BEBAN GURU

“Beban Guru” merupakan tulisan berseri. Insya-Allah akan terbit tiap pekan. Tulisan ini, selain bertolak dari kondisi-kondisi kekinian tentang “tugas guru – beban guru”, juga diwarnai oleh pengalaman penulis sebagai guru. Kondisi kekinian diramu dan dibumbui oleh pengalaman puluhan tahun seorang guru, itulah yang diperkatakan di bawah judul “Beban Guru”. Selain dapat dibaca di facebook “Zulkarnaini Mamak”, juga dapat diintip di blog “http//: zulkarnaini.my.id”

BEBAN GURU (6)

“Beban, betapa pun beratnya, jika dipikul dengan cara yang benar, akan terasa ringan”, begitu orang bijak berkata. “Pekerjaan paling sulit, dikerjakan dengan alasan dan cara yang benar, akan menjadi mudah,” kata orang bijak yang lain. Jika dilakukan “jejak pendapat” tentang beban guru, mungkin mayoritas guru sependapat bahwa bebannya memang sangat berat. Hal itu terasa bukan hanya oleh guru kini, tetapi dirasakan oleh guru-guru tempo dulu. Mungkin.

Ada tiga hal yang harus dikuasai guru untuk menghadapi beban berat yang dipikulkan Pemerintah. Ketiga hal itu saya sebut dalam konteks tulisan ini sebagai “kecerdasan” yakni “cerdas yuridis, cerdas teoretis, dan cerdas empiris”. Cerdas yuridis artinya cerdas menyikapi dan menyiasati segala ketentuan (hukum, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan sejenisnya). Tentu, untuk menyikapi dan menyiasatinya guru perlu memiliki, membaca, dan memahami ketentuan-ketentuan itu sampai ke tingkat operasional. Ingat, hanya ketentuan yang berhubungan dengan “tugas – beban” guru.

Memahami, menyikapi, dan menyiasati sisi hukum (baca:yuridis) dari tugas guru akan menjadikan guru paham secara mendalam tentang  “hak dan kewajiban”. Guru tidak mangkus lagi untuk “digertak” ditakut-takuti oleh institusi atau lembaga atau “yang berwajib” yang ada di dalamnya. Guru dapat menjawab dan mempertanggungjawabkan hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban (beban)-nya. Dalam konteks ini, tentu diperlukan sedikit “keberanian” dalam mempertahnakan hak yang menjadi milik guru.

Begini pengalaman saya sehubungan dengan “cerdas yuridis”!

Kejadainnya ketika saya menjadi guru SMP di Agam. Supervisor (baca: pengawas sekolah) berkunjung ke sekolah saya. Dengan izin kepala sekolah, Sang Pengawas mensupervisi kelas saya. Artinya, beliau ingin melihat saya mengajar. Tentu saja saya bersedia dan sangat berterimakasih. Sebelum saya membuka pelajaran, Sang Pengawas Sekolah (yang kabarnya sangat ditakuti) itu meminjam persiapan mengajar saya. Saat itu namanya Satuan Pelajaran (SP). Begitulah saya membelajarkan peserta didik seperti biasa, sementara Sang Pengawas duduk di bangku paling belakang dengan berbagi instrumen isiannya.

Usai pembelajaran, masih di kelas, Pak Pengawas “menyatakan” bahwa SP yang saya buat salah. Hal itu dilontarkan di hadapan peserta didik. Saya tidak terima, saya membantah. “Kalau Bapak mau menyalahkan jangan dengan anak-anak saya”, begitu saya berkalimat dengan nada marah yang tertahan. Dengan nada tinggi beliau berujar, “Ke kantor!” katanya. Saya ikuti dia dari belakang setelah mengemasi buku dan bahan-bahan saya yang ada di atas meja.

Sampai di ruangan kepala sekolah, saya tetap disalahkan. Yang disalahkan ialah format SP saya tidak lazim. Saya jelaskan kepada beliau bahwa yang saya buat ini tidak menyalahi aturan dan ketentuan. Sang Pengawas Sekolah yang ditakuti inipun tetap berkata dengan nada tinggi bahwa format SP saya salah. Saya meninggalkan ruangan kepala sekolah untuk mengambil buku Petunjuk Teknis Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar yang dilegalisasi dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kepmendikbud). Saya tunjukkan kepadanya bahwa yang saya buat adalah model format yang ada di juknis itu.

