Oleh Zulkarnaini Diran
Seorang guru keluar dari kelas sebelum jam pelajaran berakhir. Mukanya “cemberut”, kelihatan ada suatu yang tidak beres. Tidak seperti biasanya ia kali ini, wajahnya keruh, seolah-olah ada yang mengganjal di hatinya. Suasana di ruangan majelis guru yang tadinya penuh guarauan, kini jadi tegang.
Rupanya sang guru marah-marah di kelas. Masalahnya sedikit saja. Guru biologi yang masih gadis itu selesai menerangkan tentang proses pembuahan atau perkembangbiakan cara kawin. Yaitu terjadinya perkawinan bunga jantan dengan bunga betina. Karena keterangan guru begitu menarik bagi siswa, timbul pertanyaan yang polos dari salah seorang siswa. Apakah proses perkawinan manusia juga seperti perkawinan bunga jantan dan bunga betina?
Karena guru itu masih gadis, ia jadi tersinggung. Ia merasa dipermainkan oleh anak didiknya. Apalagi setelah pertanyaan itu dilontarkan siswanya, siswa yang lain serentak ketawa. Guru marah-marah. Ia membentak dan mengusir siswa yang bertanya tadi. Tetapi karena merasa tak bersalah, siswa tersebut tidak mau keluar. Akhirnya gurulah yang keluar. Makanya sampai di kantor ia masih cemberut.
Sebenarnya persoalan tidak begitu rumit. Hanya masalah komunikasi saja. Yaitu proses komunikasi yang kurang lancar. Sang guru karena masih gadis, merasa diperolok-olokkan dengan pertanyaan itu. Sedangkan siswa mengajukan pertanyaan, karena memang ingin tahu. Tentu hal ini dipengaruhi oleh faktor emosi belaka.
Jika yang menerangkan proses perkawinan itu guru yang telah mapan, guru yang telah matang, hal itu tidakkan terjadi. Tapi sayang terjadinya pada guru yang masih gadis dan baru pula mengajar. Karena itu sang guru tak dapat membendung perasaannya sendiri, tak dapat memahami gejolak jiwa dan kegeliannya sendiri.
Dari ilustrasi di atas dapat terlihat, komunikasi guru dengan murid kadang-kadang tidak hanya didukung oleh komunikasi “oral” saja. Tetapi faktor kondisi dan situasi juga mempengaruhi. Bertambah panasnya sang guru karena rekan-rekan siswa itu sendiri tertawa pula. Sedangkan guru lupa menyimak nada dan mimik murid yang bertanya. Apalagi kalau guru luput pula menyimak tingkah laku murid yang bertanya ini sebelumnya.
Hal yang seperti itu memang sering terjadi. Guru merasa dibebani dan didera oleh perasaannya sendiri. Perasaannya itulah yang membuat dirinya jadi seorang guru pemarah, penaikpitam. Padahal jika guru mempunyai perasaan bahwa pertanyaan yang dilontarkan anak itu suatu yang wajar, masalah tidak akan begitu jadinya. Tentu perlu dipertanyakan, apa faktornya.
Banyak hal yang mempengaruhi kurang lancarnya komunikasi guru dengan murid di ruangan kelas. Antara lain kematangan guru, kemampuan guru memahami bahasa anak, kemampuan guru mengenali sifat dan sikap anak, kemampuan guru membaca ekspresi anak dalam berbicara, dan kemampuan guru memahami situasi dan lingkungan belajar.
Kematangan dalam berbagai bidang memang dituntut dari seorang guru. Termasuk kematangan dalam perasaan. Guru memang harus peka dan sensitif. Tetapi terlalu sensitif juga tidak boleh. Karena terlalu sensitif dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah moral seperti contoh di atas, mereka jadi tersinggung.
Memahami bahasa anak didik bagian yang tak dapat diabaikan. Kadang-kadang apa yang diucapkan anak seolah-olah berseloroh dan menguji guru. Tetapi bagi anak hal yang begitu sudah bersungguh-sungguh. Tetapi karena tidak ada pengertian guru tentang kesungguhan anak, jadinya komunikasi tidak lancar. Akibatnya proses belajar mengajar jadi rusak.
Mengenal sikap, sifat, dan ekspresi anak dalam bicara bagian terpenting dalam psikologi dan komunikasi pendidikan. Sikap anak kadang-kadang menyimpang dari kebiasaan bawaannya. Oleh karena itu, guru yang kurang arif dan kurang matang sering mengartikannya negatif. Jadi jurang pemisah dalam komunikasi tak dapat dihindari lagi.
Yang tak dapat diabaikan sama sekali adalah situasi. Bukan saja situasi si anak waktu bertanya tetapi situasi pisik dan kejiwaan guru waktu memberikan pelajaran. Jika situasi anak belum begitu tenang dan serius atau belum siap untuk menerima apa yang disajikan, janganlah memulai pelajaran. Jika situasi yang tidak menguntungkan itu digunakan untuk berinteraksi dengan anak, banyak sekali akibat negatif yang akan timbul. Salah satu di antaranya ialah seperti di atas tadi.
Situasi guru yang mengajar juga hendak diperhatikan. Jangan tampil di depan kelas jika merasa belum siap. Terutama dalam memilih bidang studi atau pokok bahasan yang akan disajikan. Jika pikiran sedang kurang ramah, atau kurang stabil karena menghadapi maslah lain, jangan disajikan pelajaran yang menuntut pemikiran atau keseriusan. Carilah bidang atau pokok bahasan yang ringan, yang tidak mungkin mendatangkan masalah.
Proses pendidikan hanya akan berjalan lancar jika proses komunikasi tidak mengalami gangguan. Seorang guru yang matang akan merasakan nikmatnya mengajar. Pelajaran yang disajikan itu diterima oleh anak secara utuh. Hal ini dapat diperoleh melalui proses pengalaman yang panjang. Tidak mungkin diperoleh dengan segudang teori didaktik dan metodik belaka. Karena bagaimanapun pengalamannya lebih besar peranannya daripada berjuta-juta teori. Tetapi akan lebih sempurna lagi, kalau pengalaman itu didukung oleh teori yang matang pula.
Jadi usaha pertama yang harus diperhatikan oleh seorang guru dalam berinteraksi dengan anak didiknya adalah menghindari segala faktor penghambat komunikasi. Karena proses belajar mengajar itu adalah proses komunikasi dengan para siswa. Mudah-mudahan.