingkronkan dengan anaggaran yang tersedia. Dengan kegiatan yang ada diharapkan anggaran yang tersedia habis pada waktunya atau akhir tahun.
Permasalahan “beban guru” muncul di sini. Pakar “bermain” pada wilayah penjabaran kebijakan menjadi operasional. Pada hakikatnya ada empat hal yang menjadi dasar penyusunan rencana operasional. Keempat hal itu adalah kebijakan, anggaran, keadaan, dan kebutuhan. Penyusun rencana operasional lebih banyak bertumpu kepada kebiaakan dan anggaran yang tersedia. Keadaan dan kebutuhan guru tidak atau belum menjadi landasan yang menentukan.
Keadan dan kondisi guru secara ril sering tidak terakumulasi dalam perencanaan. Pakar yang berpredikat akademisi, biasanya hanya mengambil sampel keadaan dan kondisi yang dekat dengan pusat. Kondisi ril di wialayah pelosok terabaikan. Ketika kegiatan operasional dilaksanakan, akan menjadi beban berat bagi sebagaian besar guru. Begitu pula halnya dengan kebutuhan. Perencana kegiatan kadang-kadang hanya mereka-reka kebutuhan guru. Padahal kebutuhan guru di kota tidak sama dengan guru di pelosok. Keanekaragaman kebutuhan ini tidak terakomodasi di dalam rencana operasional. Oleh karena perencanaan tidak terkait dengan kebutuhan, akibatnya ketika pelaksanaan menjadi beban guru pula.
Jadi, beban guru menjadi berat buka karena undang-undang dan peraturan pemerintah, melainkan karena “kealpaan” pada tataran operasional yang lebih banyak berorientasi kepada jabaran kebijakan dan anggaran. Sementara keadaan ril dan kebutuhan nyata guru, tidak atau belum menjadi pertimbangan utama. Dalam kondisi inilah guru dulu, sekarang, dan mungkin yang akan dating tetap berbeban berat dan menguras energi. Tentu, hal yang diharapkan dari sejawat guru adalah rela dan ikhlas untuk “diproyekkan” sepanjang masa dinas. Salam untuk sejawat guru dari Zulkarnaini juga guru.
Padang, 5 Desember 2022
BEBAN GURU (4)
Beban guru kian berat kian berat karena kealpaan “yang berwajib” menjabarkan undang-undang dan peraturan turunannya. Penjabarannya bertolak dari anggaran tersedia. Anggaran, it salah satu indikator kinerja instansi pemerintah, “kinerja berdasarkan anggaran – anggaran berdasarkan kinerja”. Kalau persentase serapan anggaran besar, tanda kinerja baik. Serapan anggaran atau daya serap diukur dari banyaknya uang yang habis dalam satu tahun anggaran. Nah di sinilah munculnya aneka “proyek” yang berujung kepada meningkatnya “volume” beban guru. Mungkin untuk ini perlu penelitiaan teoretik dan empirik yang menggambarkan “varian” beban guru dari tahun ke tahun.
Penambahan beban guru seharusnya bertolak dari kondisi ril guru. Beban guru ditambah dari analisis keadaan dan kebutuhan guru. Keadaan dan kebutuhan ril guru saat ini harus didata untuk merumuskan beban guru tahun depan. Kebutuhan guru untuk melaksanakan tugas secara optimal haruslah menjadi timbangan utama untuk “membebani” guru dengan berbagai beban tambahan. Jika kondisi nyata dan kebutuhan ril guru yang dijadikan landasan untuk membuat “proyek-proyek pendidikan/pembelajaran”, guru tidak akan merasa berbeban berat.
Hasil penjabaran berdasarkan anggaran dan “kemauan teoretik” tenaga ahli kementerian, melahirkan “proyek muluk-muluk”. Hal itu dapat didata dari tahun ke tahun. Pada tahun terakhir dan kini sedang berjalan adalah “Kurikulum Merdeka”. Sejumlah sekolah dan sejumlah guru di “rekrut” untuk menjadi pelaksana “ujicoba”. Guru terpilih yang dilabeli “guru penggerak” mendapat beban baru selain beban utamanya. Guru penggerak “pontang-panting” mengerjakan beban tambahan di samping beban utamanya membelajarkan pesertata didik di kelas. Beban baru itu akan mereka laksanakan selama proyek berjalan. Pada saat proyek berakhir, beban itu pun akan dilepaskan dari pundaknya.
“Proyek muluk-muluk” adaalah proyek yang sangat ideal. Proyek yang disetting oleh pakar teoretik yang mendapat kepercayaan di kementerian untuk merancangnya. Mereka adalah para ahli teoretik dengan latar belakang pendidikan hebat dalam dan luar negeri. Mereka “bernyanyi” dengan teori pendidikan yang diserapnya semasa kuliah. Nyanyiannya itulah yang dituangkan ke dalam “proyek-proyek” yang ingin diselaraskan dengan “irama musik” guru di Tanah Air. Kemulukan teoretis itulah yang menjadikan “beban tambahan” guru kian berat. Bagi guru dengan jumlah “nol koma persen” tentu itu tidak terasa menjadi beban tambahan. Akan tetapi bagi “guru kebanyakan – kebanyakan guru – guru pada umumnya” pelaksanaannya sangatlah berat, “beban berat senggulung batu”.
Para pakar yang merancang jabaran kebijakan di pusat berangkat dari teori yang “muluk”. Teori-teori itulah yang “diperdagangkan dan dijajakan” kepada semua guru. Teori-teori itu ternyata belum diujicoba secara intensif dalam kondisi di Tanah Air. Teori yang kadang-kadang masih “mentah” itu dilepas ke pasar. Guru yang berada di wilayah praktis dengan beban yang “berjibun” semakin berat bebannya. Akhirnya guru merasa diperlakukan oleh “kaum teoretis” sebagai lahan ujicoba dari teori yang muluk-muluk. Pada saat merasa menjadi “kelinci percobaan”, saat itu pulalah beban tersebut terasa semakin berat.
Kita hanya berharap, semoga sejawat guru semakin terlatih untuk “bersabar” menerima dan menampung “dagangan teori muluk-muluk” yang ditawarkan oleh para pakar yang diberi kesempatan oleh “yang berwajib” di pusat sana. Mari kita berlatih bersabar selama kita masih aktif menjadi guru. “Sabar ya, sejawatku guru!” dari Zulkarnaini juga guru.
Padang, 11 Desember 2022
Pengantar
“Beban Guru” merupakan tulisan berseri. Insya-Allah akan terbit tiap pekan. Tulisan ini, selain bertolak dari kondisi-kondisi kekinian tentang “tugas guru – beban guru”, juga diwarnai oleh pengalaman penulis sebagai guru. Kondisi kekinian diramu dan dibumbui oleh pengalaman puluhan tahun seorang guru, itulah yang diperkatakan di bawah judul “Beban Guru”. Selain dapat dibaca di facebook “Zulkarnaini Mamak”, juga dapat diintip di blog “http//: zulkarnaini.my.id”
BEBAN GURU (5)
Saya berterimakasih. Banyak yang merespon “Beban Guru 1 s.d. 4”. Pada umumnya yang merespon adalah sejawat guru atau yang pernah jadi guru. Isi responnya bervariasi. Tentu varian itu terjadi sesuai dengan pemahaman terhadap informasi yang tersaji dan pengalaman batin masing-masing. Seperti dikatakan Canfield, 2008, “Efent + Response = Outcome (E+R=O)”. Artinya, hasil yang didapat oleh seseorang tergantung kepada cara bereaksi terhadap suatu kejadian atau informasi. Variasi dari respon itu tentu “cantik” untuk diperkatakan.
Seorang sahabat melontarkan pertanyaan. “Apa solusinya, Pak Zul?” Saya tidak langsung menjawabnya di facebook karena memang “Beban Guru (5)” ini memperkatakan alternatif solusinya. Ini hanya alternatif, pilihan, bukan sesuatu yang apsolut. Tentu, jika alternatifnya terpakai sebagai solusi, syukur, jika tidak terpakai ya tidak apa-apa. Artinya, ini hanyalah penawaran kepada “yang berwajib” sebagai pembuat kebijakan. Mudah-mudahan tawan itu dapat menjadi bahan renungan untuk mengurangi beban yang dipikul guru.
Inti beban guru itu pada dasarnya hanya empat. Keempat beban itu adalah merencanakan, melaksanakan, menilai/ mengevaluasi, dan menidaklanjuti. Jika yang empat itu dirasionalkan, sungguh tidaklah berat. Akan tetapi, akibat adanya “intervensi” dari berbagai ranah, maka perencanaan guru menjadi sangat banyak. Embel-embelnya sangat “bejibun”. Begitu pula halnya dalam pelaksanaan, penilaian, evaluasi dan tindak lanjut. Kadang-kadang yang harus dilakukan guru tidak “rasional” lagi setelah adanya “proyek-proyek”. Inilah yang membuat guru berbeban berat.
Pengambil kebijakan, khsusnya di pusat, di kementerian seyogyanya menjadi orang arif. Artinya, timbangan untuk membuat kebijakan yang menyangkut dengan beban guru haruslah objektif. Buka berangkat dari data dan fakta yang tidak berimbang. Menjabarkan undang-undang dan peraturan pemerintah, ya. Menjabarkan mata anggaran menjadi yang akan dibelanjakan, ya. Dua-duanya ya. Akan tetapi jangan dilupakan mereka yang akan “memikul” beban itu. Mereka adalah para guru, praktisi di kelas, praktisi yang senantias berhadapan dengan peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah.
Sebelum “teori-teori” yang akan dilaksananakan “delegalkan” oleh peraturan menteri, hendaknya dikaji dulu “kondisi ril” guru di Tanah Air. Kondisi guru di Indoensia sangat bervariasi. Variannya terjadi oleh letak geografis, pendidikan, fasilitas, sarana, prasarana, dan seterusnya. Jadi, kebijakan yang berangkat dari anggapan bahwa guru itu sama di seluruh wilayah Indoensia, inilah yang menjadikan beban guru terasa sangat berat.
Kajian kondisi guru (keadaan dan kebutuhan) bukan sekedar kajian akademik, teoretis, dan rasional. Akan tetapi, dilakukan kajian berdasarkan fakta-fakta empirik di lapangan. Bukan sekedar kajian di atas kertas, tetapi kajian nyata. Mungkin melibatkan guru membuat dan merumuskan kebijakan yang menyangkut dengan bebannya, adalah hal yang amat bijak. Ada perwakilan guru dari setiap variasi kondisi (keadaan dan kebutuhan) terlibat dalam menyusun dan merancang beban-benan yang akan dipikulnya. Dengan cara seperti itu, akan diketahui hal-hal yang praktis dan pragmatis yang akan dijujung guru.
Tentu ini hanyalah saran, imbauan, dan ketukan “nurani” kepada yang berwenang. Dengan demikian, keluhan guru yang selama ini “berkutat” tentang itu keitu saja sepanjang tahun, akan dapat diminimalisasi atau dikurangi. Ini adalah pernyataan guru, harapan guru, dan permintaan guru sebagai pengemban tugas terdepan di dunia pendidikan. Jika solusi ini bisa mangkus, kenapa tidak dilakukan? Semoga “yang berwajib” mau meresponnya.
Sejawat guru, mari kita terus-menerus memupuk kesabaran dalam mengemban tugas dan melaksanakan “kebijakan-kebijakan” yang kadang-kadang sangat berat untuk dipikul. Pupuk terus kesabaran, biar tumbuh dan berkembang, jangan biarkan “kesabaran kita habis” ditelan keadaan. Insya-Allah, “Beban Guru (6)” akan menawarkan solusi untuk sejawat guru. Selamat bertugas! Salam dari Zulkarnaini, juga guru.
Padang, 14 Desember 2022
wah menarik sekali apa yang pak Zul sampaikan. ya begitu beratnya tugas dan tanggung jawab guru, sesuai dengan harapan dari Pemerintah, Orang Tua, dan Siswa.
Tapi dalam implementasinya harapan itu akan bisa dicapai dengan kerjasama dan dukungan antara Guru Pemerintah dan masyarakat.
Tapi dalam kenyataan harapan tinggal harapan …. kalau ada hasil yang baik guru tidak disebut sebut, tapi ketika afa hasil yang jelek atau kurang baik itu adalah kesalahan guru … begitu yang banyak penilaian dari masyarakat.
mohon ma’af pak Zul kalau saya memandang dari sudut kiri ….. kentataan sa’at ini beban berat hanya dipikul oleh guru sendiri sampai terseok seok yang membuat lehernya semakin pendek kakinya tak kuat lagi berjalan, sementara komponen yang lain hanya menonton malah ikut mentertawakan , kalaupun ada guru lain yang ikut membantu terkesan tidak didengarkan ….. begitu berat beban guru …. sehingga banyak yang dipolisikan dan dipenjarakan tanpa melihat apa sesungguhnya tugas mulia seorang guru
kadang2 tanpa pembelaan , berapa banyak guru yang disengsarakan, gara2 marah pada siswa yang tidak mau sholat dituntut denda 50 jt, ada anak yang melecehkan guru lalu Viral di medsos, wuaaah tuntutannya harus guru yang mintak ma’af , ngeri sungguh mengerikan kok aparat penegak hukum berpihak pada anak dan orang tua, sementara pemerintah terkesan acuh….
kalau dibiarkan hal seperti ini … guru kemungkinan besar akan apatis…. tunggulah kehancuran ……. apa lagi kawan2 kita guru honorer yang gajinya jauh dari cukup, adakah jadi perhatian dari yang punya harapan …. ?
semoga cuitan saya ini sebagai tanggapan dari tulisan pak Zul , menjadi bahan renungan, bagi kita semua, terutama bagi pemerintah, orang tua dan siswa …. begitukah kita menggantungkan harapan dan menghargai jasa seorang guru
mohon ma’af bila ada yang tidak berkenan
Sederhana saja, Pak Arlis. Tiga hal saja yang penting. Saya menyebutnya “cerdas”. Ketiga hal itu adalah cerdas yuridis, cerdas teroretik, cerdas empiris. Jika ketiga hal ini kita siasati, tugas guru tidak terlalu berat. Tugas guru menjadi berat karena guru “diproyekkan”. Hehehe begitu, Pak Arlis