Rupanya, Sang Pengawas Sekolah ini merasa “dikalahkan” berargumen oleh guru (saya). Akhirnya kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya tidak terkontrol. Tidak etis kalau saya kutipkan contohnya di sini. Saya merasa dilecehkan, direndahkan, dan dizalimi. Sebagai guru saya tidak menerima itu. Hati saya sakit, benar-benar sakit. Akan tetapi saya tidak mau melawannya saat itu karena menghargai kepala sekolah saya.

Malamnya rasa sakit itu menghentak-hentak ke jantung saya. Nurani saya yang paling dalam benar-benar terusik. Martabat saya sebagai guru rasa diinjak-injak orang. Saya tidak terima itu. Begitulah saya mulai menulis dengan judul “Penilik dan Pengawas Bisa Saja Tidak Becus”. Saya deskripsikan ketidakbecusan itu. Saya jelaskan dengan teori dan petunjuk teknis tugas-tugas supervisor. Saya ceritakan hal yang saya alami ketika dikunjungi pengawas sekolah. Saya nukilkan pula di dalam tulisan itu keluahan-keluhan guru ketika berhadapan dengan penilik dan pengawas.

Besoknya tulisan itu saya kirim ke Surat Kabar Haluan Padang. Tulisan saya dimuat dua hari kemudian di surat kabar yang memiliki oplah paling besar di daerah ini pada saat itu. (Catatan: Penilik itu sebutan untuk Pengawas TK dan SD, Pengawas SLTP dan SLTA dulu berkantor di Kantor wilayah Depdikbud Sumbar di Padang.)

Empat hari setelah tulisan itu terpublikasi, saya menerima “nota telepon” yang berisi panggilan. Saya dipanggil langsung oleh Kepala Kantor Wilayah Deparetemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat. Isinya pendek, “Untuk kepentingan dinas, saudara Zulkarnaini, guru SMP Empat Angkat, harap menghadap Kakanwil pada hari… tanggal … pukul … Nota telepon itu disampaikan melalui kepala sekolah. Kepala sekolah “membocorkan” perihal panggilan itu. Ada hubungan dengan tulisan saya yang dipublikasikan melalu surat kabar.

Kepala sekolah dengan nada agak “mendung” mengatakan, bahwa beliau tidak dapat membantu saya menghadapi resiko ini. Resiko paling buruk diberhentikan dari pegawai negeri. Resiko agak ringan dipindahkan ke daerah terpincil. Begitu kepala sekolah menginformasikan. Saya, sungguh merasa tidak gentar, karena saya merasa berada dalam nauangan “yuridis”. Saya memiliki wawasan tentang hak dan kewajiban sebagai guru. Begitulah pada hari yang ditentukan, saya menghadap kepada Kepala Kantor Wilayah Depdikbud Sumbar di Jalan Sudirman Nomor 52, Padang.

Memahami dimensi yuridis dalam bidang kita, membuat kita menjadi berani menghadapi keadaan. Seburuk apapun keadaan itu. Begitu yang saya alami. Saya siapkan segala argumen dan data-data yang saya miliki untuk menghadap Kakanwil. Saya memiliki catatan hasil wawancara dengan guru dan kepala sekolah yang berhubungan dengan tingkah laku penilik dan pengawas sekolah jika turun ke sekolah-sekolah. Catatan itu saya himpun dan sebagian untuk sekedar berargumen menghadapi Kakanwil saya buat simpulannya. (Catatan: Saya punya catatan itu karena saya juga wartawan Harian Haluan Padang dan menulis tentang penidikan di berbagai surat kabar).

Seperti apa pertemuan saya dengan orang nomor satu bidang Pendidikan di Sumbar itu, insya-Allah akan dinukilkan pada “Beban Guru (7)”. Salam dan selamat berlibur untuk sejawat guru dari Zulkarnaini juga guru.

Padang, 22 Desember 2022S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *